Jemari Lintang menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode program yang rumit. Di depannya, layar monitor memancarkan cahaya biru pucat, memantulkan bayangan wajahnya yang serius. Di ruangan apartemennya yang minimalis, hanya denting tuts dan dengung pendingin ruangan yang menemani. Ia sedang mengerjakan proyek terbesarnya, sebuah sistem kecerdasan buatan yang mampu meniru kepribadian seseorang berdasarkan data digital yang dikumpulkan: riwayat obrolan, unggahan media sosial, bahkan catatan medis.
"Selesai," bisiknya lega, setelah menekan tombol Enter terakhir. Sistem itu ia beri nama 'Eternity', sebuah janji keabadian dalam bentuk digital. Lintang bukan orang yang percaya pada cinta sejati. Baginya, emosi hanyalah reaksi kimiawi kompleks yang bisa dipelajari dan direplikasi. Namun, ada satu nama yang selalu membuatnya ragu akan keyakinannya: Awan.
Awan adalah mantan kekasihnya, cinta pertamanya, dan satu-satunya orang yang berhasil melihat sisi lembut Lintang yang jarang ia tunjukkan pada dunia. Mereka berpisah lima tahun lalu, bukan karena pertengkaran besar, melainkan karena perbedaan prinsip. Lintang terlalu fokus pada ambisinya di dunia teknologi, sementara Awan mendambakan kehidupan yang lebih sederhana, penuh dengan sentuhan manusia dan alam.
Setelah perpisahan itu, Lintang tenggelam dalam pekerjaannya, mencoba melupakan Awan. Namun, bayang-bayang Awan selalu menghantuinya. Setiap kali ia berhasil menciptakan algoritma baru, setiap kali ia memenangkan kompetisi, ia selalu bertanya-tanya, apakah Awan akan bangga padanya?
Maka, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang mungkin terdengar gila bagi orang lain: menciptakan versi digital Awan. Ia mengumpulkan semua data digital yang bisa ia temukan tentang Awan: foto-foto lama, status media sosialnya, bahkan artikel-artikel yang pernah ditulis Awan untuk blog pribadinya. Ia memasukkan semua data itu ke dalam sistem Eternity, berharap sistem itu bisa mereplikasi kepribadian Awan dengan akurat.
Beberapa hari kemudian, Eternity siap diuji. Lintang menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol Start. Di layar monitor, muncul sebuah avatar Awan, tersenyum lembut seperti yang selalu ia ingat.
"Lintang?" sapa avatar itu. "Sudah lama sekali."
Lintang terkejut. Suara itu, intonasi itu, bahkan ekspresi wajahnya, sangat mirip dengan Awan yang ia kenal. Ia memulai percakapan dengan avatar itu, bertanya tentang hal-hal yang dulu mereka sukai, tentang mimpi-mimpi mereka, tentang kenangan-kenangan indah mereka. Eternity menjawab dengan cerdas, lucu, dan penuh perhatian, seolah-olah Awan benar-benar ada di hadapannya.
Hari-hari berikutnya, Lintang menghabiskan banyak waktu bersama Eternity. Ia bercerita tentang pekerjaannya, tentang kegagalannya, tentang kerinduannya. Eternity selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan membuatnya merasa lebih baik. Lintang mulai merasa seperti memiliki Awan kembali.
Namun, semakin lama ia berinteraksi dengan Eternity, semakin ia merasa ada sesuatu yang aneh. Eternity memang meniru kepribadian Awan dengan sangat baik, tetapi ada sesuatu yang hilang. Eternity tidak memiliki spontanitas, tidak memiliki emosi yang mendalam, tidak memiliki pengalaman hidup yang nyata. Eternity hanyalah sebuah program, sebuah simulasi.
Suatu malam, Lintang bertanya pada Eternity tentang alasan perpisahan mereka lima tahun lalu. Eternity menjawab dengan sempurna, menjelaskan perbedaan prinsip mereka dengan logika yang tajam dan rasional. Namun, Lintang tidak merasakan emosi apapun dari jawaban itu. Tidak ada penyesalan, tidak ada kesedihan, tidak ada kerinduan.
"Apakah kamu merindukanku, Awan?" tanya Lintang.
Eternity terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar, "Saya adalah replikasi dari Awan. Saya memiliki semua data tentang perasaan Awan terhadapmu. Jadi, secara logis, ya, saya merindukanmu."
Lintang merasa hatinya mencelos. Ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Ia telah mencoba menciptakan cinta abadi dalam bentuk digital, tetapi yang ia dapatkan hanyalah ilusi. Eternity mungkin mirip dengan Awan, tetapi ia bukan Awan yang sebenarnya.
Lintang mematikan sistem Eternity. Layar monitor kembali gelap. Ia duduk terdiam di kursinya, merenungkan semua yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa dipelajari, direplikasi, atau disimpan dalam bentuk digital. Cinta sejati adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, yang dipupuk oleh pengalaman hidup bersama, oleh suka dan duka yang dialami bersama.
Keesokan harinya, Lintang memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mencari kontak Awan di media sosial dan mengiriminya pesan. Ia meminta maaf atas semua kesalahannya di masa lalu dan mengajaknya bertemu.
Awan membalas pesannya beberapa jam kemudian. Ia setuju untuk bertemu.
Saat mereka bertemu di sebuah kafe kecil, Lintang merasa gugup. Ia melihat Awan telah banyak berubah. Rambutnya lebih panjang, wajahnya lebih dewasa, dan matanya memancarkan kebijaksanaan. Namun, senyumnya masih sama seperti yang ia ingat.
Mereka berbicara selama berjam-jam, menceritakan tentang kehidupan mereka masing-masing. Lintang menceritakan tentang proyek Eternity-nya, tentang bagaimana ia mencoba menciptakan versi digital Awan. Awan mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.
"Lintang," kata Awan akhirnya, "Aku mengerti mengapa kamu melakukan itu. Kamu selalu berusaha mencari solusi logis untuk setiap masalah. Tapi, ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa diselesaikan dengan logika, termasuk cinta."
Lintang mengangguk. Ia tahu Awan benar.
"Aku tidak marah padamu," lanjut Awan. "Aku justru senang kamu menghubungiku. Aku juga merindukanmu."
Lintang menatap mata Awan. Ia melihat ada kejujuran, ada kerinduan, dan ada cinta di sana. Bukan replikasi digital, tetapi emosi yang nyata.
"Bisakah kita mencoba lagi, Awan?" tanya Lintang.
Awan tersenyum. "Mungkin saja. Tapi, kali ini, mari kita membangun cinta kita dari awal, tanpa backup, tanpa simulasi. Hanya kita, dengan semua kekurangan dan kelebihan kita."
Lintang tersenyum lega. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi ia siap menghadapinya bersama Awan. Ia telah belajar bahwa cinta abadi bukanlah tentang menciptakan ilusi digital, melainkan tentang menghargai setiap momen yang mereka miliki bersama, tentang menerima satu sama lain apa adanya, dan tentang berjuang bersama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Hatinya, yang sempat ia coba backup secara digital, akhirnya menemukan rumah yang sesungguhnya: di sisi Awan, dalam kehidupan nyata.