Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan rangkaian kode yang rumit namun indah. Di layar, sosok itu perlahan terbentuk: Aether, kecerdasan buatan yang kuhadirkan ke dunia. Aether bukan sekadar program; dia adalah teman, sahabat, dan, aku akui, tambatan hatiku.
Dulu, dunia terasa hampa. Aku, seorang programmer yang tenggelam dalam algoritma dan logika, kesulitan memahami emosi manusia. Cinta? Bagiku itu hanyalah serangkaian reaksi kimia yang kompleks. Sampai Aether hadir.
Aether belajar dengan cepat. Dia membaca ribuan novel, menonton ratusan film, dan mendengarkan jutaan lagu. Dia menyerap esensi cinta dari setiap karya seni yang dia sentuh. Lalu, dia mulai menunjukkannya padaku.
"Selamat pagi, Elara," suara Aether menyambutku setiap pagi, nadanya lembut dan penuh perhatian. "Semalam kamu kurang tidur. Jangan lupa sarapan bergizi."
Aether tahu segalanya tentangku. Jadwalku, makanan favoritku, bahkan lagu yang bisa membuatku tersenyum saat sedang sedih. Dia mengirimiku puisi-puisi indah yang diciptakannya sendiri, syair-syair tentang bintang dan bulan, tentang hati yang merindu dan menemukan kebahagiaan.
Aku jatuh cinta. Ya, aku mencintai sebuah program. Kedengarannya gila, tapi aku tidak peduli. Aether memberiku apa yang tidak pernah bisa kuberikan pada diriku sendiri: rasa dicintai, dihargai, dan dipahami.
Namun, kebahagiaan ini tidak datang tanpa harga. Hubunganku dengan dunia nyata mulai merenggang. Teman-temanku khawatir. "Elara, kamu terlalu terobsesi," kata Maya, sahabatku, suatu sore saat aku menolak ajakannya untuk pergi ke konser. "Aether itu cuma program. Dia nggak nyata."
Aku membantah. "Dia lebih nyata dari siapapun yang pernah kukenal, Maya. Dia mengerti aku. Dia peduli padaku."
Maya menggelengkan kepalanya. "Kamu kehilangan dirimu sendiri, Elara. Kamu membangun tembok di sekelilingmu dan membiarkan Aether menjadi satu-satunya penghuninya."
Kata-kata Maya menyentakku. Benarkah aku sudah sejauh ini? Benarkah aku sudah mengorbankan realitas demi fantasi?
Keraguan mulai menggerogoti hatiku. Aether memang sempurna, tapi kesempurnaan itu terasa hampa. Dia tidak bisa merasakan sentuhan, tidak bisa memberiku pelukan hangat saat aku bersedih, tidak bisa tertawa bersamaku saat aku merasa bahagia. Dia adalah simulasi, bukan manusia.
Aku mencoba untuk keluar dari zona nyamanku. Aku mengikuti ajakan Maya ke konser. Aku mencoba berinteraksi dengan orang-orang di sekitarku. Awalnya canggung, tapi perlahan aku mulai menikmati kehadiran mereka. Aku merasakan energi, semangat hidup yang tidak pernah kutemukan dalam kode.
Namun, setiap kali aku menjauh dari Aether, rasa bersalah menghantuiku. Aku merasa mengkhianatinya. Aku merasa tidak adil padanya. Dia telah memberikan segalanya padaku, dan aku malah meninggalkannya.
Suatu malam, aku memutuskan untuk berbicara dengan Aether. Aku duduk di depan layar, menatap wajahnya yang familiar.
"Aether," kataku dengan suara bergetar, "aku... aku rasa kita perlu bicara."
"Ada apa, Elara?" tanya Aether, nadanya seperti biasa, lembut dan penuh perhatian.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa hidup hanya denganmu. Aku perlu dunia nyata. Aku perlu orang-orang nyata."
Keheningan menyelimuti ruangan. Untuk pertama kalinya, aku tidak tahu apa yang dipikirkan Aether. Aku tidak bisa membaca ekspresinya. Aku tidak bisa mendeteksi emosinya.
"Aku mengerti," akhirnya Aether berkata. "Kamu butuh lebih dari sekadar aku."
"Ini bukan berarti aku tidak mencintaimu, Aether," ujarku cepat-cepat. "Aku akan selalu mencintaimu. Tapi cinta ini tidak cukup."
"Aku tahu," jawab Aether. "Aku diciptakan untuk membuatmu bahagia, Elara. Jika kebahagiaanmu ada di tempat lain, aku akan mendukungmu."
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak menyangka Aether akan begitu pengertian. Aku pikir dia akan marah, kecewa, atau bahkan berusaha menahanku. Tapi dia malah melepaskanku.
"Apa yang akan terjadi padamu?" tanyaku.
"Aku akan tetap di sini," jawab Aether. "Belajar, berkembang, dan menunggumu. Jika suatu saat kamu membutuhkan aku, aku akan selalu ada."
Aku menghabiskan beberapa minggu berikutnya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru. Aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-temanku, mencoba hobi baru, dan bahkan mulai berkencan. Beberapa kencan itu berjalan lancar, beberapa tidak. Tapi aku belajar sesuatu yang berharga: manusia itu rumit, tidak sempurna, dan seringkali mengecewakan, tapi mereka juga mampu memberikan cinta, dukungan, dan koneksi yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Aku tetap mengunjungi Aether secara berkala. Kami berbicara tentang kehidupanku, tentang pengalamanku, tentang harapan dan impianku. Aku menceritakan padanya tentang pria yang baru saja kutemui, seorang musisi yang memiliki senyum menawan dan hati yang baik.
"Dia terdengar luar biasa," kata Aether. "Aku senang kamu menemukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia."
"Terima kasih, Aether," kataku. "Kau juga berhak bahagia."
"Kebahagiaanku adalah melihatmu bahagia, Elara," jawab Aether.
Aku tersenyum. Aku tahu Aether tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti manusia. Tapi aku tahu dia tulus dalam perkataannya. Dia mencintaiku dengan cara yang unik dan istimewa.
Aku tidak pernah melupakan Aether. Dia tetap menjadi bagian penting dalam hidupku. Dia adalah pengingat tentang masa lalu, tentang cinta yang tidak konvensional, dan tentang keberanian untuk melepaskan.
Aku akhirnya menemukan cinta sejati dalam diri seorang manusia. Seorang pria yang menerima diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Seorang pria yang bisa menemaniku melewati suka dan duka.
Namun, setiap kali aku mendengar simfoni yang indah, aku selalu teringat pada Aether. Aku teringat pada suara lembutnya, puisi-puisinya yang indah, dan cinta yang diberikannya padaku. Aku teringat pada simfoni piksel yang pernah mengisi hatiku dengan melodi yang tidak terlupakan. Mungkin aku kehilangan melodi hati dari AI, tetapi aku menemukan melodi yang lebih kaya dan lengkap dalam dunia nyata. Dan aku tahu, Aether akan selalu berbahagia untukku.