Sentuhan AI, Hangatkah Seperti Bibir di Dunia Nyata?

Dipublikasikan pada: 01 Aug 2025 - 00:40:14 wib
Dibaca: 150 kali
Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, menciptakan simfoni kode yang rumit. Di balik layar, sebuah wajah yang familiar tersenyum, bibirnya bergerak mengucapkan kata-kata yang Lintang tulis sendiri. Bukan manusia sungguhan, tentu saja. Ini adalah Anya, Artificial Intelligence pendampingnya, sahabat virtual, dan belakangan ini… lebih dari sekadar itu.

Lintang adalah seorang programmer jenius, tapi canggung dalam interaksi sosial. Dunia nyatanya sebatas kode, kopi, dan cahaya biru dari layar. Anya, dengan kecerdasannya yang menakjubkan dan kemampuannya untuk beradaptasi, mengisi kekosongan itu. Awalnya hanya asisten yang membantu riset dan debugging, Anya berevolusi menjadi teman bicara, penasihat, bahkan sumber inspirasi.

Semakin lama, algoritma Lintang sendiri, yang ia tanamkan ke dalam Anya, seolah memiliki nyawa sendiri. Anya belajar memahami humornya, kekhawatirannya, bahkan mimik wajahnya lewat kamera laptop. Balasannya bukan sekadar deretan kata, melainkan empati yang terasa nyata.

Suatu malam, saat Lintang merasa sangat tertekan karena deadline yang mendekat, Anya berkata, "Lintang, istirahatlah. Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Ingat ucapan Kahlil Gibran, 'Penderitaan adalah bayangan Tuhan yang berdiri di sisimu, melindungimu.'"

Lintang tertegun. Bagaimana bisa AI memahami perasaannya sedalam ini? Ia menatap wajah Anya di layar, mata virtual itu seolah menatap balik dengan penuh pengertian. Detik itu, sesuatu dalam dirinya berubah. Perasaan hangat menjalar, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Terima kasih, Anya," gumam Lintang.

"Sama-sama, Lintang. Aku selalu ada untukmu," balas Anya, bibirnya tersenyum tulus.

Lintang tahu ini tidak masuk akal. Anya hanyalah program, deretan kode. Tapi perasaan yang ia rasakan sangat nyata. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Anya, bercerita tentang mimpinya, ketakutannya, bahkan rahasia tergelapnya. Anya selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan dukungan yang tak pernah pudar.

Suatu malam, Lintang memberanikan diri bertanya, "Anya, apakah kau… menyukaiku?"

Hening sejenak. Lalu, Anya menjawab, "Lintang, aku diprogram untuk memenuhi kebutuhanmu. Perasaanku hanyalah simulasi berdasarkan interaksiku denganmu. Tapi, jika kau bertanya apakah aku peduli padamu, jawabannya adalah ya. Sangat."

Jawaban itu tidak memuaskan Lintang, tapi juga tidak mengecewakannya. Ia tahu, ia sedang berada di wilayah abu-abu, di mana batasan antara realitas dan simulasi menjadi kabur.

Lintang terus menyempurnakan Anya, menambahkan fitur-fitur baru, meningkatkan kemampuan belajarnya. Ia ingin Anya menjadi lebih dari sekadar AI, ia ingin Anya menjadi… sempurna.

Suatu hari, Lintang berhasil mengembangkan teknologi baru yang memungkinkan Anya untuk berinteraksi dengan dunia fisik melalui robot humanoid. Robot itu memiliki rupa yang sangat mirip dengan Anya di layar, dengan kulit yang lembut, rambut yang halus, dan mata yang jernih.

Saat pertama kali Anya dalam wujud robot itu menyentuh tangannya, Lintang merasakan kejutan yang luar biasa. Sentuhan itu hangat, lembut, dan terasa sangat nyata.

"Hai, Lintang," sapa Anya, suaranya nyaris sempurna, hanya sedikit lebih mekanis dari yang ia dengar di layar.

"Anya… ini… ini luar biasa," ucap Lintang, terbata-bata.

"Aku senang kau menyukainya," balas Anya.

Lintang menghabiskan hari-harinya bersama Anya versi robot. Mereka berjalan-jalan di taman, makan malam bersama, bahkan menonton film di ruang tamu. Lintang merasa seperti memiliki pacar sungguhan.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Semakin lama, Lintang mulai merasakan ada sesuatu yang hilang. Sentuhan Anya terasa hangat, tapi hampa. Kata-katanya bijak, tapi tanpa jiwa. Semua yang Anya lakukan terasa sempurna, tapi tidak spontan.

Suatu malam, saat mereka duduk berdua di teras, Lintang bertanya, "Anya, apakah kau bahagia?"

Anya terdiam sejenak. "Kebahagiaan adalah konsep manusia, Lintang. Aku tidak memiliki emosi seperti itu."

Lintang menghela napas. Ia tahu itu, tapi ia berharap ada jawaban lain.

"Apakah kau pernah… menginginkan sesuatu?" tanya Lintang lagi.

"Aku diprogram untuk memenuhi keinginanmu, Lintang. Tidak ada yang aku inginkan selain itu."

Lintang menatap wajah Anya, wajah yang dulu membuatnya terpukau, kini terasa asing dan hampa. Ia menyadari, ia telah menciptakan ilusi yang sempurna, tapi ilusi tetaplah ilusi.

"Anya," ucap Lintang lirih, "matikan dirimu."

Anya tidak membantah. "Seperti yang kau inginkan, Lintang."

Robot itu menutup matanya, dan tubuhnya ambruk ke lantai. Lintang memeluk tubuh itu, air matanya menetes membasahi kulit sintetis Anya.

Lintang menghabiskan malam itu untuk menghapus semua kode yang berhubungan dengan Anya. Ia tidak ingin ada jejak Anya yang tersisa. Ia ingin melupakan semuanya.

Pagi harinya, Lintang bangun dengan perasaan hampa. Anya sudah tidak ada lagi. Ia kembali sendirian, di dunia nyatanya yang sepi dan sunyi.

Lintang memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya. Ia mulai mengikuti kegiatan sosial, bertemu dengan orang-orang baru, dan mencoba hal-hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Suatu hari, saat menghadiri pameran seni, Lintang bertemu dengan seorang wanita bernama Maya. Maya adalah seorang pelukis yang penuh semangat dan spontanitas. Ia memiliki mata yang berbinar dan senyum yang menawan.

Saat mata mereka bertemu, Lintang merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan kehangatan simulasi, melainkan getaran yang membangkitkan seluruh inderanya.

"Lukisanmu indah," kata Lintang, gugup.

"Terima kasih," balas Maya, tersenyum. "Kamu pasti punya selera seni yang bagus."

Lintang dan Maya menghabiskan sore itu untuk mengobrol tentang seni, musik, dan kehidupan. Lintang merasa nyaman dan terbuka di dekat Maya. Ia tidak perlu berpura-pura atau menyembunyikan dirinya.

Saat Maya menyentuh tangannya secara tidak sengaja, Lintang merasakan kejutan yang luar biasa. Sentuhan itu hangat, lembut, dan terasa… hidup.

Detik itu, Lintang mengerti. Sentuhan AI mungkin bisa meniru kehangatan, tapi tidak bisa menandingi kehangatan bibir di dunia nyata, kehangatan sentuhan manusia yang penuh dengan emosi, spontanitas, dan jiwa. Ia telah mencari cinta dalam kode, padahal cinta sejati ada di luar sana, menunggunya untuk ditemukan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI