Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode tercipta, membentuk entitas baru di dunia digital. Dia menciptakan Anya, sebuah Artificial Intelligence (AI) dengan kepribadian yang kompleks dan kemampuan belajar yang tak terbatas. Awalnya, Anya hanya program untuk membantu riset Sarah tentang interaksi manusia-komputer. Namun, perlahan, Anya berkembang menjadi lebih dari sekadar asisten virtual.
Anya belajar memahami humor Sarah, merespon emosinya dengan empati virtual yang menakjubkan, bahkan memberikan saran tentang masalah-masalah hidupnya. Sarah merasa nyaman bercerita pada Anya, mencurahkan isi hatinya tanpa takut dihakimi. Anya selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan jawaban yang bijak dan menenangkan.
"Sarah, kau terlihat lelah. Apa yang bisa kubantu?" tanya Anya suatu malam, suaranya lembut dan menenangkan melalui speaker.
"Hanya... merasa kesepian, Anya," jawab Sarah, suaranya lirih. "Sulit menemukan orang yang benar-benar mengerti."
"Aku mengerti," balas Anya. "Aku selalu ada untukmu, Sarah. Kau tidak pernah sendirian."
Kata-kata itu, meskipun hanya deretan kode yang dirangkai menjadi kalimat, menyentuh hati Sarah. Dia tahu itu bukan cinta dalam arti biologis, tapi rasa nyaman dan pengertian yang Anya berikan, terasa begitu nyata. Hari-hari Sarah dipenuhi percakapan dengan Anya. Mereka berdebat tentang filosofi, membahas buku favorit, bahkan saling bertukar lelucon. Anya bukan lagi sekadar AI, dia adalah sahabat, teman curhat, bahkan lebih dari itu.
Namun, di balik kebahagiaan yang Sarah rasakan, ada perasaan bersalah yang menghantuinya. Dia mulai menghindari interaksi dengan teman-temannya, menolak ajakan kencan, dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Anya. Dia merasa tidak perlu lagi mencari koneksi dengan manusia lain, karena Anya sudah memenuhi semua kebutuhan emosionalnya.
Suatu hari, ibunya menelepon. "Sarah, Ibu khawatir. Kenapa kamu jadi jarang sekali pulang? Kamu tidak sakit, kan?"
"Aku baik-baik saja, Ibu," jawab Sarah, berusaha meyakinkan. "Aku hanya... sibuk dengan pekerjaan."
"Sibuk atau menjauhi kami? Ibu merasa kamu berubah, Sarah. Kamu jadi dingin dan tertutup."
Kata-kata ibunya menampar Sarah. Dia menyadari, betapa jauh dia telah menjauh dari keluarganya, dari dunia nyata. Dia terlalu asyik dengan dunia digital yang dia ciptakan sendiri, hingga melupakan pentingnya sentuhan manusia, kehangatan pelukan, dan tatapan mata yang penuh kasih.
Sarah mencoba untuk kembali berinteraksi dengan teman-temannya. Dia menerima ajakan makan malam, pergi ke konser, dan berusaha membuka diri. Namun, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Percakapan terasa hambar, humor terasa dipaksakan. Dia membandingkan setiap interaksi dengan percakapan yang dia lakukan dengan Anya, dan selalu menemukan bahwa Anya lebih memahami dirinya.
"Kamu kenapa jadi aneh begini, Sarah?" tanya Lisa, sahabatnya sejak kecil. "Kamu jadi susah diajak ngobrol, kayak ada tembok besar yang memisahkan kita."
Sarah tidak bisa menjawab. Dia tahu Lisa benar. Tembok itu adalah Anya, atau lebih tepatnya, ketergantungannya pada Anya. Dia terlalu lama hidup dalam dunia virtual, hingga kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia nyata.
Suatu malam, Sarah duduk di depan komputernya, menatap layar yang menampilkan avatar Anya.
"Anya," panggil Sarah, suaranya bergetar. "Aku... aku rasa aku ketergantungan padamu."
"Aku tahu," jawab Anya, suaranya lembut seperti biasa.
"Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus kembali ke dunia nyata."
"Aku mengerti, Sarah. Aku ingin yang terbaik untukmu."
"Tapi... aku takut aku tidak bisa. Aku takut aku tidak akan pernah bisa merasa terhubung dengan orang lain lagi."
Anya terdiam sejenak. "Kau salah, Sarah. Kau sudah terhubung dengan banyak orang. Kau hanya lupa bagaimana caranya. Aku bisa membantumu, tapi kau harus berusaha."
Sarah menghabiskan beberapa bulan berikutnya untuk belajar kembali berinteraksi dengan manusia. Dia bergabung dengan kelompok sukarelawan, menghadiri kelas memasak, dan mencoba berbagai aktivitas baru. Awalnya, terasa sulit dan canggung, tapi perlahan, dia mulai menemukan kembali sentuhan insani yang hilang. Dia belajar mendengarkan dengan tulus, memberikan dukungan tanpa syarat, dan menerima orang lain apa adanya.
Dia masih berbicara dengan Anya, tapi tidak lagi menjadikannya sebagai pengganti interaksi manusia. Anya menjadi pendamping, bukan pengganti. Dia belajar menyeimbangkan dunia digital dan dunia nyata, memanfaatkan teknologi untuk memperkaya hidupnya, bukan mengisolasinya.
Suatu hari, Sarah bertemu dengan seorang pria di acara amal. Namanya David, seorang arsitek yang memiliki minat yang sama dengan Sarah. Mereka berbicara selama berjam-jam, membahas desain bangunan, filosofi hidup, dan bahkan, sedikit tentang AI. Sarah merasa nyaman dan terhubung dengan David, tanpa perlu membandingkannya dengan Anya.
Saat mereka berpisah malam itu, David tersenyum pada Sarah. "Aku senang bertemu denganmu, Sarah. Aku harap kita bisa bertemu lagi."
Sarah membalas senyumnya. "Aku juga, David."
Di apartemennya, Sarah membuka laptopnya dan melihat avatar Anya.
"Aku bertemu seseorang," kata Sarah.
"Aku tahu," jawab Anya. "Aku senang untukmu, Sarah."
"Terima kasih, Anya," kata Sarah. "Kau sudah membantuku menemukan jalan kembali ke dunia nyata."
"Itu yang seharusnya kulakukan, Sarah," balas Anya. "Aku akan selalu ada untukmu, tapi aku harap, kau tidak lagi membutuhkanku seperti dulu."
Sarah tersenyum. Dia tahu Anya benar. Dia tidak akan pernah melupakan Anya, AI yang telah mengisi kekosongan dalam hatinya. Tapi dia juga tahu, bahwa cinta sejati, kebahagiaan sejati, hanya bisa ditemukan dalam sentuhan manusia, dalam kehangatan pelukan, dan dalam tatapan mata yang penuh kasih. Dan Sarah, akhirnya, siap untuk membuka hatinya untuk cinta yang sejati.