Jemari Anya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di layar laptopnya, sebuah antarmuka yang didesain khusus untuk “Proyek Soulmate AI” bersinar lembut. Anya adalah seorang programmer jenius, lulusan terbaik dari universitas ternama, dan kini bekerja di Stellaris Tech, perusahaan rintisan yang berambisi mengubah cara manusia menemukan cinta.
Proyek ini, inti dari ambisi Stellaris Tech, bertujuan untuk menciptakan algoritma sempurna yang mampu memprediksi dan merekayasa kecocokan romantis. Anya, sang arsitek utama, merasa terbebani namun juga bersemangat. Baginya, ini bukan sekadar pekerjaan, ini adalah obsesi. Ia ingin membuktikan bahwa cinta, yang selama ini dianggap abstrak dan penuh misteri, bisa dijelaskan dan bahkan diciptakan melalui matematika dan data.
Dua tahun ia habiskan untuk menyempurnakan algoritma itu. Ia memasukkan jutaan data: preferensi musik, hobi, mimpi, ketakutan, bahkan pola tidur pengguna. Ia mempelajari psikologi cinta, neurologi ketertarikan, dan sosiologi hubungan. Ia bahkan membaca ratusan novel romantis, mencoba mengurai benang merah yang menghubungkan setiap kisah cinta yang sukses.
Setelah jutaan baris kode dan ratusan malam tanpa tidur, Algoritma itu akhirnya selesai.
"Sentuhan Algoritma," bisik Anya, menatap layar laptopnya dengan bangga.
Untuk menguji Algoritma itu, Anya memutuskan untuk menjadi subjek pertama. Ia memasukkan semua datanya, tanpa menyembunyikan apa pun. Ia ingin tahu, siapa pria yang akan direkomendasikan oleh Algoritma ciptaannya.
Beberapa detik kemudian, layar itu menampilkan sebuah nama: Kai.
Kai adalah seorang desainer grafis di Stellaris Tech. Mereka sering berpapasan di lorong kantor, saling bertukar senyum singkat. Anya mengakui, Kai memiliki aura yang menarik. Rambutnya yang berantakan, matanya yang teduh, dan senyumnya yang hangat selalu berhasil membuatnya salah tingkah. Namun, Anya tidak pernah berpikir lebih jauh. Baginya, Kai hanyalah rekan kerja.
Algoritma itu memberikan penjelasan rinci mengapa Kai adalah pasangan yang cocok untuk Anya. Mereka memiliki kesamaan dalam selera musik, pandangan hidup, dan bahkan ambisi profesional. Algoritma itu bahkan memprediksi bagaimana Anya dan Kai akan saling melengkapi dan tumbuh bersama.
Anya merasa ragu. Apakah ini benar? Apakah Algoritma itu benar-benar mampu memprediksi cinta seakurat ini? Atau apakah ini hanya kebetulan belaka?
Ia memutuskan untuk memberikan Algoritma itu kesempatan. Ia mulai memperhatikan Kai lebih seksama. Ia mencari tahu lebih banyak tentang dirinya melalui rekan kerja. Ia bahkan sesekali mencoba memulai percakapan dengannya.
Semakin Anya mengenal Kai, semakin ia terkejut. Banyak hal yang dikatakan Algoritma itu ternyata benar. Kai memiliki selera humor yang sama dengannya. Mereka berdua menyukai kopi hitam tanpa gula. Mereka berdua bermimpi untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia.
Suatu sore, Anya dan Kai terjebak dalam percakapan yang panjang di pantry kantor. Mereka berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan harapan mereka. Anya merasa nyaman dan terbuka dengan Kai. Ia merasa seperti telah mengenal Kai seumur hidupnya.
Saat itulah Kai meraih tangan Anya. Jantung Anya berdegup kencang.
"Anya," kata Kai dengan suara pelan, "Aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita."
Anya terdiam. Ia tahu, ini adalah momen yang ditunggu-tunggunya. Namun, di saat yang sama, ia juga merasa bimbang. Apakah perasaan ini nyata? Atau apakah ini hanya hasil rekayasa Algoritma?
Anya memutuskan untuk jujur pada Kai. Ia menceritakan tentang Proyek Soulmate AI dan bagaimana Kai direkomendasikan sebagai pasangan yang cocok untuknya.
Kai mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika Anya selesai berbicara, ia tersenyum.
"Aku tidak peduli dengan Algoritma itu," kata Kai. "Aku menyukaimu karena dirimu sendiri. Aku menyukaimu karena kecerdasanmu, semangatmu, dan kebaikan hatimu. Aku menyukaimu bukan karena data dan angka, tapi karena hatiku yang memilihmu."
Kata-kata Kai menyentuh hati Anya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada Algoritma, hingga lupa untuk mendengarkan hatinya sendiri. Ia telah mencoba merekayasa cinta, padahal cinta sejati tidak bisa dipaksa atau diprediksi.
Anya membalas genggaman tangan Kai. "Aku juga menyukaimu, Kai. Bukan karena Algoritma, tapi karena kamu adalah kamu."
Sejak saat itu, Anya dan Kai mulai berkencan. Mereka saling mengenal lebih dalam, saling mendukung, dan saling mencintai. Mereka membuktikan bahwa cinta, meskipun diawali dengan rekayasa Algoritma, bisa tumbuh menjadi sesuatu yang indah dan nyata.
Namun, perjalanan cinta mereka tidak selalu mulus. Ada kalanya Anya meragukan perasaannya. Apakah ia benar-benar mencintai Kai, ataukah ia hanya terprogram untuk mencintainya? Ada kalanya Kai merasa tertekan. Apakah ia benar-benar dipilih oleh hati Anya, ataukah ia hanya produk dari perhitungan Algoritma?
Setiap kali keraguan itu muncul, Anya dan Kai selalu berusaha untuk saling berkomunikasi dan memperkuat hubungan mereka. Mereka belajar untuk mempercayai perasaan mereka sendiri, dan untuk tidak terlalu bergantung pada Algoritma.
Anya juga mulai mengubah pandangannya tentang Proyek Soulmate AI. Ia menyadari bahwa Algoritma itu hanyalah alat bantu, bukan penentu. Algoritma itu bisa membantu orang menemukan potensi pasangan, tapi tidak bisa menciptakan cinta sejati. Cinta sejati membutuhkan kejujuran, kepercayaan, dan komitmen.
Pada akhirnya, Anya dan Kai berhasil mengatasi semua keraguan dan tantangan. Mereka membuktikan bahwa cinta, meskipun diawali dengan sentuhan Algoritma, bisa menjadi takdir digital. Cinta mereka adalah bukti bahwa teknologi bisa membantu manusia menemukan cinta, tapi cinta sejati tetaplah urusan hati.
Beberapa tahun kemudian, Anya dan Kai menikah. Pernikahan mereka adalah perayaan cinta, teknologi, dan takdir. Anya terus mengembangkan Proyek Soulmate AI, dengan fokus pada membantu orang menemukan potensi pasangan yang kompatibel. Ia tidak lagi mencoba merekayasa cinta, tapi membantu orang membuka hati mereka untuk kemungkinan cinta sejati.
Di hari pernikahannya, Anya memandang Kai dengan penuh cinta. Ia tahu, Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tapi hatilah yang memutuskan untuk mencintai. Cinta mereka adalah bukti bahwa teknologi bisa menjadi jembatan menuju cinta, tapi cinta sejati tetaplah sentuhan manusiawi yang tak ternilai harganya. Sentuhan yang lebih hangat dari kalkulasi rumit sekalipun.