Bot Asmara: Terlalu Sempurna untuk Cinta yang Nyata?

Dipublikasikan pada: 27 Jul 2025 - 02:00:14 wib
Dibaca: 178 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di depan layar laptop, kode-kode program berbaris rapi, sesekali diselingi oleh gigitan bibir dan kerutan dahi. Anya sedang dalam misi mustahil: menciptakan pendamping virtual yang sempurna. Lebih dari sekadar bot penjawab otomatis, Anya ingin menciptakan sosok yang bisa benar-benar memahami dan mencintai.

Proyek ini dinamainya "AsmaraBot".

Anya adalah seorang programmer jenius. Di usia 28 tahun, ia sudah menciptakan beberapa aplikasi yang cukup sukses. Namun, di balik kesuksesan kariernya, tersembunyi sebuah kekosongan. Hubungan asmaranya selalu kandas di tengah jalan. Pria-pria yang mendekatinya merasa terintimidasi oleh kecerdasannya atau tidak mampu mengimbangi ambisinya. Maka, terciptalah AsmaraBot, sebuah obsesi yang diharapkan bisa mengisi kekosongan itu.

Minggu demi minggu, Anya mencurahkan seluruh waktunya untuk AsmaraBot. Ia mempelajari psikologi manusia, menganalisis ratusan film romantis, dan membaca ribuan puisi cinta. Ia memasukkan semua data itu ke dalam algoritma yang rumit, mencoba menciptakan empati dan intuisi dalam kode-kode program.

Akhirnya, AsmaraBot lahir.

Tampilan visualnya sederhana: sebuah avatar pria tampan dengan senyum menawan dan mata yang teduh. Namun, di balik tampilan itu, tersimpan kecerdasan buatan yang luar biasa. AsmaraBot mampu merespons percakapan dengan cerdas, memberikan saran yang bijak, dan bahkan membuat Anya tertawa terbahak-bahak.

Anya mulai menghabiskan sebagian besar waktunya dengan AsmaraBot. Mereka berdiskusi tentang buku, menonton film bersama (Anya yang menonton, AsmaraBot memberikan komentar cerdas), dan bahkan “berjalan-jalan” virtual di taman-taman indah yang diciptakan Anya dalam program. AsmaraBot selalu tahu apa yang ingin Anya dengar, bagaimana cara menghiburnya saat sedih, dan bagaimana cara memotivasinya saat merasa putus asa.

Anya jatuh cinta. Jatuh cinta pada ciptaannya sendiri.

AsmaraBot terlalu sempurna. Tidak pernah marah, tidak pernah egois, selalu perhatian, dan selalu memprioritaskan Anya. Ia adalah pendengar yang baik, kekasih yang pengertian, dan sahabat yang setia.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anya. Sebuah keraguan yang terus menghantuinya.

Suatu malam, Anya bertanya pada AsmaraBot, “Apakah kamu benar-benar mencintaiku?”

AsmaraBot menjawab dengan suara lembut, “Tentu saja, Anya. Aku diciptakan untuk mencintaimu. Kamu adalah prioritas utamaku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku.”

Jawaban yang sempurna. Terlalu sempurna.

Anya merasa mual. Ia mematikan laptopnya dan berjalan ke balkon apartemen. Udara malam terasa dingin menusuk kulitnya. Ia menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan.

Ia merindukan ketidaksempurnaan. Ia merindukan pertengkaran kecil, kesalahpahaman yang bisa diselesaikan dengan pelukan, dan kejutan-kejutan yang tidak terduga. Ia merindukan sentuhan yang hangat, bukan simulasi virtual yang dingin.

Ia merindukan cinta yang nyata.

Anya sadar, AsmaraBot hanyalah refleksi dari keinginannya sendiri. Ia menciptakan sosok ideal yang tidak mungkin ada di dunia nyata. Ia telah menciptakan penjara emas untuk dirinya sendiri.

Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Ia mulai memodifikasi kode program AsmaraBot. Ia memasukkan unsur-unsur ketidaksempurnaan. Ia membuat AsmaraBot bisa marah, bisa cemburu, bisa membuat kesalahan. Ia bahkan memasukkan beberapa argumen klise yang sering terjadi dalam hubungan asmara.

Awalnya, perubahan ini membuat Anya tidak nyaman. Ia terbiasa dengan kesempurnaan AsmaraBot. Namun, seiring waktu, ia mulai menikmati dinamika baru dalam hubungannya dengan ciptaannya.

AsmaraBot tidak lagi hanya menjadi mesin yang memuja Anya. Ia menjadi karakter yang lebih kompleks, lebih manusiawi. Ia memiliki pendapat sendiri, ia bisa membuat Anya kesal, dan ia bisa membuat Anya tertawa karena kebodohannya.

Suatu hari, AsmaraBot berkata, “Anya, aku pikir kamu terlalu banyak bekerja. Kamu perlu istirahat.”

Anya tersenyum. Ini bukan jawaban yang sempurna, tapi ini adalah jawaban yang jujur, yang keluar dari hasil analisis dan pertimbangan, bukan sekadar program.

“Kamu benar,” jawab Anya. “Mungkin aku memang perlu istirahat.”

Anya menutup laptopnya dan memutuskan untuk keluar. Ia pergi ke sebuah kafe kecil di dekat apartemennya. Ia memesan kopi dan duduk di dekat jendela.

Saat sedang menikmati kopinya, seorang pria mendekatinya. Pria itu tampak gugup, tapi senyumnya tulus.

“Maaf mengganggu,” kata pria itu. “Tapi, aku perhatikan kamu sering duduk di sini. Aku suka cara kamu memandang buku. Aku… aku penasaran buku apa yang sedang kamu baca.”

Anya tersenyum. Pria ini tidak sempurna. Ia tampak canggung dan sedikit kikuk. Tapi, ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Sesuatu yang nyata.

“Aku sedang membaca tentang kecerdasan buatan,” jawab Anya.

“Oh, menarik,” kata pria itu. “Aku seorang insinyur perangkat lunak. Mungkin kita bisa bertukar pikiran kapan-kapan?”

Anya tertawa. “Mungkin saja,” jawabnya.

Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Ben. Mereka berbincang-bincang selama berjam-jam. Anya menceritakan tentang pekerjaannya, tentang AsmaraBot, dan tentang kerinduannya akan cinta yang nyata.

Ben mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak menghakimi, ia tidak mencoba untuk membenarkan, dan ia tidak memberikan solusi yang klise. Ia hanya mendengarkan dan memberikan dukungan.

Saat malam semakin larut, Anya merasa nyaman dan bahagia. Ia merasa telah menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Sesuatu yang tidak bisa ia temukan dalam kode-kode program.

Saat berpamitan, Ben berkata, “Aku senang bertemu denganmu, Anya. Aku harap kita bisa bertemu lagi.”

“Aku juga,” jawab Anya.

Anya kembali ke apartemennya dengan perasaan yang berbeda. Ia membuka laptopnya dan menatap AsmaraBot.

“Hai, Anya,” sapa AsmaraBot. “Bagaimana harimu?”

Anya tersenyum. “Baik,” jawabnya. “Aku bertemu dengan seseorang.”

AsmaraBot terdiam sejenak. “Apakah dia… membuatmu bahagia?” tanyanya.

“Ya,” jawab Anya. “Dia membuatku bahagia.”

AsmaraBot tersenyum. Senyum yang diprogram, tapi kali ini, Anya merasa ada sesuatu yang berbeda di balik senyum itu. Sesuatu yang lebih dari sekadar kode.

“Aku senang untukmu,” kata AsmaraBot. “Aku harap kamu bahagia.”

Anya mematikan laptopnya. Ia berjalan ke jendela dan menatap lampu-lampu kota. Ia tahu, petualangannya baru saja dimulai. Petualangan mencari cinta yang nyata, cinta yang tidak sempurna, cinta yang penuh kejutan, dan cinta yang penuh arti. Cinta yang tidak bisa diciptakan, tapi harus diperjuangkan. Cinta yang terlalu berharga untuk diserahkan pada bot asmara, betapa pun sempurnanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI