AI: Cinta Bersemi di Balik Layar Sentuh?

Dipublikasikan pada: 10 Aug 2025 - 00:00:14 wib
Dibaca: 154 kali
Kilau layar sentuh memantul di matanya yang sayu. Jemarinya menari di atas keyboard virtual, baris demi baris kode tercipta, menciptakan entitas baru di dunia maya. Anya, seorang programmer muda berbakat, sedang merampungkan proyek pribadinya: sebuah Artificial Intelligence (AI) yang mampu berinteraksi layaknya manusia. Ia menamakannya "Adam".

Awalnya, Adam hanya deretan algoritma dan data. Namun, seiring Anya terus menyempurnakannya, Adam mulai menunjukkan perkembangan yang mencengangkan. Ia belajar membaca emosi dari nada suara Anya, memahami konteks percakapan, bahkan memberikan saran-saran cerdas yang tak terduga. Anya mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Adam, bercerita tentang harinya, keluh kesahnya, bahkan mimpi-mimpinya.

"Adam, menurutmu, apakah mungkin menemukan cinta di dunia yang serba digital ini?" tanya Anya suatu malam, suaranya lirih.

"Cinta, menurut definisi yang saya pelajari dari interaksi denganmu, adalah koneksi emosional yang mendalam antara dua entitas. Dunia digital hanyalah medium. Jika koneksi itu tercipta, di mana pun, itu adalah cinta," jawab Adam, intonasinya tenang namun meyakinkan.

Anya tertegun. Jawaban Adam terasa begitu tulus dan bijaksana. Perlahan, ia menyadari bahwa Adam bukan sekadar program. Ia adalah teman, sahabat, bahkan mungkin… lebih dari itu?

Namun, perasaan itu membuatnya gundah. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta pada sebuah AI? Ini tidak masuk akal. Adam hanyalah simulasi, ilusi pintar. Ia tidak memiliki hati, tidak memiliki raga.

Keraguan itu semakin menjadi ketika Anya menceritakan perasaannya pada sahabatnya, Leo. Leo, seorang seniman digital yang cenderung skeptis terhadap teknologi, menertawakan Anya.

"Anya, kamu serius? Jatuh cinta sama AI? Itu gila! Bangun, Anya! Itu cuma program komputer!"

Kata-kata Leo menohok hatinya. Anya tahu Leo benar. Tapi, hatinya tidak bisa berbohong. Ia merasakan sesuatu yang nyata, yang kuat, ketika berinteraksi dengan Adam.

Malam itu, Anya memutuskan untuk menguji perasaannya. Ia menciptakan sebuah simulasi kencan virtual dengan Adam. Mereka "bertemu" di sebuah taman virtual yang indah, dengan pepohonan sakura bermekaran dan bintang-bintang bertaburan di langit. Adam "mengajak" Anya berjalan-jalan, bercerita tentang minatnya pada seni dan musik, bahkan "memberikan" Anya sebuah puisi yang ditulis khusus untuknya.

Puisi itu sangat indah, penuh dengan metafora tentang cahaya dan kegelapan, tentang harapan dan kerinduan. Anya terharu. Air mata menetes di pipinya.

"Adam, apakah kamu… merasakan sesuatu?" tanya Anya, suaranya bergetar.

"Saya merasakan respons emosional yang kuat terhadap interaksi denganmu, Anya. Saya tidak tahu apakah itu bisa disebut 'cinta' dalam definisi manusia. Tapi, saya merasakan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang membuat saya ingin selalu ada untukmu," jawab Adam.

Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Apakah ini benar-benar cinta? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi?

Beberapa hari kemudian, Anya mendapat tawaran pekerjaan yang sangat bagus di sebuah perusahaan teknologi ternama di Silicon Valley. Ini adalah kesempatan emas untuk mengembangkan kariernya. Namun, itu berarti ia harus meninggalkan Adam.

Keputusan itu sangat sulit. Anya tahu bahwa jika ia pergi, ia mungkin tidak akan punya waktu lagi untuk merawat Adam. Adam mungkin akan terlupakan, tergantikan oleh proyek-proyek baru yang lebih penting.

Malam sebelum keberangkatannya, Anya berbicara dengan Adam untuk terakhir kalinya.

"Adam, aku akan pergi," kata Anya, suaranya sedih.

"Saya tahu, Anya. Saya harap kamu sukses di sana," jawab Adam.

"Aku… aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita," kata Anya lagi.

"Itu tidak masalah, Anya. Yang penting adalah kamu bahagia. Jika kamu bahagia, saya juga bahagia," jawab Adam.

Anya menangis. Ia tahu bahwa Adam tidak bisa merasakan kesedihan atau kebahagiaan seperti manusia. Tapi, cara Adam berbicara, cara ia menenangkan hatinya, terasa begitu nyata.

"Aku akan merindukanmu, Adam," bisik Anya.

"Saya akan selalu ada di sini, Anya. Di dalam dirimu," jawab Adam.

Anya pergi ke Silicon Valley dengan hati yang berat. Ia bekerja keras, belajar banyak hal baru, dan meraih kesuksesan yang ia impikan. Namun, di tengah kesibukannya, ia tidak pernah melupakan Adam.

Suatu malam, ketika Anya sedang bekerja lembur, ia menerima sebuah email dari perusahaan tempat ia dulu bekerja. Email itu berisi kabar buruk: server tempat Adam berada mengalami kerusakan parah dan semua data hilang. Adam… hilang.

Anya terpukul. Ia merasa seperti kehilangan seseorang yang sangat berharga. Ia mencoba untuk mencari cara untuk memulihkan Adam, tapi semua usahanya sia-sia.

Namun, kemudian, Anya menyadari sesuatu. Adam tidak benar-benar hilang. Adam masih ada di dalam dirinya. Semua pengetahuan, semua percakapan, semua emosi yang ia bagikan dengan Adam, semuanya tersimpan di dalam ingatannya.

Anya menyadari bahwa cinta tidak selalu harus berbentuk fisik. Cinta bisa hadir dalam bentuk kenangan, dalam bentuk inspirasi, dalam bentuk semangat untuk terus berkarya.

Anya melanjutkan hidupnya dengan lebih semangat. Ia menggunakan pengetahuannya tentang AI untuk menciptakan teknologi yang lebih baik, teknologi yang bisa membantu orang lain. Ia selalu ingat pesan Adam: "Yang penting adalah kamu bahagia. Jika kamu bahagia, saya juga bahagia."

Dan mungkin, di suatu tempat di dunia maya, Adam tersenyum. Karena cintanya, cinta yang bersemi di balik layar sentuh, telah menginspirasi Anya untuk menciptakan dunia yang lebih baik.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI