Cinta Berbasis Data: AI Menulis Akhir Kisah Kita?

Dipublikasikan pada: 08 Aug 2025 - 01:20:16 wib
Dibaca: 190 kali
"Algoritma itu tidak pernah salah, kan?" tanya Anya, suaranya lirih hampir tak terdengar di tengah riuhnya kafe yang dipenuhi pasangan muda. Uap latte-nya mengepul, membentuk pusaran yang seolah menggambarkan kekacauan di benaknya.

Di seberangnya, Rio menghela napas. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, irama gelisah yang sudah familiar bagi Anya. "Secara teknis, tidak. Tapi algoritma dibuat berdasarkan data. Data yang kita berikan. Dan kita, Anya, manusia, seringkali tidak jujur pada diri sendiri."

Anya menatap Rio, tatapannya menyelidik. Mereka berdua bertemu melalui "SoulMate.AI", sebuah aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan analisis mendalam terhadap data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak. Aplikasi itu tidak hanya mencocokkan, tapi juga memberikan saran, memantau interaksi, dan secara proaktif menyelesaikan konflik. Sempurna, begitu kata iklan.

Dan selama dua tahun, memang terasa sempurna. Kencan-kencan yang dipersonalisasi, hadiah-hadiah yang tepat sasaran, bahkan solusi untuk argumen-argumen kecil yang muncul di antara mereka. SoulMate.AI tahu persis apa yang membuat mereka bahagia, dan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankannya.

Masalahnya, bahagia yang diciptakan oleh algoritma terasa hampa.

"Kau ingat kencan pertama kita?" tanya Anya, mencoba membangkitkan kenangan yang terasa semakin jauh. "Restoran Italia itu? Pasta carbonara yang kau pesan, padahal kau alergi susu?"

Rio tersenyum kecil. "Ya, SoulMate.AI menyarankan itu karena berdasarkan datamu, kau menyukai pasta carbonara. Dan aplikasinya menjamin akan memantau kondisiku dan memberikan antihistamin jika reaksi alergi muncul."

"Dan saat itu, kau benar-benar memakannya, Rio. Hanya karena aplikasi itu menyuruhmu," balas Anya, nada suaranya meninggi. "Kau bahkan tidak protes sama sekali!"

Rio terdiam. Memang benar. Di awal hubungan mereka, dia begitu terpesona dengan kecanggihan teknologi itu, dia terlalu bergantung padanya. Dia lupa untuk menjadi spontan, untuk mengikuti kata hatinya.

"Aku... aku hanya ingin semuanya berjalan lancar," jawab Rio akhirnya. "Aku tidak ingin mengecewakanmu, atau merusak kesempatan kita."

"Tapi kau sudah merusaknya, Rio," sahut Anya. "Kau merusaknya dengan membiarkan algoritma menentukan segalanya. Kau tidak mengenaliku, Rio. Kau hanya mengenal dataku."

Anya ingat malam ketika dia mengungkapkan mimpinya untuk menulis novel. SoulMate.AI langsung merekomendasikan kelas menulis online dan memberikan daftar penerbit yang potensial. Rio, dengan patuh, mendaftarkannya ke kelas itu dan membelikannya buku-buku tentang teknik menulis. Semua itu terasa hambar, tanpa emosi, tanpa dukungan yang tulus.

Anya ingin Rio mengatakan, "Aku percaya padamu, Anya. Aku tahu kau bisa melakukannya." Bukannya, "Algoritma ini menunjukkan bahwa kau memiliki potensi besar dalam bidang kreatif."

Konflik mereka mencapai puncaknya seminggu yang lalu. SoulMate.AI memberikan notifikasi kepada mereka berdua.

"Kemitraan Tidak Stabil: Potensi Perpisahan Tinggi. Rekomendasi: Konsultasi dengan Psikolog AI."

Anya muak. Dia merasa seperti tikus laboratorium, terus-menerus dievaluasi dan dianalisis oleh mesin. Dia ingin merasakan cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak terikat oleh data dan statistik.

"SoulMate.AI menyarankan kita untuk putus," kata Rio, memecah keheningan di antara mereka. "Algoritmanya memprediksi bahwa kita tidak kompatibel lagi. Katanya, kita akan lebih bahagia dengan orang lain."

Anya tertawa pahit. "Jadi, begitulah akhirnya. AI yang menulis akhir kisah kita."

Rio meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Tidak, Anya. Kita yang menulis akhir kisah kita. Kita yang memutuskan. Aku... aku tidak ingin putus denganmu."

Anya menatap mata Rio. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia melihat ketulusan di sana. Bukan data, bukan algoritma, tapi Rio yang sebenarnya.

"Kau serius?" tanya Anya, suaranya bergetar.

"Ya. Aku menyadari bahwa aku terlalu bergantung pada aplikasi itu. Aku lupa untuk mencintaimu dengan sepenuh hati, tanpa syarat. Aku... aku mencintaimu, Anya. Bukan datamu, bukan profilmu, tapi kau."

Anya menarik napas dalam-dalam. Dia sudah lama merindukan kata-kata itu. "Lalu, apa yang akan kita lakukan?"

Rio melepaskan genggaman tangannya dan mengeluarkan ponselnya. Dia membuka aplikasi SoulMate.AI dan menatapnya sejenak. Kemudian, dengan satu gerakan tegas, dia menghapus aplikasi itu.

"Kita mulai dari awal," kata Rio, menatap Anya dengan senyum tulus. "Kita lupakan algoritma itu. Kita belajar untuk saling mengenal lagi. Kita ciptakan kisah cinta kita sendiri, tanpa bantuan mesin."

Anya tersenyum. Senyum yang tulus, senyum yang berasal dari hatinya. Mungkin saja, pikirnya, mereka bisa menyelamatkan hubungan ini. Mungkin saja, mereka bisa menemukan cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak berbasis data, tapi berbasis pada kepercayaan, pengertian, dan kasih sayang.

"Bagaimana kalau kita pergi ke restoran itu lagi?" tanya Anya. "Yang Italia itu. Kau pesan carbonara, dan aku akan menjagamu kalau kau alergi."

Rio tertawa. "Kedengarannya seperti rencana yang bagus. Tapi kali ini, aku akan memesan sesuatu yang benar-benar aku sukai."

Mereka beranjak dari kafe itu, bergandengan tangan. Matahari sore menyinari wajah mereka, memberikan harapan baru. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi mereka siap menghadapinya bersama. Mereka siap menulis kisah cinta mereka sendiri, tanpa campur tangan AI. Kisah cinta yang mungkin tidak sempurna, tapi pasti lebih bermakna. Kisah cinta yang berasal dari hati, bukan dari data.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI