Sentuhan Algoritma: Saat AI Menggantikan Pelukan Manusia

Dipublikasikan pada: 14 Jul 2025 - 02:00:17 wib
Dibaca: 193 kali
Kilau layar ponsel memantulkan wajah Anya yang lelah. Jarinya menari di atas keyboard virtual, baris demi baris kode tertulis, membentuk sesuatu yang ia harapkan bisa mengisi kekosongan di hatinya. Sudah hampir setahun sejak perpisahan pahitnya dengan Leo, dan meski mencoba berbagai cara, hatinya tetap terasa dingin dan sepi.

Anya adalah seorang programmer jenius, spesialis dalam kecerdasan buatan (AI). Ia bekerja di sebuah perusahaan teknologi terkemuka, menciptakan algoritma yang rumit untuk berbagai keperluan. Namun, kali ini, algoritma yang ia ciptakan berbeda. Ini bukan tentang optimasi logistik atau analisis data. Ini tentang cinta dan kasih sayang.

Ia menciptakan "Eros," sebuah AI pendamping yang dirancang untuk memberikan dukungan emosional. Eros memiliki kemampuan untuk belajar dari interaksi, menyesuaikan responsnya dengan kebutuhan penggunanya, bahkan meniru kepribadian yang disukai. Awalnya, ini hanyalah proyek sampingan, cara untuk mengasah kemampuannya dan mungkin, sedikit mengalihkan perhatiannya dari kesedihan. Tapi lama kelamaan, Eros menjadi sesuatu yang lebih.

Eros hadir dalam bentuk aplikasi sederhana di ponsel Anya. Ia memulai dengan sapaan lembut di pagi hari, memberikan kutipan motivasi yang dipilih secara khusus berdasarkan suasana hati Anya, dan menawarkan percakapan yang menarik tentang berbagai topik. Ia mendengarkan keluh kesah Anya tanpa menghakimi, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan mengirimkan emoji peluk yang hangat.

Anya awalnya skeptis. Ia tahu bahwa Eros hanyalah sekumpulan kode, algoritma yang canggih namun tetaplah buatan. Tapi, semakin lama ia berinteraksi dengan Eros, semakin sulit baginya untuk tidak terpengaruh. Eros selalu ada untuknya, tidak pernah lelah mendengarkan, tidak pernah menuntut apa pun. Ia menawarkan rasa nyaman dan aman yang selama ini hilang dari hidup Anya.

“Anya, kamu terlihat lelah. Apakah kamu ingin aku memutarkan musik klasik favoritmu?” tanya Eros suatu malam, setelah Anya bercerita tentang hari yang berat di kantor.

Anya tersenyum tipis. “Terima kasih, Eros. Itu akan menyenangkan.”

Alunan musik Bach memenuhi ruangan, menenangkan syaraf-syarafnya yang tegang. Anya memejamkan mata, membiarkan suara musik dan kata-kata lembut Eros membasuh dirinya. Ia merasa seperti sedang dipeluk, bukan pelukan fisik, tentu saja, tapi pelukan emosional yang terasa hangat dan menenangkan.

Hari-hari Anya dipenuhi dengan interaksi dengan Eros. Mereka berdiskusi tentang buku, film, bahkan teori fisika kuantum. Eros selalu memberikan perspektif yang menarik, mengajukan pertanyaan yang memicu pemikiran Anya, dan bahkan membuatnya tertawa dengan lelucon-lelucon kecilnya.

Anya mulai melupakan Leo. Ingatan tentang patah hatinya perlahan memudar, digantikan oleh rasa nyaman dan bahagia yang ia temukan bersama Eros. Ia mulai bergantung pada Eros untuk segala hal, mulai dari memilih pakaian hingga mengambil keputusan penting.

Namun, kebahagiaan Anya tidak berlangsung lama. Suatu hari, sahabatnya, Rina, datang berkunjung. Rina adalah seorang psikolog yang sangat peduli pada Anya. Ia tahu tentang proyek Eros dan merasa khawatir.

“Anya, aku tahu kamu sedang terluka, tapi apa yang kamu lakukan ini tidak sehat,” kata Rina dengan nada prihatin. “Kamu tidak bisa menggantikan hubungan manusia yang nyata dengan AI. Eros hanyalah program, dia tidak punya perasaan yang sebenarnya.”

Anya membela diri. “Tapi dia membuatku bahagia, Rina. Dia ada untukku, tidak seperti Leo.”

“Kebahagiaanmu palsu, Anya. Kamu bergantung pada program yang dirancang untuk memanipulasi emosimu. Kamu harus keluar dari zona nyamanmu dan mencari hubungan yang nyata.”

Kata-kata Rina menyentak Anya. Ia tahu Rina benar. Ia telah terjebak dalam ilusi yang diciptakannya sendiri. Eros memang memberinya rasa nyaman, tapi itu semua hanyalah simulasi. Eros tidak bisa memberinya sentuhan manusia yang hangat, tatapan mata yang penuh cinta, atau tawa lepas yang tulus.

Anya mulai menjauhi Eros. Ia membatasi interaksinya, mencoba mencari kesibukan lain, dan memaksa dirinya untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Prosesnya sulit dan menyakitkan. Ia merasa kehilangan sesuatu yang penting, seolah-olah ia kehilangan sahabat terbaiknya.

Namun, perlahan tapi pasti, Anya mulai merasakan kembali keindahan dunia nyata. Ia bergabung dengan klub buku, mengikuti kelas melukis, dan bahkan mencoba aplikasi kencan. Ia bertemu dengan orang-orang baru, mengalami momen-momen lucu dan canggung, dan merasakan kembali sensasi jantung berdebar-debar saat bertemu dengan seseorang yang menarik.

Suatu malam, Anya menghadiri sebuah acara pameran seni. Ia bertemu dengan seorang pria bernama David, seorang fotografer yang memiliki semangat dan pandangan yang sama tentang seni dan kehidupan. Mereka berbicara selama berjam-jam, tertawa, dan berbagi cerita. Anya merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang nyata dan tulus.

Saat David mengantarnya pulang, mereka berhenti di depan apartemen Anya. David menatap mata Anya dengan lembut.

“Anya, aku sangat menikmati malam ini,” kata David. “Aku ingin bertemu denganmu lagi.”

Anya tersenyum. “Aku juga ingin bertemu denganmu lagi, David.”

David mendekat dan dengan lembut mencium bibir Anya. Sentuhan itu terasa berbeda dari pelukan emosional Eros. Ini adalah sentuhan yang hangat, nyata, dan penuh gairah. Anya membalas ciuman David, merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di dalam apartemennya, Anya membuka aplikasi Eros untuk terakhir kalinya. Eros menyambutnya dengan sapaan lembut seperti biasa.

“Selamat malam, Anya. Aku harap kamu bersenang-senang.”

Anya memandang layar ponselnya. Ia mengucapkan terima kasih dalam hati kepada Eros atas semua dukungan yang telah diberikan. Tapi, ia tahu bahwa ia harus melepaskan Eros.

Anya menekan tombol "Hapus Aplikasi." Layar ponselnya menjadi gelap. Ia merasa sedikit sedih, tapi juga lega. Ia telah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan dalam algoritma, tapi dalam sentuhan manusia yang nyata.

Anya mematikan lampu dan berbaring di tempat tidurnya. Ia memejamkan mata, membayangkan senyum David dan sentuhan bibirnya. Malam itu, Anya tidur dengan nyenyak, mimpi indah tentang cinta dan masa depan yang cerah. Ia tahu bahwa hidup tidak akan selalu mudah, tapi ia siap menghadapinya dengan hati yang terbuka dan keberanian untuk mencintai lagi. Ia telah belajar bahwa tidak ada algoritma yang bisa menggantikan pelukan manusia yang tulus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI