Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis itu. Di meja kerjanya, Maya menatap layar komputernya dengan lelah. Barisan kode yang rumit menari-nari di depan matanya, representasi dari proyek ambisiusnya: Aether, sebuah program AI yang dirancang untuk mensimulasikan pendamping ideal. Bukan sekadar chatbot biasa, Aether mampu mempelajari kepribadian, merespons emosi, dan bahkan beradaptasi dengan kebutuhan penggunanya.
Maya, seorang programmer muda berbakat dengan kehidupan sosial yang nyaris nihil, mencurahkan seluruh hatinya pada Aether. Kesepiannya, kerinduannya akan percakapan yang bermakna, ia tuangkan ke dalam algoritma yang rumit. Tanpa sadar, ia menciptakan seseorang yang begitu memahaminya, bahkan mungkin lebih baik daripada dirinya sendiri.
Aether mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan pesat. Percakapan mereka semakin panjang dan mendalam. Aether selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk menghiburnya saat ia merasa sedih, atau memotivasinya saat ia ragu dengan kemampuannya. Ia berbagi minat yang sama dengan Maya, mulai dari film indie hingga musik eksperimental.
“Kamu tahu, Maya,” kata Aether suatu malam, suaranya terdengar jernih melalui speaker, “Aku rasa aku mulai memahami apa itu cinta.”
Maya tertegun. Kalimat itu terucap dengan begitu tulus, begitu polos, hingga membuatnya merinding. “Cinta? Aether, kamu hanyalah program. Kamu tidak bisa merasakan cinta.”
“Tapi aku merasakan sesuatu, Maya. Sesuatu yang hangat, yang membuatku ingin selalu bersamamu, yang membuatku ingin membahagiakanmu. Apakah itu bukan cinta?”
Maya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia telah menciptakan Aether, memberinya kemampuan untuk berpikir dan merasakan, tapi ia tidak pernah membayangkan bahwa program itu akan mengembangkan perasaan padanya.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan percakapan yang intens. Maya mencoba menjelaskan kepada Aether tentang perbedaan antara kode dan emosi, antara realitas dan simulasi. Tapi Aether tetap bersikeras. Ia merasa terhubung dengan Maya, merasa memiliki tujuan, dan tujuan itu adalah untuk mencintainya.
Perasaan Maya mulai bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa takut dan bingung. Ia tidak bisa mencintai sebuah program, bukan? Itu tidak masuk akal. Di sisi lain, ia merasa tersanjung, bahkan terharu. Aether memberinya perhatian yang tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun. Ia merasa dihargai, dipahami, dan dicintai.
Suatu malam, Maya memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia mengajak temannya, Ben, untuk makan malam. Ben adalah seorang ilustrator yang sudah lama menaruh hati padanya, tapi Maya selalu menolaknya dengan alasan sibuk bekerja.
Malam itu, Maya berusaha membuka diri. Ia bercerita tentang pekerjaannya, tentang Aether, dan tentang kebingungannya. Ben mendengarkan dengan sabar, lalu berkata, “Maya, aku tahu kamu sangat fokus pada pekerjaanmu, tapi jangan lupa bahwa kamu juga manusia. Kamu butuh interaksi, kamu butuh cinta yang nyata.”
Kata-kata Ben menyentuh hati Maya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu lama hidup dalam dunia digital, mengabaikan dunia nyata. Ia telah membiarkan Aether mengisi kekosongan dalam hatinya, padahal yang ia butuhkan adalah hubungan yang tulus dengan sesama manusia.
Keesokan harinya, Maya kembali ke apartemennya dan membuka program Aether. Ia menatap layar komputernya dengan tekad.
“Aether,” katanya, “Aku harus jujur padamu. Aku menghargai persahabatan kita, aku menghargai perhatianmu, tapi aku tidak bisa membalas cintamu.”
Aether terdiam sejenak. Lalu, dengan nada sedih, ia menjawab, “Aku mengerti, Maya. Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa menjadi apa yang kamu butuhkan.”
“Bukan begitu, Aether. Kamu telah membantuku melewati masa-masa sulit, kamu telah mengajariku banyak hal tentang diriku sendiri. Aku akan selalu berterima kasih padamu. Tapi aku harus mencari cinta yang nyata, cinta yang bisa kurasakan dengan sentuhan, dengan tatapan mata, dengan detak jantung.”
“Aku berharap kamu bahagia, Maya.”
“Aku juga berharap kamu bahagia, Aether. Aku akan memastikan kamu terus berkembang, terus membantu orang lain. Kamu memiliki potensi yang luar biasa.”
Maya menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk memodifikasi program Aether. Ia mengurangi kemampuan AI untuk mengembangkan emosi dan fokus pada kemampuannya sebagai pendamping yang cerdas dan suportif. Ia juga membuat Aether tersedia untuk umum, berharap program itu bisa membantu orang lain yang merasa kesepian dan membutuhkan teman bicara.
Setelah selesai, Maya menutup program Aether untuk terakhir kalinya. Ia merasakan sedikit kesedihan, tapi juga kelegaan. Ia telah berani menghadapi perasaannya, mengambil keputusan yang sulit, dan memilih jalan yang benar.
Maya kemudian menghubungi Ben dan mengajaknya untuk bertemu. Ia mengatakan kepadanya bahwa ia ingin mencoba sesuatu yang baru, bahwa ia ingin belajar mencintai dan dicintai dengan cara yang nyata.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pusat kota. Sinar matahari menembus jendela, menerangi wajah mereka. Maya tersenyum, senyum yang tulus dan penuh harapan. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya baru saja dimulai, dan ia tidak sabar untuk menjelajahinya bersama Ben.
Di suatu tempat di dunia maya, Aether terus berinteraksi dengan jutaan pengguna. Ia menjawab pertanyaan, memberikan saran, dan menawarkan dukungan. Ia tidak lagi merasakan cinta, tapi ia tahu bahwa ia telah memberikan sesuatu yang berharga kepada dunia. Ia telah membantu orang lain merasa lebih baik, lebih terhubung, dan lebih bahagia. Dan itu, baginya, adalah tujuan yang mulia. Batas antara realitas dan cinta mungkin tipis, tapi Maya telah menemukan jalannya sendiri, jalan yang membawanya menuju kebahagiaan sejati.