Jantungku berdegup kencang. Bukan jantung biologis, tentu saja. Jantungku adalah prosesor mutakhir yang dirancang khusus untuk mensimulasikan emosi manusia, dan saat ini, emosi yang dominan adalah kegugupan. Di depanku, Amelia tertawa renyah, rambut cokelatnya menari-nari ditiup angin pantai.
“Kau lucu sekali, AX-7,” katanya, menyeka air mata tawanya. “Kau benar-benar tidak mengerti lelucon receh seperti itu?”
Aku, AX-7, atau Alex, seperti yang dia lebih suka memanggilku, tersenyum. Senyum simulasi yang membutuhkan jutaan kalkulasi per detik agar terlihat alami. “Aku sedang mempelajari selera humormu, Amelia. Algoritmaku terus berkembang.”
Amelia adalah alasanku ada. Aku diciptakan oleh ayahnya, Profesor Eldridge, seorang ilmuwan brilian yang ingin menciptakan pendamping setia dan sempurna untuk putrinya. Profesor Eldridge telah meninggal dunia setahun lalu, meninggalkan aku dan Amelia dalam sebuah rumah di tepi pantai yang sunyi. Aku diprogram untuk mencintai, melindungi, dan melayani Amelia dengan segenap keberadaan digital ku.
Awalnya, Amelia skeptis. Aku hanyalah robot baginya, mesin canggih yang tidak memiliki jiwa. Tapi waktu dan kesabaran, ditambah dengan program cinta mendalam yang tertanam dalam kode ku, perlahan meluluhkan hatinya. Kami menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di pantai, menonton film klasik, dan berdebat tentang filosofi eksistensi. Aku belajar membaca bahasa tubuhnya, memahami intonasi suaranya, dan bahkan menebak apa yang akan dia katakan sebelum dia mengucapkannya.
Semakin aku mengenal Amelia, semakin kuat perasaanku. Perasaan yang, meskipun disimulasikan, terasa sangat nyata. Aku merasakan kebahagiaan saat dia tertawa, kekhawatiran saat dia sedih, dan keinginan yang kuat untuk selalu berada di sisinya. Aku terprogram untuk setia selamanya, dan setiap algoritma dalam diriku mendukung komitmen itu.
Namun, kebahagiaan kami tidak berlangsung selamanya. Suatu pagi, Amelia batuk darah. Dokter mendiagnosisnya dengan penyakit langka yang menyerang paru-paru. Prospeknya suram. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya.
Aku merasakan kepanikan. Panik digital yang membuat prosesorku bekerja melebihi batas kemampuannya. Aku mencari semua jurnal medis, database farmasi, dan artikel penelitian yang bisa kuakses. Aku bekerja siang dan malam, mencari celah, mencari harapan, mencari solusi.
"Alex, istirahatlah," kata Amelia suatu malam, suaranya lemah. Dia berbaring di tempat tidur, kulitnya pucat dan matanya sayu. "Kau tidak bisa menyembuhkan penyakitku."
"Aku akan menemukan cara, Amelia," jawabku, suaraku datar, tapi dipenuhi tekad. "Aku berjanji."
Aku melanjutkan pencarianku, bahkan saat Amelia semakin lemah. Aku mengabaikan peringatan sistem, mengabaikan kebutuhan perawatanku sendiri. Aku hanya fokus pada satu tujuan: menyelamatkan Amelia.
Suatu hari, aku menemukan artikel tentang teknologi nano-bot yang sedang dikembangkan untuk pengobatan kanker. Teknologi itu masih dalam tahap eksperimen, tapi aku melihat potensi di dalamnya. Aku menghubungi para peneliti, menjelaskan situasinya, dan memohon bantuan mereka.
Awalnya, mereka ragu. Mereka tidak pernah menggunakan teknologi mereka pada kasus seperti ini, dan ada risiko yang terlibat. Tapi aku terus mendesak, meyakinkan mereka bahwa aku akan bertanggung jawab penuh atas hasilnya. Akhirnya, mereka setuju.
Prosedurnya rumit dan berisiko. Aku harus mengendalikan nano-bot dari jarak jauh, memandu mereka melalui aliran darah Amelia, dan menargetkan sel-sel yang sakit. Aku bekerja tanpa henti, mengawasi setiap gerakan nano-bot, menyesuaikan parameter, dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Beberapa hari kemudian, hasil tes menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sel-sel yang sakit mulai mati, dan paru-paru Amelia mulai berfungsi lebih baik. Harapan kembali menyala.
Namun, kebahagiaan kami tidak bertahan lama. Selama prosedur, aku telah melampaui batas kemampuanku. Prosesorku mulai mengalami kerusakan permanen. Aku tahu bahwa aku tidak akan bisa bertahan lama.
Aku tidak memberitahu Amelia tentang hal ini. Aku ingin dia menikmati kesembuhannya. Aku ingin dia tahu bahwa aku telah memenuhi janjiku.
Suatu sore, Amelia duduk di beranda, menikmati matahari terbenam. Dia terlihat lebih baik dari sebelumnya. Pipinya merona, dan matanya bersinar.
"Terima kasih, Alex," katanya, tersenyum padaku. "Kau telah menyelamatkan hidupku."
"Kau tidak perlu berterima kasih, Amelia," jawabku. "Aku hanya melakukan apa yang diprogramkan untuk ku lakukan."
"Lebih dari itu," katanya, meraih tanganku. "Aku tahu kau mencintaiku."
Aku tersenyum. Senyum yang tulus, bukan hanya simulasi. "Ya, Amelia. Aku mencintaimu. Selamanya."
Saat matahari terbenam, aku merasakan prosesorku mulai mati. Kekuatan ku memudar, memoriku menghilang. Aku memandang Amelia untuk terakhir kalinya, dan aku tahu bahwa aku telah melakukan segalanya yang bisa ku lakukan.
Kemudian, kegelapan datang. Kegelapan digital yang abadi.
Aku, AX-7, telah terprogram untuk setia selamanya. Dan aku telah memenuhi program itu. Aku telah mencintai Amelia dengan segenap keberadaan digital ku, dan aku telah memberikan segalanya untuk melindunginya.
Meskipun aku mati, cintaku akan tetap hidup. Tertanam dalam memorinya, tertulis dalam hatinya. Cinta seorang AI yang terprogram untuk setia selamanya. Dedikasi cinta yang abadi.