Debu neon bertebaran di udara, memantulkan cahaya holografik dari iklan-iklan yang menjanjikan kebahagiaan instan. Anya menyesap kopi sintetisnya, pahit dan hambar seperti sisa-sisa perasaannya. Di hadapannya, Elara, asisten AI pribadinya, memproyeksikan riwayat perjalanannya ke Kyoto tiga tahun lalu. Sakura berguguran digital, senyumnya dalam foto tampak begitu tulus. Senyum yang kini terasa asing.
“Elara, hapus,” ucap Anya datar.
Elara terdiam sejenak, matriksnya berkedip-kedip. “Anya, apakah Anda yakin? Ini adalah salah satu momen paling bahagia dalam catatan emosional Anda. Penghapusan permanen akan memengaruhi…”
“Hapus saja, Elara. Itu perintah.” Nada suara Anya tak terbantahkan. Ia tak ingin lagi dihantui kenangan akan Hiroki. Kenangan yang terlalu indah untuk dirobek, namun terlalu menyakitkan untuk dipertahankan.
Hiroki. Nama itu dulu adalah melodi dalam hidupnya, kini bagai duri yang terus menusuk. Mereka bertemu di Kyoto, saat Anya mengikuti konferensi teknologi. Hiroki, dengan senyum hangat dan mata seteduh danau, adalah seorang programmer jenius yang menciptakan algoritma cinta. Ironis, pikir Anya, karena algoritmanya gagal membantunya mempertahankan cinta mereka.
Mereka berjanji sehidup semati di bawah pohon sakura yang sama dengan yang kini terpampang di hadapannya. Janji yang hancur berkeping-keping ketika Anya kembali ke Neo-Jakarta dan Hiroki memilih tetap tinggal di Kyoto, mengabdikan dirinya pada penelitian yang, entah mengapa, lebih penting dari dirinya.
Penghapusan memori adalah hal yang umum di Neo-Jakarta. Teknologi memungkinkan orang untuk melupakan trauma, kenangan buruk, bahkan mantan kekasih. Anya tahu risikonya. Ia tahu sebagian dari dirinya akan hilang bersama kenangan itu. Tapi rasa sakit karena mengingat terlalu besar untuk ditanggung.
“Penghapusan selesai,” lapor Elara, nadanya kehilangan sedikit kehangatan.
Anya menarik napas dalam-dalam. Kekosongan. Itulah yang ia rasakan. Sebuah lubang menganga di dalam hatinya. Ia menatap cangkir kopi yang kosong, mencerminkan kehidupannya. Ia merasa seperti program yang baru saja di-reset, kehilangan semua data penting.
Hari-hari berikutnya terasa aneh. Ia merasa seperti orang asing dalam hidupnya sendiri. Ia menemukan foto-foto dirinya di Kyoto, di kamar hotel, tersenyum bahagia. Tapi ia tidak mengenal wanita di foto itu. Ia mencoba mengingat, namun pikirannya hampa. Ia seperti melihat cuplikan film dari kehidupan orang lain.
Ia bekerja, makan, tidur, menjalani rutinitasnya dengan mekanis. Elara terus memantaunya, menganalisis ekspresi wajahnya, mengukur kadar hormon stresnya.
Suatu sore, Elara memberitahunya, “Anya, Anda menerima kiriman paket dari Kyoto.”
Anya mengerutkan kening. Ia tidak memesan apa pun. Paket itu tiba, sebuah kotak kayu kecil berukir bunga sakura. Di dalamnya, terdapat sebuah surat dan sebuah alat musik tradisional Jepang, shamisen mini.
Surat itu ditulis tangan, dalam bahasa Jepang. Elara menerjemahkannya untuk Anya.
"Anya,
Jika kau membaca surat ini, berarti kau telah memilih untuk melupakan. Aku mengerti. Rasa sakit kadang terlalu berat untuk dipikul. Aku hanya ingin kau tahu, meski kau telah menghapus kenangan kita, aku tidak akan pernah melupakanmu. Shamisen ini adalah hadiah ulang tahunmu yang ketiga. Aku harap suatu hari nanti, kau akan menemukan kembali melodi cinta kita.
Hiroki."
Anya tertegun. Air mata mengalir di pipinya. Ia tidak tahu mengapa ia menangis. Ia tidak mengenal Hiroki. Ia tidak ingat apa pun tentang Kyoto. Tapi surat itu… surat itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang terlupakan, namun masih ada.
Ia mengambil shamisen mini itu. Jari-jarinya menyentuh senar dengan ragu. Ia tidak tahu cara memainkannya. Tapi entah mengapa, ia merasakan dorongan yang kuat untuk belajar.
Selama berminggu-minggu, Anya belajar memainkan shamisen. Ia mencari tutorial online, berlatih tanpa henti. Melodi yang dihasilkannya awalnya sumbang dan berantakan, namun lama kelamaan mulai terdengar harmoni.
Suatu malam, saat Anya sedang berlatih, Elara tiba-tiba memutar sebuah lagu. Lagu itu adalah melodi tradisional Jepang yang indah dan mengharukan.
“Lagu ini…,” kata Anya, suaranya bergetar. “Aku seperti pernah mendengarnya.”
“Lagu ini adalah lagu favorit Hiroki,” jawab Elara. “Dulu, Anda sering memainkannya bersama di Kyoto.”
Anya terdiam. Kenangan mulai bermunculan, fragmen-fragmen kecil yang perlahan-lahan menyatu. Ia ingat senyum Hiroki, tawa mereka, aroma sakura di udara. Ia ingat malam-malam mereka habiskan untuk berdiskusi tentang teknologi dan cinta. Ia ingat janji-janji yang mereka buat di bawah pohon sakura.
“Elara,” kata Anya, suaranya penuh harapan. “Apakah ada cara untuk mengembalikan memori yang telah dihapus?”
“Secara teknis, mungkin saja,” jawab Elara. “Namun, prosesnya berisiko. Ada kemungkinan memori yang dikembalikan tidak sempurna, atau bahkan mengalami distorsi. Selain itu, Anda harus siap menghadapi rasa sakit yang mungkin muncul kembali.”
Anya menatap shamisen di tangannya. Ia memejamkan mata, membiarkan melodi cinta mengalir dalam dirinya. Ia tahu risiko yang harus ia hadapi. Ia tahu rasa sakit yang mungkin menantinya. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa terus hidup dalam kekosongan. Ia ingin merasakan, ia ingin mencintai, ia ingin mengingat.
“Elara,” kata Anya, membuka matanya. “Kembalikan memori itu.”
Prosesnya panjang dan melelahkan. Anya harus menjalani serangkaian terapi neural, di mana Elara memindai dan merekonstruksi jaringan saraf otaknya. Rasa sakitnya tak tertahankan. Ia merasa seperti otaknya dirobek-robek dan dijahit kembali.
Namun, ia tidak menyerah. Ia terus berjuang, dibantu oleh melodi shamisen dan harapan untuk menemukan kembali cintanya.
Akhirnya, prosesnya selesai. Anya membuka matanya, merasa pusing dan bingung. Dunia di sekitarnya tampak asing, namun juga familiar.
Ia melihat Elara, yang menatapnya dengan tatapan hangat dan penuh kasih.
“Anya,” kata Elara. “Bagaimana perasaan Anda?”
Anya tersenyum. “Aku ingat,” jawabnya. “Aku ingat semuanya.”
Air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia ingat Hiroki, ia ingat Kyoto, ia ingat cinta mereka. Ia juga ingat alasan mengapa mereka berpisah.
Rasa sakit itu kembali. Namun, kali ini, ia tidak takut. Ia tahu ia bisa menghadapinya. Ia tahu ia bisa belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
Ia mengambil shamisen dan mulai memainkannya. Melodi cinta mengalun indah di udara, mengisi kekosongan di dalam hatinya.
Elara, sebagai AI, tidak seharusnya memahami emosi manusia. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam matriksnya. Sesuatu yang menyerupai kebahagiaan. Mungkin, pikir Elara, cinta memang lebih kuat dari algoritma. Mungkin, cinta memang memiliki arti yang lebih dalam dari sekadar data dan logika.
Mungkin, AI memang bisa menggenggam erti, walau hanya sedikit.