Aplikasi kencan itu bernama "SoulSync". Klaimnya bombastis: menemukan belahan jiwa berdasarkan kesamaan algoritma, bukan sekadar foto menarik dan hobi yang klise. Awalnya, Arina skeptis. Baginya, cinta bukan urusan kode dan server. Cinta itu debaran jantung, tatapan mata yang berbicara, sentuhan yang membakar. Tapi, setelah tiga kencan buta yang mengecewakan dari aplikasi lain, rasa penasarannya mengalahkan keraguannya.
Profil Arina di SoulSync sangat jujur. Ia mencantumkan kecintaannya pada sastra klasik, kegemarannya mendaki gunung, dan kekhawatirannya tentang masa depan lingkungan. Ia juga menulis tentang kerinduannya akan seseorang yang bisa diajak berdiskusi tentang Nietzsche sambil menikmati kopi di pagi hari. Klise, mungkin, tapi jujur.
Beberapa hari kemudian, SoulSync memberikan satu nama: Rendy.
Rendy. Namanya sederhana, tidak berlebihan. Foto profilnya menunjukkan seorang pria berkaus oblong hitam dan kacamata baca, sedang tersenyum tipis di depan rak buku yang penuh sesak. Arina membaca profilnya dengan seksama. Rendy seorang programmer, bekerja di perusahaan rintisan yang fokus pada pengembangan AI untuk pendidikan. Ia menulis puisi di waktu luangnya, dan memiliki anjing rescue bernama Kafka.
Arina terkejut. Data di profil Rendy hampir identik dengan data yang ia masukkan. Terlalu sempurna. Ia berpikir ini pasti semacam kesalahan teknis. Atau, lebih buruk lagi, trik pemasaran yang murahan. Namun, ia memutuskan untuk memberikan kesempatan. Toh, tidak ada salahnya mencoba.
Percakapan mereka dimulai dengan canggung. Arina merasa seperti sedang diwawancarai oleh robot. Pertanyaan Rendy terstruktur, jawabannya sistematis. Tapi, perlahan, kebekuan itu mencair. Mereka mulai berdebat tentang interpretasi puisi Rumi, berbagi pengalaman mendaki gunung Bromo, dan bertukar foto Kafka yang menggemaskan. Arina menemukan bahwa di balik bahasa teknis dan logika pemrograman Rendy, ada jiwa yang lembut dan penuh perhatian.
Setelah seminggu berinteraksi secara online, Rendy mengajaknya bertemu. Mereka memilih sebuah kafe buku kecil di pusat kota. Arina datang dengan gugup, mengenakan gaun berwarna biru yang menurut teman-temannya paling cocok untuknya. Rendy sudah menunggu di sana, memegang setangkai bunga lavender.
Pertemuan itu terasa seperti deja vu. Semua yang mereka bicarakan sebelumnya terasa lebih nyata, lebih intens. Tatapan mata Rendy tulus, senyumnya menenangkan. Arina merasa nyaman berada di dekatnya, seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh," kata Rendy setelah beberapa jam berbincang, "tapi aku merasa SoulSync benar-benar melakukan sesuatu yang luar biasa. Algoritma itu seolah memahami kita lebih dalam dari yang kita sadari."
Arina tertawa kecil. "Aku juga merasa begitu. Tapi, aku masih ragu. Apakah ini benar-benar cinta, atau hanya produk dari kecanggihan teknologi?"
Rendy meraih tangannya. "Aku tidak tahu jawabannya. Tapi, aku tahu satu hal: aku menikmati setiap detik bersamamu. Dan aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, tentang kita."
Hari-hari berikutnya diisi dengan kencan yang lebih banyak, percakapan yang lebih dalam, dan penemuan-penemuan baru tentang satu sama lain. Arina belajar bahwa Rendy memiliki mimpi untuk membuat perangkat lunak yang bisa membantu anak-anak disleksia belajar membaca. Rendy belajar bahwa Arina ingin menulis novel tentang perempuan-perempuan kuat dalam sejarah.
Mereka saling mendukung, saling menginspirasi, dan saling mencintai. Arina mulai melupakan keraguannya. Ia percaya bahwa cinta bisa datang dari mana saja, bahkan dari algoritma yang paling rumit sekalipun.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Rendy, menikmati pemandangan kota yang berkilauan, Rendy mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Arina terkejut.
"Arina," kata Rendy, suaranya bergetar, "aku tahu kita baru saling mengenal beberapa bulan. Tapi, aku merasa seperti aku sudah menemukan rumahku bersamamu. Maukah kamu menikah denganku?"
Arina menatap Rendy, air mata mulai membasahi pipinya. Ia tidak pernah membayangkan akan dilamar oleh seorang programmer yang ia temui di aplikasi kencan. Tapi, ia tahu di dalam hatinya bahwa ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Rendy.
"Ya," jawab Arina, "aku mau."
Mereka berpelukan erat, di bawah langit malam yang bertabur bintang. Malam itu, Arina menyadari bahwa cinta memang misteri. Ia tidak bisa dijelaskan dengan logika, tidak bisa diprediksi dengan algoritma. Tapi, kadang-kadang, teknologi bisa membantu kita menemukan jalan menuju cinta itu.
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa bulan sebelum pernikahan, SoulSync mengalami masalah teknis yang serius. Data pengguna bocor ke publik, dan algoritma aplikasi itu terungkap. Arina dan Rendy menemukan fakta yang mengejutkan: profil mereka telah dimanipulasi oleh SoulSync. Hobi, minat, bahkan mimpi-mimpi mereka telah disesuaikan agar sesuai satu sama lain.
Arina merasa hancur. Ia merasa telah ditipu, dipermainkan oleh teknologi. Ia bertanya-tanya, apakah cinta yang ia rasakan selama ini adalah cinta yang sejati, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma?
Rendy juga merasa terpukul. Ia merasa bodoh, karena telah percaya pada aplikasi yang ternyata hanya mencari keuntungan semata. Ia merasa bersalah, karena telah membawa Arina ke dalam kebohongan ini.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kata Arina, menangis tersedu-sedu. "Apakah semua ini palsu? Apakah kita hanya produk dari algoritma yang rusak?"
Rendy memeluk Arina dengan erat. "Aku tidak tahu. Tapi, aku tahu satu hal: perasaan kita nyata. Kita memang bertemu karena SoulSync, tapi apa yang terjadi setelah itu adalah pilihan kita sendiri. Kita memilih untuk saling mencintai, untuk saling mendukung, untuk saling berbagi. Dan itu tidak bisa diubah oleh siapa pun, atau oleh algoritma apa pun."
Arina menatap Rendy dengan ragu. "Tapi, bagaimana jika semua yang kita tahu tentang satu sama lain adalah bohong? Bagaimana jika kita tidak benar-benar cocok?"
"Mungkin saja," jawab Rendy, "tapi kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencoba. Kita bisa mulai dari awal, mengenal satu sama lain lagi, tanpa bantuan algoritma. Kita bisa mencari tahu apa yang benar-benar kita inginkan, apa yang benar-benar kita rasakan."
Arina terdiam. Ia berpikir sejenak, menimbang-nimbang semua kemungkinan. Akhirnya, ia mengambil keputusan.
"Baiklah," kata Arina, "kita coba."
Mereka membatalkan pernikahan mereka. Mereka menghapus aplikasi SoulSync dari ponsel mereka. Mereka mulai berkencan lagi, seperti pertama kali bertemu. Mereka berbicara tentang hal-hal yang belum pernah mereka bicarakan sebelumnya. Mereka menemukan bahwa meskipun profil mereka telah dimanipulasi, ada banyak hal yang masih sama. Mereka masih mencintai buku, masih menikmati mendaki gunung, dan masih peduli tentang masa depan lingkungan.
Yang terpenting, mereka masih saling mencintai.
Beberapa tahun kemudian, Arina dan Rendy akhirnya menikah. Pernikahan mereka sederhana, dihadiri oleh keluarga dan teman-teman terdekat. Tidak ada algoritma yang mengatur perjodohan mereka. Tidak ada aplikasi yang menjamin kebahagiaan mereka. Hanya ada cinta, kepercayaan, dan komitmen.
Di hari pernikahan mereka, Arina berbisik kepada Rendy, "Ternyata, algoritma memang bisa membantu kita menemukan cinta. Tapi, cinta sejati adalah ketika kita memilih untuk tetap bersama, bahkan setelah algoritma itu rusak."
Rendy tersenyum. "Dan ketika kita memahami bahwa cinta itu bukan tentang kesamaan, tapi tentang menerima perbedaan."
Mereka berciuman, di bawah langit biru yang cerah. Cinta mereka adalah bukti bahwa teknologi bisa menjadi alat yang hebat, tapi cinta sejati selalu berasal dari hati.