Aplikasi "Soulmate Algorithm" berjanji menemukan pasangan hidup yang paling kompatibel berdasarkan jutaan data: preferensi film, kebiasaan tidur, riwayat keluarga, bahkan respons fisiologis terhadap berbagai aroma. Anya skeptis, tapi sahabatnya, Rina, terus mendesaknya. "Ayolah, Anya! Di era digital ini, cinta pun bisa dioptimalkan!"
Akhirnya, Anya menyerah. Ia mengisi kuesioner yang panjangnya tak masuk akal, memindai DNA-nya, dan bahkan menjalani serangkaian tes psikologi online. Seminggu kemudian, notifikasi berkedip di ponselnya: "Kandidat Potensial Ditemukan: Data Menunjukkan Kompatibilitas 98.7%."
Jantung Anya berdebar. Ia ragu-ragu membuka profil yang tertera. Namanya: Devan. Usia: 29. Pekerjaan: Arsitek Lanskap. Foto profilnya menampilkan senyum yang tulus dan mata yang seolah menertawakan dunia. Deskripsinya ringkas namun memikat: "Mencari seseorang untuk membangun taman bersama, bukan hanya sekadar jalan-jalan di dalamnya."
Anya membaca detail profil Devan berulang-ulang. Mereka menyukai penulis yang sama, memiliki pandangan serupa tentang isu lingkungan, bahkan alergi terhadap jenis serbuk sari yang sama. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang direkomendasikan oleh aplikasi, tempat yang tenang dengan dekorasi minimalis dan aroma kopi yang menenangkan. Devan sudah menunggu ketika Anya tiba. Penampilannya persis seperti di foto, bahkan lebih menawan. Matanya berbinar ketika melihat Anya, dan senyumnya terasa hangat dan menenangkan.
"Anya, kan?" sapanya.
"Devan?" Anya menjawab, merasa gugup sekaligus terkejut. Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka membahas buku favorit, film yang baru mereka tonton, bahkan perbedaan pendapat mereka tentang desain lanskap perkotaan. Semuanya terasa nyaman dan familiar, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Setelah beberapa kencan, Anya mulai percaya pada "Soulmate Algorithm". Devan adalah segalanya yang ia cari: cerdas, lucu, perhatian, dan memiliki visi hidup yang sejalan dengannya. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan bahagia, menjelajahi kota, memasak bersama, dan bahkan mulai merencanakan liburan ke Jepang.
Namun, semakin dalam Anya menjalin hubungan dengan Devan, semakin ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Semuanya terasa terlalu...terukur. Setiap percakapan terasa seperti memenuhi checklist kompatibilitas. Setiap momen kebersamaan terasa seperti validasi algoritma.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di restoran favorit mereka, Anya tidak bisa menahan diri lagi. "Devan," katanya, suaranya bergetar. "Apakah kamu merasa...aneh dengan semua ini?"
Devan mengerutkan kening. "Aneh? Maksudmu?"
"Maksudku...apakah kamu merasa kita terlalu bergantung pada aplikasi ini? Apakah kamu merasa kita benar-benar saling mencintai, atau hanya mencintai data yang menunjukkan kita seharusnya saling mencintai?" Anya bertanya, menatapnya dengan mata penuh harap.
Devan terdiam sejenak. Ia lalu meletakkan garpu dan pisau di atas piringnya. "Anya, aku mengerti maksudmu. Awalnya, aku juga skeptis. Tapi melihat bagaimana kita cocok satu sama lain, bagaimana kita saling melengkapi, aku mulai percaya bahwa algoritma ini benar-benar bekerja."
"Tapi itulah masalahnya, Devan!" Anya berseru. "Kita cocok karena algoritma bilang kita cocok. Kita melengkapi satu sama lain karena data menunjukkan kita seharusnya melengkapi. Di mana spontanitas? Di mana kejutan? Di mana...ketidaksempurnaan yang membuat cinta itu nyata?"
Devan menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku pikir kita bahagia."
"Kita memang bahagia," kata Anya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tapi kebahagiaan ini terasa seperti produk rekayasa. Aku ingin cinta yang nyata, Devan. Cinta yang tumbuh dari hati, bukan dari data."
Malam itu, Anya dan Devan berpisah. Algoritma mungkin telah menemukan pasangan yang sempurna secara matematis, tetapi hati Anya menolak untuk dipaksa mencintai. Ia menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang kompatibilitas, tetapi juga tentang menerima perbedaan, mengatasi tantangan, dan membangun hubungan yang unik dan organik.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang seniman jalanan bernama Leo. Leo tidak sesuai dengan kriteria apa pun yang ada di "Soulmate Algorithm". Ia berantakan, spontan, dan memiliki pandangan dunia yang sangat berbeda dengan Anya. Namun, ketika Anya menatap matanya, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya: sebuah koneksi yang mendalam dan tak terduga.
Leo tidak tahu tentang "Soulmate Algorithm", dan Anya tidak pernah memberitahunya. Mereka saling mencintai dengan cara yang sederhana dan jujur, tanpa analisis data atau validasi algoritma. Mereka bertengkar, berbaikan, tertawa bersama, dan saling mendukung dalam suka maupun duka. Cinta mereka tidak sempurna, tetapi nyata.
Anya menyadari bahwa algoritma dapat membantu menemukan potensi, tetapi pada akhirnya, hatilah yang menilai. Cinta sejati tidak bisa diprediksi atau dioptimalkan. Ia adalah sebuah misteri yang harus dipecahkan bersama, sebuah petualangan yang harus dijalani dengan hati terbuka dan keberanian untuk menghadapi ketidaksempurnaan. Dan Anya, bersama Leo, siap untuk menjalani petualangan itu. Ia menghapus aplikasi "Soulmate Algorithm" dari ponselnya. Sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya. Hatinya sudah menemukan jalannya sendiri.