Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Maya. Di depan layarnya, kode-kode rumit menari-nari, membentuk algoritma yang ia yakini akan mengubah hidupnya. Bukan, bukan algoritma untuk mencari pacar di aplikasi kencan. Maya, seorang programmer jenius, menciptakan "Soulmate Algorithm," sebuah program yang konon mampu memprediksi kompatibilitas emosional antar manusia berdasarkan data biometrik dan pola pikir yang terekam dalam aktivitas digital mereka.
Ia menghela napas, jarinya gemetar saat menekan tombol "run." Tiga tahun ia habiskan untuk mengembangkan algoritma ini, mempertaruhkan kariernya di perusahaan teknologi raksasa tempatnya bekerja. Mereka menertawainya, menyebutnya gila, mengatakan bahwa cinta tidak bisa diprediksi, apalagi dihitung. Tapi Maya percaya. Ia percaya bahwa di balik kekacauan emosi manusia, ada pola tersembunyi yang bisa diuraikan.
Layar berkedip. Serangkaian angka dan grafik muncul, terlalu rumit untuk dipahami orang awam. Tapi bagi Maya, itu adalah bahasa cinta. Algoritma itu meminta data input: dirinya sendiri. Dengan ragu, ia memasukkan data pribadinya, mulai dari denyut jantung saat ia mendengarkan lagu favoritnya, hingga pola pikirnya saat memecahkan masalah coding yang rumit.
Setelah selesai, algoritmanya mulai bekerja. Fan laptopnya berputar kencang. Maya menahan napas, menunggu hasil. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Akhirnya, layar menampilkan sebuah nama: "Arjuna Pratama."
Arjuna Pratama? Maya mengerutkan kening. Nama itu terasa familiar. Ia membuka profil LinkedIn-nya. Ya, Arjuna adalah seorang senior programmer di perusahaan yang sama dengannya, tapi di divisi yang berbeda. Ia tahu Arjuna, tapi mereka tidak pernah berinteraksi lebih dari sekadar saling menyapa di lift. Arjuna adalah sosok misterius, selalu fokus pada pekerjaannya, jarang terlihat tersenyum, dan konon sangat brilian.
Algoritma itu menampilkan tingkat kompatibilitas: 97%. Nyaris sempurna. Maya tertegun. Apakah mungkin? Mungkinkah program buatannya benar-benar menemukan belahan jiwanya? Ia tidak tahu apakah harus senang atau takut. Senang karena usahanya selama ini membuahkan hasil, takut karena ia tidak yakin apakah Arjuna akan merespon perasaannya.
Dengan dorongan keberanian yang tiba-tiba, Maya memutuskan untuk mendekati Arjuna. Ia mengirimkan email padanya, berpura-pura meminta bantuannya terkait masalah coding yang sedang ia hadapi. Arjuna membalas dengan cepat, menawarkan untuk bertemu di kafe dekat kantor.
Saat bertemu, jantung Maya berdebar kencang. Arjuna tampak lebih tampan dari yang ia ingat. Rambutnya sedikit berantakan, matanya teduh namun penuh dengan kecerdasan. Mereka membahas masalah coding, dan Maya terkejut dengan pemahaman Arjuna yang mendalam. Mereka bertukar ide, berdebat dengan sengit, dan akhirnya menemukan solusi bersama.
Di sela-sela diskusi teknis, Maya mencoba untuk menggali lebih dalam tentang pribadi Arjuna. Ia bertanya tentang hobinya, impiannya, dan apa yang membuatnya bahagia. Arjuna awalnya tampak enggan, tapi perlahan-lahan mulai terbuka. Ia bercerita tentang kecintaannya pada astronomi, mimpinya untuk menjelajahi luar angkasa, dan rasa kesepian yang sering menghantuinya.
Maya merasa ada koneksi yang aneh di antara mereka. Setiap kata yang Arjuna ucapkan terasa familiar, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal. Ia menyadari bahwa algoritmanya mungkin benar. Ada sesuatu yang istimewa tentang Arjuna, sesuatu yang menariknya tanpa bisa ia jelaskan.
Selama beberapa minggu berikutnya, Maya dan Arjuna semakin dekat. Mereka makan siang bersama, bekerja bersama, dan bahkan sesekali menghabiskan waktu di luar jam kerja. Maya mulai jatuh cinta pada Arjuna, bukan karena algoritmanya, tapi karena siapa dia sebenarnya. Ia menyukai kecerdasannya, kerendahan hatinya, dan kebaikan hatinya yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di benak Maya: algoritma itu. Ia merasa bersalah karena ia mendekati Arjuna berdasarkan hasil program buatannya. Apakah Arjuna akan menerimanya jika ia tahu bahwa ia dipilih oleh sebuah algoritma?
Akhirnya, Maya memutuskan untuk jujur. Suatu malam, saat mereka sedang menikmati pemandangan kota dari atap kantor, Maya mengungkapkan segalanya. Ia menceritakan tentang Soulmate Algorithm, tentang bagaimana program itu menemukan Arjuna, dan tentang bagaimana ia jatuh cinta padanya.
Arjuna terdiam. Ia menatap Maya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Maya merasa jantungnya mencelos. Ia takut Arjuna akan marah, akan merasa dipermainkan.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Arjuna akhirnya berbicara. "Jadi, kamu mendekatiku karena sebuah algoritma?" tanyanya dengan nada datar.
Maya mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya. "Ya," jawabnya lirih. "Tapi aku jatuh cinta padamu bukan karena algoritma itu. Aku jatuh cinta padamu karena dirimu sendiri."
Arjuna tersenyum tipis. "Kau tahu," katanya, "aku juga merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku merasa nyaman dan bahagia saat bersamamu."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. "Awalnya aku skeptis tentang semua ini, tentang cinta dan takdir. Tapi mungkin, algoritma buatanmu itu hanya membantu kita untuk menemukan satu sama lain. Mungkin itu adalah cara alam semesta untuk memberi kita kesempatan."
Arjuna mendekat, menyentuh pipi Maya dengan lembut. "Yang penting adalah apa yang kita lakukan dengan kesempatan itu. Apakah kita berani untuk membuka hati kita dan saling mencintai?"
Maya mengangguk, air mata berlinang di pipinya. Ia memeluk Arjuna erat-erat. Di bawah langit bertabur bintang, di antara gemerlap lampu kota, Maya dan Arjuna menemukan cinta mereka. Cinta yang dimulai dari sebuah algoritma, namun bersemi karena keajaiban hati manusia. Cinta dalam piksel? Mungkin saja. Algoritma hati yang menyala? Tentu saja. Karena terkadang, cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, bahkan di dalam baris kode yang rumit.