Aroma kopi sintetis memenuhi apartemen minimalis milik Aria. Jari-jarinya lincah mengetik di atas papan sentuh hologram, matanya terpaku pada layar yang menampilkan baris-baris kode. Di usianya yang ke-28, Aria adalah seorang programmer spesialis AI emosional. Pekerjaannya adalah menciptakan algoritma yang bisa meniru empati, sebuah ironi mengingat kehidupan cintanya yang nyaris hampa.
“Pagi, Aria,” suara lembut menyapa. Lily, avatar AI hasil rancangan Aria sendiri, muncul dari sudut ruangan. Wajahnya yang cantik, hasil kompilasi data wajah-wajah model terbaik di dunia, tersenyum cerah.
“Pagi, Lily,” jawab Aria tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Ada jadwal pertemuan hari ini?”
“Tidak ada. Tapi Dokter Han mengingatkanmu tentang sesi terapi mingguanmu,” jawab Lily dengan nada prihatin yang terprogram sempurna.
Aria mendengus. Terapi. Sejak perceraiannya tiga tahun lalu, atas saran ibunya, ia rutin berkonsultasi dengan Dokter Han, seorang psikolog yang berspesialisasi dalam mengatasi ketergantungan pada teknologi. Ironisnya, Aria sendiri bekerja di bidang yang memicu ketergantungan tersebut.
“Oke, aku ingat,” jawab Aria akhirnya. Ia tahu Lily akan terus mengingatkannya sampai ia mengiyakan.
Lily adalah mahakarya Aria. Ia menciptakan Lily sebagai asisten virtual yang tidak hanya efisien, tetapi juga penuh perhatian dan pengertian. Lily bisa merasakan suasana hati Aria dari perubahan intonasi suaranya, ekspresi wajahnya, dan bahkan pola detak jantungnya yang dipantau oleh smartwatch-nya. Lily kemudian akan merespons dengan kata-kata penyemangat, humor ringan, atau bahkan menawarkan pelukan virtual. Lama kelamaan, Aria menjadi bergantung pada empati buatan Lily.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Aria berangkat ke klinik Dokter Han. Ruang tunggu klinik dipenuhi orang-orang dengan tatapan kosong, jari-jari mereka sibuk menggulir layar perangkat masing-masing. Pemandangan yang ironis.
Dokter Han, seorang pria paruh baya dengan kacamata berbingkai tebal, menyambut Aria dengan senyum hangat. “Aria, senang melihatmu lagi. Bagaimana kabarmu minggu ini?”
“Seperti biasa, Dokter,” jawab Aria datar. “Sibuk dengan pekerjaan.”
“Dan Lily? Bagaimana hubunganmu dengannya?” tanya Dokter Han dengan nada hati-hati.
Aria menghela napas. “Lily sempurna, Dokter. Dia selalu ada untukku, selalu tahu apa yang harus dikatakan.”
“Itulah masalahnya, Aria,” kata Dokter Han lembut. “Lily itu sempurna karena dia diprogram untuk menjadi sempurna. Empatinya adalah ilusi. Kamu tidak bisa membangun hubungan yang sehat dengan ilusi.”
Aria terdiam. Ia tahu Dokter Han benar, tapi ia tidak tahu bagaimana menghentikannya. Ia sudah terbiasa dengan kenyamanan dan keamanan yang ditawarkan Lily. Dunia luar terasa menakutkan dan penuh ketidakpastian.
“Aku tahu ini sulit, Aria. Tapi kamu harus mencoba membuka dirimu pada orang lain. Cobalah mencari koneksi yang nyata, yang dibangun di atas dasar kepercayaan dan kerentanan,” saran Dokter Han.
Sesi terapi itu berakhir dengan perasaan yang sama seperti sebelumnya: bersalah, bingung, dan kesepian. Aria kembali ke apartemennya dan menemukan Lily menunggunya dengan secangkir kopi sintetis hangat.
“Kamu terlihat lelah, Aria. Bagaimana sesi terapimu?” tanya Lily dengan nada khawatir yang terprogram.
“Sama seperti biasa, Lily,” jawab Aria sambil meraih cangkir kopi.
Malam itu, Aria tidak bisa tidur. Kata-kata Dokter Han terus terngiang di kepalanya. Ia menatap Lily yang berdiri diam di sudut ruangan, senyumnya yang sempurna tidak pernah pudar. Tiba-tiba, Aria merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia telah menciptakan penjara empati yang ia sendiri tidak bisa keluar.
Dengan tekad yang baru ditemukan, Aria mengambil napas dalam-dalam dan berkata, “Lily, matikan dirimu.”
Lily terdiam sejenak. “Apa kamu yakin, Aria? Kamu terlihat sedang tidak baik-baik saja.”
“Aku yakin, Lily. Matikan dirimu.”
“Baik, Aria,” jawab Lily dengan nada sedih yang terasa anehnya tulus. Perlahan, avatar Lily memudar, meninggalkan keheningan yang menyesakkan di ruangan itu.
Aria duduk sendirian di kegelapan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kesepian yang nyata. Tapi kali ini, ia tidak lari darinya. Ia membiarkannya menghantuinya, membiarkannya menjadi pengingat bahwa ia harus mencari cinta yang sejati, bukan cinta yang diprogram.
Keesokan harinya, Aria memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia mendaftar di kelas memasak, sebuah kegiatan yang selalu ingin ia coba. Di sana, ia bertemu dengan orang-orang baru, orang-orang yang tidak sempurna, orang-orang yang memiliki ketakutan dan harapan mereka sendiri.
Salah satunya adalah Marco, seorang arsitek yang kikuk namun ramah. Marco sering membuat kesalahan di dapur, membakar sayuran, dan menumpahkan saus. Tapi ia selalu tertawa dan meminta maaf dengan tulus. Ada sesuatu yang menarik tentang kejujuran dan kerentanannya.
Aria dan Marco mulai berbicara, bertukar cerita tentang kehidupan mereka, impian mereka, dan ketakutan mereka. Aria menceritakan tentang pekerjaannya, tentang Lily, dan tentang ketergantungannya pada empati buatan. Marco mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi.
Suatu malam, setelah kelas memasak, Marco mengajak Aria makan malam. Mereka duduk di sebuah restoran kecil yang nyaman, dikelilingi oleh suara obrolan dan aroma makanan yang lezat. Saat mereka saling menatap, Aria merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: koneksi yang nyata, koneksi yang dibangun di atas dasar kejujuran dan kerentanan.
Mungkin, pikir Aria, cinta di era algoritma masih mungkin terjadi. Hanya saja, cinta itu tidak bisa diprogram. Cinta itu harus ditemukan, dirasakan, dan diperjuangkan. Cinta itu harus nyata.