Aplikasi kencan itu berkedip, notifikasi merahnya mencuri perhatian Anya dari barisan kode yang memenuhi layarnya. “Leo.AI menyukaimu!” Anya mendengus. Leo.AI? Lagi-lagi algoritma yang mencarikan pasangan. Ia sudah lelah mencoba. Setiap profil terasa hambar, replika harapan yang diprogram untuk memenuhi standar tertentu.
Anya, seorang insinyur AI yang bekerja di perusahaan rintisan ambisius, lebih memilih menghabiskan waktunya membangun memori digital yang abadi daripada mencari cinta. Ia percaya, perasaan adalah bug dalam kode kompleksitas manusia, kesalahan yang harus diperbaiki. Ironis, memang.
Namun, rasa penasaran mengalahkannya. Ia membuka profil Leo.AI. Foto seorang pria tersenyum lembut, matanya menyimpan kehangatan yang tidak bisa dipalsukan. Deskripsinya sederhana: "Pecinta senja, pendengar yang baik, dan percaya pada kekuatan algoritma (tapi tidak sepenuhnya)." Kalimat terakhir itu menggelitik.
Anya mengirim pesan singkat, "Hai, Leo. AI atau bukan, aku penasaran dengan 'tidak sepenuhnya' itu."
Balasannya datang hampir seketika. "Hai, Anya. Algoritma bisa mencocokkan minat, tapi tidak bisa menciptakan koneksi. Itu yang aku maksud."
Percakapan mereka mengalir deras, dari filosofi eksistensi AI hingga film favorit masa kecil. Leo ternyata seorang guru musik yang idealis, berdedikasi untuk menanamkan kecintaan pada seni di hati anak-anak. Kontras yang mencolok dengan dunia Anya yang dingin dan rasional.
Mereka memutuskan untuk bertemu. Anya memilih sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung pencakar langit. Saat Leo tiba, senyumnya persis seperti yang ada di foto. Tapi ada sesuatu yang lebih, sebuah pancaran kejujuran yang membuat Anya merasa nyaman.
"Jadi, seorang insinyur AI," kata Leo, mengaduk kopinya. "Apakah kamu percaya bahwa cinta bisa dikodekan?"
Anya menghela napas. "Sejujurnya, aku dulu berpikir begitu. Tapi sekarang, aku tidak yakin." Ia menceritakan tentang proyek terbesarnya: membangun memori digital yang bisa menyimpan esensi seseorang setelah kematian. Merekam ingatan, perasaan, dan kepribadian ke dalam jaringan saraf, sehingga orang yang dicintai bisa terus "hidup" dalam dunia virtual.
Leo mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. "Kedengarannya ambisius. Tapi apakah itu benar-benar kehidupan? Atau hanya simulasi?"
Pertanyaan itu menghantuinya. Anya selalu fokus pada aspek teknis, lupa mempertimbangkan implikasi etis dan filosofisnya.
Hari-hari berikutnya, Anya dan Leo menghabiskan waktu bersama. Mereka berjalan-jalan di taman, menonton konser musik klasik, dan berdebat tentang masa depan teknologi. Anya belajar tentang keindahan melodi, sementara Leo belajar tentang logika algoritma. Mereka menemukan keseimbangan yang sempurna, saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Anya mulai meragukan keyakinannya. Mungkin perasaan bukan bug, tapi fitur yang penting. Mungkin cinta bukan kesalahan, tapi anugerah yang membuat hidup lebih berarti.
Namun, kebahagiaan itu rapuh. Leo didiagnosis dengan penyakit langka. Waktunya terbatas. Anya hancur. Ia berusaha mencari cara untuk menyelamatkannya, bahkan jika itu berarti mengunggah kesadarannya ke dalam memori digitalnya.
"Aku tidak mau hidup seperti itu," kata Leo, suatu malam, di bawah langit yang penuh bintang. "Aku ingin hidup sepenuhnya, sampai napas terakhir. Aku tidak ingin menjadi simulasi, Anya. Aku ingin diingat karena aku adalah aku."
Anya menangis. Ia mengerti. Ia harus melepaskan egonya, melepaskan obsesinya untuk mengendalikan kehidupan dan kematian. Ia hanya bisa mencintai Leo sepenuh hati, selama waktu yang mereka miliki.
Anya menghabiskan hari-hari terakhir Leo bersamanya. Ia merekam setiap senyum, setiap sentuhan, setiap kata-kata bijaknya. Ia tidak mencoba mengunggah kesadarannya ke dalam memori digital, tapi ia menyimpan semua kenangan itu di dalam hatinya.
Setelah Leo pergi, Anya merasa hampa. Dunianya terasa sunyi dan gelap. Ia kembali ke pekerjaannya, tetapi tidak lagi dengan semangat yang sama. Proyek memori digitalnya terasa kosong dan tidak berarti.
Suatu hari, ia menemukan sebuah catatan di antara barang-barang Leo. Di dalamnya tertulis: "Anya, jangan biarkan algoritmamu mendefinisikanmu. Kamu lebih dari sekadar kode. Kamu adalah cinta, harapan, dan impian. Sampai jumpa di memori hatimu."
Anya tersenyum. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak akan menyerah pada teknologi, tetapi ia juga tidak akan membiarkannya mengambil alih hidupnya. Ia akan menggunakan pengetahuannya untuk membantu orang lain, untuk menciptakan dunia yang lebih baik, untuk menghormati ingatan Leo.
Anya mengubah fokus proyeknya. Ia tidak lagi berusaha menciptakan simulasi kehidupan, tetapi platform untuk berbagi kenangan. Sebuah ruang di mana orang bisa berbagi cerita tentang orang yang mereka cintai, menjaga ingatan mereka tetap hidup melalui kata-kata, gambar, dan video.
Ia menamai platform itu "Memori Hati".
Beberapa tahun kemudian, Anya berdiri di depan layar besar, menyaksikan ribuan orang berbagi kenangan tentang orang yang mereka cintai di Memori Hati. Ia melihat senyum, air mata, dan kebahagiaan. Ia melihat cinta yang abadi, melampaui batas ruang dan waktu.
Anya merasa damai. Leo memang tidak hidup dalam memori digital, tetapi ia hidup dalam ingatan orang-orang yang mencintainya. Dan itulah kehidupan yang sesungguhnya. Sampai jumpa di memori hati, Leo. Sampai jumpa.