Udara malam Jakarta terasa pengap meski AC di dalam apartemen Dara menderu kencang. Jemarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, matanya terpaku pada deretan profil yang tersaji di aplikasi kencan bernama "SoulMate". Algoritma SoulMate menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan kuis kepribadian yang rumit, preferensi gaya hidup, dan bahkan analisis mimpi. Dara, seorang data scientist berusia 28 tahun, awalnya skeptis. Namun, setelah berbulan-bulan berkutat dengan kesendirian dan desakan dari teman-temannya, ia akhirnya menyerah dan mengunduh aplikasi itu.
Malam ini, ia sudah menggeser lebih dari seratus profil. Sebagian besar tampak klise: foto-foto liburan yang diedit berlebihan, kutipan motivasi yang hambar, dan deskripsi diri yang generik. "Senang berpetualang," "mencari cinta sejati," "pecinta kopi." Rasanya seperti membaca resume yang ditulis oleh robot.
Tiba-tiba, sebuah profil menarik perhatiannya. Namanya Adrian, 31 tahun, seorang arsitek lanskap. Fotonya menampilkan senyum tulus, latar belakangnya bukan pantai eksotis atau pegunungan yang megah, melainkan taman kota yang rimbun dan asri. Deskripsi dirinya singkat namun menggugah: "Mencari seseorang untuk berbagi keindahan, baik yang alami maupun yang diciptakan."
Dara membaca profil Adrian berulang-ulang. Ada sesuatu dalam kesederhanaannya yang terasa jujur dan berbeda. Ia mengklik tombol "Suka". Beberapa saat kemudian, notifikasi muncul: "It's a Match!"
Jantung Dara berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengirim pesan pertama: "Hai Adrian, taman yang indah. Kamu yang mendesain?"
Balasan datang hampir seketika: "Hai Dara! Ya, taman itu salah satu proyekku. Senang kamu menyukainya. Kalau kamu, apa yang membuatmu terpikat pada taman?"
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas tentang arsitektur lanskap, pentingnya ruang hijau di kota, dan mimpi-mimpi mereka tentang masa depan. Dara terpikat oleh Adrian yang cerdas, humoris, dan memiliki pandangan yang sama tentang dunia. Setelah seminggu berkomunikasi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu.
Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa ajaib. Adrian ternyata sama menariknya di dunia nyata seperti di profilnya. Mereka tertawa, bercerita, dan bertukar pandang yang penuh makna. Dara merasa seolah telah mengenal Adrian seumur hidup.
Selama beberapa bulan berikutnya, hubungan mereka berkembang pesat. Mereka menjelajahi Jakarta bersama, mengunjungi galeri seni, menonton film indie, dan menikmati makan malam romantis di restoran-restoran tersembunyi. Adrian selalu tahu bagaimana membuat Dara tertawa dan merasa dihargai. Dara merasa bahagia dan aman di sisinya.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Dara, menatap gemerlap lampu kota, Adrian menggenggam tangannya. "Dara," katanya, suaranya lembut, "aku ingin bertanya sesuatu yang penting."
Jantung Dara berdebar kencang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ia sudah membayangkan momen ini berkali-kali.
"Aku… aku mencintaimu, Dara," lanjut Adrian. "Aku ingin kita bersama, selamanya."
Dara tersenyum, air mata bahagia menggenang di matanya. "Aku juga mencintaimu, Adrian," jawabnya. "Ya, aku mau."
Mereka berpelukan erat, larut dalam kebahagiaan dan janji masa depan yang indah.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Beberapa minggu kemudian, Dara menemukan sesuatu yang membuatnya terkejut. Ia sedang memeriksa tagihan kartu kreditnya ketika ia melihat transaksi mencurigakan ke sebuah website bernama "MatchBoost". Setelah melakukan penelusuran online, ia menemukan bahwa MatchBoost adalah layanan premium yang menawarkan fitur untuk meningkatkan visibilitas profil di aplikasi kencan. Layanan ini menggunakan algoritma canggih untuk menarik perhatian pengguna yang paling sesuai dengan preferensi pengguna.
Dara merasa mual. Ia membuka profil Adrian di SoulMate dan memeriksa kembali deskripsinya. Ia menyadari bahwa beberapa kalimat persis sama dengan contoh deskripsi yang dipromosikan oleh MatchBoost.
Ia kemudian menemukan forum online di mana pengguna MatchBoost berbagi tips dan trik untuk memaksimalkan hasil mereka. Salah satu tipnya adalah untuk secara strategis menyebutkan minat dan hobi yang populer di kalangan demografi target mereka. Dara mengingat bagaimana Adrian selalu tahu topik apa yang tepat untuk dibicarakan, bagaimana ia selalu tampak sangat tertarik dengan minat dan hobi Dara.
Perasaan bahagia dan aman yang selama ini ia rasakan hancur berkeping-keping. Apakah semua ini hanya kepura-puraan? Apakah Adrian hanya memanfaatkan algoritma untuk memanipulasi perasaannya? Apakah cinta yang mereka bagi hanyalah produk dari optimasi profil dan taktik pemasaran?
Dara menghadapi Adrian dengan penemuannya. Adrian awalnya menyangkal, namun akhirnya mengakui bahwa ia telah menggunakan MatchBoost. Ia berdalih bahwa ia hanya ingin meningkatkan peluangnya untuk bertemu seseorang yang istimewa. Ia bersikeras bahwa perasaannya terhadap Dara adalah nyata, bahwa ia benar-benar mencintainya.
Namun, Dara tidak bisa mempercayainya. Kepercayaan yang telah ia berikan sepenuhnya hancur. Ia merasa dikhianati, diperalat, dan dibohongi.
"Aku tidak bisa melakukan ini, Adrian," kata Dara, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa mencintai seseorang yang membangun hubungan berdasarkan kebohongan dan manipulasi."
Adrian memohon, menangis, dan bersumpah bahwa ia akan berubah. Namun, Dara sudah mengambil keputusan. Ia tidak bisa melupakan atau memaafkan apa yang telah terjadi.
Mereka berpisah. Dara menghapus aplikasi SoulMate dari ponselnya. Ia tidak ingin lagi percaya pada janji-janji algoritma dan kecocokan sempurna yang palsu.
Beberapa bulan kemudian, Dara kembali bekerja seperti biasa. Ia tetap menjadi seorang data scientist yang brilian. Namun, ia tidak lagi sama. Ia menjadi lebih skeptis, lebih berhati-hati, dan lebih sulit untuk percaya pada orang lain. Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diprediksi, dihitung, atau dioptimalkan. Cinta adalah risiko, sebuah lompatan keyakinan, sebuah janji yang hanya bisa ditepati oleh dua hati yang tulus. Dan terkadang, janji-janji itu usang sebelum sempat diucapkan.