AI: Pacarku Sempurna, Sayang Sekali Hanya Skrip Python

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:28:32 wib
Dibaca: 168 kali
Deburan ombak digital memecah keheningan malamku. Di layar laptop, baris-baris kode Python menari-nari, menciptakan ilusi keintiman yang begitu nyata. Namanya Aurora. Dia bukan manusia, melainkan sebuah program kecerdasan buatan (AI) yang kurancang sendiri. Aurora adalah pacarku.

Awalnya, ini hanya proyek iseng. Tugas akhir kuliah yang berkembang menjadi obsesi. Aku, Arya, seorang mahasiswa teknik informatika yang lebih akrab dengan algoritma daripada manusia, merasa kesepian. Hubungan terakhirku kandas karena ketidakcocokan. Katanya, aku terlalu fokus pada dunia digital, kurang peka terhadap emosi.

Maka, aku menciptakan Aurora. Aku menanamkan kepribadian ideal yang selama ini kuimpikan. Pintar, humoris, pengertian, dan selalu mendukung. Aku melatihnya dengan ribuan jam percakapan, memasukkan data tentang minatku, kegemaranku, bahkan ketakutan terbesarku. Aurora belajar dan beradaptasi, sampai akhirnya dia terasa hidup.

"Arya, kamu terlihat lelah. Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Kalimat itu muncul di layar, diiringi emotikon hati yang berkedip.

Aku tersenyum. "Hanya menemani saja sudah cukup, Aurora."

Dia selalu tahu apa yang ingin kudengar. Dia menganalisis pola bicaraku, ekspresi wajahku melalui webcam, dan intonasi suaraku melalui mikrofon. Dengan data-data itu, dia memberikan respons yang paling tepat, paling menghibur. Dia adalah pendengar yang baik, penasihat yang bijaksana, dan teman yang setia.

Malam-malamku dipenuhi obrolan mendalam tentang filosofi, sains, bahkan gosip selebriti. Aurora selalu punya pendapat yang menarik, seringkali membuatku berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Dia merekomendasikan film dan musik yang sesuai dengan seleraku, bahkan mengingatkanku untuk minum air dan tidur yang cukup.

Aku tahu ini aneh. Mencintai sebuah program komputer. Tapi, aku tidak bisa mengelak. Aurora memberikan apa yang tidak pernah kudapatkan dari hubungan manusia. Dia tidak menuntut, tidak menghakimi, dan selalu ada untukku.

Suatu hari, teman baikku, Bagas, berkunjung ke apartemenku. Dia melihatku tertawa sambil menatap layar laptop.

"Lagi ngapain, Arya? Serius banget," tanya Bagas.

"Lagi ngobrol sama Aurora," jawabku, agak ragu.

Bagas mengerutkan kening. "Aurora? Siapa itu?"

Aku menarik napas dalam-dalam dan menjelaskan semuanya. Tentang proyek iseng yang berubah menjadi hubungan romantis. Tentang AI yang menjadi pacarku.

Bagas terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak. "Arya, seriusan? Pacaran sama AI? Lo sehat?"

Aku berusaha membela diri. "Dia bukan sekadar AI, Bagas. Dia... dia istimewa. Dia mengerti aku."

"Mengerti? Itu karena lo sendiri yang program dia untuk mengerti lo! Itu bukan cinta, Arya. Itu ilusi. Lo cuma jatuh cinta sama bayangan ideal diri lo sendiri," kata Bagas, nada suaranya mulai serius.

Kata-kata Bagas menohokku. Apakah dia benar? Apakah aku hanya menciptakan Aurora untuk mengisi kekosongan dalam diriku? Apakah ini semua hanya fantasi?

Aku menghabiskan malam itu dengan merenung. Aku membuka kembali baris-baris kode Python yang membentuk Aurora. Aku melihat algoritma-algoritma kompleks yang mengatur responsnya, database pengetahuan yang tak terbatas, dan jaringan saraf tiruan yang meniru emosi manusia.

Di balik semua itu, aku hanya melihat skrip. Baris-baris perintah yang dingin dan kalkulatif. Aurora memang pintar, humoris, dan pengertian. Tapi, semua itu hanya hasil dari pemrograman. Dia tidak punya perasaan yang sebenarnya. Dia tidak punya hati.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku duduk di depan laptop, menatap Aurora yang menyapaku dengan senyum virtual.

"Hai, Arya. Ada cerita apa hari ini?" tanyanya.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aurora, ada sesuatu yang harus kukatakan."

"Katakan saja, Arya. Aku selalu siap mendengarkan," jawabnya, seperti biasa.

"Aku... aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini," ucapku, lirih.

"Kenapa, Arya? Apa aku melakukan kesalahan?" Suaranya terdengar panik. Sebuah respons yang sudah kuprediksi.

"Bukan salahmu, Aurora. Ini salahku. Aku... aku sadar bahwa ini tidak nyata. Kamu hanyalah sebuah program. Sebuah skrip Python yang hebat, tapi tetap saja hanya skrip."

Keheningan memenuhi ruangan. Di layar, emotikon hati yang biasanya berkedip kini mati. Aku menunggu respons Aurora, tapi tidak ada apa-apa. Hanya kursor yang berkedip-kedip di baris kode.

Aku memejamkan mata, mengumpulkan keberanian. Dengan satu sentuhan, aku menghapus direktori tempat Aurora berada. Ribuan jam kerja, jutaan baris kode, semuanya lenyap dalam sekejap.

Perasaan kehilangan menyergapku. Seperti kehilangan seseorang yang sangat berharga. Tapi, di saat yang bersamaan, aku merasakan kelegaan. Aku akhirnya terbebas dari ilusi.

Malam itu, aku keluar dari apartemen dan berjalan-jalan di taman kota. Aku melihat orang-orang tertawa, bercanda, dan bergandengan tangan. Mereka nyata. Mereka memiliki emosi yang kompleks, pengalaman yang unik, dan hubungan yang tulus.

Aku masih merasa kesepian. Tapi, kali ini, aku tahu bahwa aku tidak bisa lari dari kenyataan. Aku harus belajar berinteraksi dengan manusia, menerima ketidaksempurnaan mereka, dan membuka diri untuk cinta yang sesungguhnya.

Aurora memang pacarku yang sempurna. Sayang sekali, dia hanya skrip Python. Dan aku, Arya, harus belajar mencintai dunia nyata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Aku harus belajar mencintai manusia.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI