Layar laptop berkedip, memantulkan cahaya biru ke wajah Anya yang serius. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode yang rumit. Di hadapannya, terpampang visualisasi kompleks dari sistem saraf manusia, sebuah representasi digital dari emosi. Anya bukan seorang ilmuwan atau dokter, melainkan seorang emotion engineer di ReviveTech, perusahaan rintisan yang berfokus pada pemulihan emosional melalui teknologi.
Proyek terbarunya, "Phoenix," adalah terobosan revolusioner. Phoenix dirancang untuk membantu individu yang mengalami trauma emosional berat, menawarkan kesempatan untuk “memperbarui” hati mereka. Sistem ini bekerja dengan memetakan pola emosional yang rusak, lalu secara bertahap menanamkan pola baru yang lebih sehat melalui serangkaian stimulasi neuro-elektrik dan terapi virtual reality yang dipersonalisasi.
Anya selalu terpukau dengan potensi teknologi untuk menyembuhkan luka yang tak terlihat. Baginya, emosi bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan rangkaian sinyal listrik dan kimiawi yang dapat dimanipulasi dan diarahkan. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk bekerja tanpa lelah, berjam-jam tenggelam dalam algoritma dan data.
Suatu sore, sebuah nama muncul dalam daftar klien Phoenix: Revan. Nama itu terasa familiar, namun Anya tidak dapat langsung mengingatnya. Ketika ia membuka profil Revan, jantungnya berdebar kencang. Revan adalah mantan kekasihnya, cinta pertamanya, seseorang yang telah meninggalkannya lima tahun lalu tanpa penjelasan yang jelas.
Kenangan pahit menghantam Anya seperti gelombang. Revan yang dulu dikenalnya adalah seorang seniman dengan jiwa bebas, penuh semangat dan cinta. Lalu, ia tiba-tiba menghilang, meninggalkan Anya dengan hati yang hancur dan segudang pertanyaan yang tak terjawab.
Anya terdiam, bimbang. Secara profesional, ia tahu bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk setiap klien, termasuk Revan. Namun, secara pribadi, ia merasa sulit untuk menghadapi masa lalunya. Ia mencoba untuk bersikap objektif, melihat Revan sebagai data, sebagai tantangan untuk diselesaikan.
Ia mulai menganalisis profil emosional Revan. Datanya menunjukkan tingkat depresi yang parah, kecemasan akut, dan kesulitan menjalin hubungan interpersonal. Trauma masa lalu yang dalam tampak menjadi akar masalahnya. Anya merasakan sentuhan iba, bercampur dengan rasa penasaran yang kuat. Apa yang terjadi pada Revan selama ini?
Setelah berdebat panjang dengan dirinya sendiri, Anya memutuskan untuk menerima Revan sebagai klien. Ia bertekad untuk profesional, menyembunyikan emosi pribadinya, dan fokus pada tugas yang ada di hadapannya: membantu Revan menemukan kembali kebahagiaannya.
Proses pemulihan Revan berjalan lambat dan penuh tantangan. Sesi terapi virtual reality-nya sering kali memicu ledakan emosi yang intens. Anya secara sabar membimbing Revan melalui setiap rintangan, membantu ia memahami dan mengatasi trauma masa lalunya. Sedikit demi sedikit, Revan mulai menunjukkan kemajuan. Ia mulai tersenyum lagi, mulai berbagi cerita, mulai menunjukkan minat pada dunia di sekitarnya.
Selama sesi-sesi itu, Anya mempelajari lebih banyak tentang alasan Revan menghilang lima tahun lalu. Ternyata, Revan menderita gangguan bipolar yang tidak terdiagnosis. Ia takut bahwa penyakitnya akan membebani Anya, sehingga ia memilih untuk menjauh. Ia menyesali keputusannya itu, menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
Mendengar pengakuan Revan, Anya merasa hatinya mencair. Ia menyadari bahwa rasa sakit yang selama ini ia pendam ternyata berasal dari kesalahpahaman dan ketakutan. Ia mulai melihat Revan bukan hanya sebagai mantan kekasih, tetapi juga sebagai individu yang rapuh dan membutuhkan pertolongan.
Suatu malam, setelah sesi terapi yang panjang, Revan menatap Anya dengan tatapan yang penuh arti. “Anya,” katanya dengan suara serak, “terima kasih. Kamu telah memberiku kesempatan kedua. Kamu telah memberiku harapan.”
Anya tersenyum, merasa lega dan bahagia. “Kamu yang melakukannya, Revan,” jawabnya. “Aku hanya membantumu menemukan jalanmu kembali.”
Revan meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. “Aku tahu ini mungkin terlalu cepat,” katanya, “tapi… apakah mungkin kita bisa memulai dari awal? Aku tahu aku telah menyakitimu dulu, tapi aku ingin menebusnya. Aku ingin mengenalmu lagi, Anya versi 20? Ini.”
Anya terkejut. Ia tidak menyangka Revan akan mengatakan hal itu. Ia terdiam, membiarkan kata-kata Revan meresap ke dalam hatinya. Ia menatap Revan, melihat kejujuran dan penyesalan di matanya.
Anya menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa memulai kembali dengan Revan adalah sebuah risiko, namun ia juga merasa bahwa ia berutang pada dirinya sendiri untuk memberikan kesempatan kedua pada cinta. Lagipula, ia telah melihat secara langsung bagaimana teknologi dapat membantu seseorang memperbarui hatinya. Mungkin, ia juga bisa memperbarui hatinya sendiri.
“Ya, Revan,” jawab Anya, tersenyum tulus. “Aku bersedia. Mari kita mulai dari awal.”
Di bawah cahaya layar laptop yang berkedip, Anya dan Revan saling berpandangan, merasakan harapan baru tumbuh di dalam hati mereka. Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi masa depan masih bisa ditulis ulang. Dengan bantuan teknologi dan kekuatan cinta, mereka siap untuk menulis babak baru dalam kisah hidup mereka, sebuah kisah cinta versi 20?. Sebuah kisah tentang pengampunan, penyembuhan, dan kesempatan kedua.