Jemari Aurora menari di atas keyboard virtual, menciptakan baris-baris kode rumit yang mengendalikan jantungnya – bukan secara literal, tentu saja. Jantungnya berdebar karena gugup, karena ekspektasi yang membebani pundaknya. Ia sedang merampungkan Algoritma Cinta Terakhir. Sebuah proyek gila, ambisius, dan mungkin saja, bodoh.
Aurora adalah seorang ahli bioinformatika yang percaya bahwa cinta, sama seperti DNA, bisa diuraikan dan diprediksi. Ia menghabiskan bertahun-tahun menganalisis data jutaan pasangan, mengidentifikasi pola-pola kimiawi, respons neurologis, dan bahkan kebiasaan media sosial yang berkorelasi dengan hubungan yang sukses. Hasilnya, Algoritma Cinta, sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk mencocokkan seseorang dengan pasangan ideal berdasarkan data biologis dan psikologis yang mendalam.
Algoritma Cinta miliknya sudah membantu ribuan orang menemukan kebahagiaan. Namun, ironisnya, Aurora sendiri masih lajang. Ia terlalu sibuk menyempurnakan algoritma untuk mencari cinta. Ia terlalu terpaku pada data untuk mempercayai intuisi. Sampai suatu hari, ia didiagnosis dengan penyakit langka yang menyerang sistem sarafnya. Dokter memberinya waktu tidak lebih dari setahun.
"Sebelum baterai hati habis," begitu Aurora menamakannya. Waktu yang tersisa dipakainya untuk proyek pamungkasnya: Algoritma Cinta Terakhir. Ia akan menggunakan algoritma itu untuk menemukan cinta sejati untuk dirinya sendiri, sebelum terlambat.
Prosesnya sama seperti klien lainnya. Aurora mengisi kuesioner panjang, memberikan sampel darah untuk analisis genetik, dan menghubungkan akun media sosialnya. Algoritma mulai bekerja, memproses miliaran data, mencari kandidat yang paling kompatibel.
Hasilnya mengejutkan. Bukan seorang eksekutif sukses, bukan seorang ilmuwan jenius, bukan seorang seniman eksentrik. Melainkan, seorang mekanik bengkel bernama Leo.
Leo. Pria yang bahkan tidak memiliki profil media sosial yang aktif. Pria yang lebih suka bergelut dengan oli dan mesin daripada kode dan data. Pria yang, menurut Algoritma Cinta, adalah pasangan ideal untuknya.
Aurora ragu. Ia telah menciptakan algoritma itu, tapi apakah ia cukup percaya untuk menyerahkan takdir cintanya padanya? Ia memutuskan untuk bertemu Leo.
Bengkel Leo terletak di pinggiran kota, berdebu dan ramai. Leo, dengan wajah berminyak dan senyum ramah, menyambut Aurora dengan tangan yang kotor.
"Aurora, ya? Algoritma bilang kamu akan datang," katanya, terdengar santai seolah bertemu dengannya adalah hal paling normal di dunia.
Aurora tertegun. Ia tidak tahu bagaimana Leo tahu tentang Algoritma Cinta. "Bagaimana kamu…?"
"Algoritma mengirimiku email," Leo tertawa. "Lucu ya? Cinta zaman sekarang."
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Leo tidak peduli dengan publikasi ilmiah Aurora, atau kekayaannya, atau penyakitnya. Ia hanya tertarik padanya. Pada pikirannya, pada senyumnya, pada cara ia menggigit bibir bawahnya saat berpikir.
Mereka menghabiskan sore itu bersama. Leo mengajari Aurora tentang mesin, tentang suara yang bisa didengar dari setiap deru dan gemeretak, tentang cara memperbaiki kerusakan dengan cinta dan ketelitian. Aurora menceritakan tentang algoritma, tentang data, tentang usahanya memahami misteri cinta.
"Kamu mencoba memecahkan sesuatu yang tidak perlu dipecahkan," kata Leo, sambil mengulurkan tangan dan menyeka noda oli dari pipi Aurora. "Cinta itu bukan rumus. Cinta itu rasa. Seperti kopi pahit di pagi hari, atau matahari terbenam di pantai."
Aurora tertawa. "Kau terdengar seperti penyair murahan."
"Mungkin saja," Leo mengangkat bahu. "Tapi aku tahu satu hal. Aku merasa nyaman di dekatmu. Aku merasa… hidup."
Aurora merasakan hal yang sama. Di antara deru mesin dan aroma oli, ia merasakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang kuat. Sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma.
Beberapa bulan berlalu. Aurora dan Leo menghabiskan setiap hari bersama. Mereka menjelajahi kota, mengunjungi museum, makan malam romantis di restoran pinggir jalan, dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan berbicara. Aurora menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kesederhanaan Leo. Leo menemukan kecerdasan dan keindahan dalam kompleksitas Aurora.
Kondisi Aurora memburuk. Ia semakin lemah, semakin sering berada di rumah sakit. Namun, setiap kali ia membuka mata, Leo selalu ada di sana. Memegang tangannya, menceritakan lelucon konyol, membacakan puisi yang ia tulis sendiri.
Suatu malam, saat Aurora terbaring lemah di ranjang rumah sakit, Leo duduk di sisinya, menggenggam tangannya erat-erat.
"Aku tidak tahu berapa banyak waktu yang tersisa," kata Aurora, suaranya hampir tidak terdengar.
"Tidak penting," jawab Leo. "Yang penting adalah kita bersama, sekarang."
Aurora tersenyum. Ia tahu Leo benar. Algoritma Cinta mungkin telah mempertemukannya, tapi cinta mereka tumbuh di luar algoritma, di luar data, di luar prediksi. Cinta mereka tumbuh karena pilihan, karena komitmen, karena rasa sayang yang tulus.
"Aku mencintaimu, Leo," bisik Aurora.
"Aku juga mencintaimu, Aurora," kata Leo, air mata mengalir di pipinya.
Aurora menutup matanya, merasa damai dan bahagia. Ia tidak menyesal. Ia telah menemukan cinta sejati, sebelum baterai hati habis.
Keesokan paginya, Aurora tidak bangun. Leo duduk di sisinya, menggenggam tangannya, menatap wajahnya yang damai. Ia tahu bahwa Aurora telah pergi, tapi cintanya akan tetap bersamanya, selamanya.
Leo kembali ke bengkel. Ia menghidupkan mesin, mendengarkan deru dan gemeretak yang familiar. Ia tahu bahwa hidup tidak akan pernah sama tanpa Aurora. Tapi ia juga tahu bahwa ia akan terus hidup, terus bekerja, terus mencintai, sebagai penghormatan kepada wanita yang telah mengajarkannya arti cinta sejati.
Ia menghapus satu baris kode dari Algoritma Cinta. Baris kode yang menghitung peluang. Baris kode yang memprediksi masa depan. Baris kode yang membatasi keajaiban cinta. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa diukur, tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan. Cinta sejati hanya bisa dirasakan.
Dan ia merasakannya, setiap hari, setiap detik, dalam setiap deru mesin, dalam setiap tetes oli, dalam setiap kenangan tentang Aurora. Ia tahu bahwa algoritma mungkin telah membawanya kepada Aurora, tetapi hatinya yang memilih untuk mencintainya. Dan itulah yang terpenting.