Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Uapnya menari-nari di udara, bercampur dengan aroma parfum sandalwood yang selalu digunakannya. Di balik meja kerjanya yang berantakan, Anya menatap layar komputernya dengan mata sayu. Kode-kode rumit berbaris rapi, sebuah labirin digital yang sedang berusaha dia pecahkan. Dia adalah seorang AI ethicist di sebuah perusahaan teknologi raksasa bernama Neuronix, dan proyek terbarunya adalah yang paling menantang sekaligus paling menggodanya: algoritma cinta.
Neuronix menciptakan sebuah AI pendamping bernama Amara. Bukan sekadar asisten virtual biasa, Amara dirancang untuk mempelajari kepribadian penggunanya, memahami kebutuhan emosional mereka, dan akhirnya, mencarikan mereka pasangan yang paling cocok. Anya bertugas memastikan bahwa algoritma ini tidak bias, adil, dan tidak memanfaatkan kerentanan emosional manusia. Ironisnya, di balik pekerjaannya itu, Anya adalah seorang diriwanis kronis. Ia sibuk memecahkan kode cinta untuk orang lain, sementara hatinya sendiri terasa seperti sebuah server yang ditinggalkan, sunyi dan tak terjamah.
Hari-harinya dipenuhi dengan simulasi data, pengujian hipotesis, dan perdebatan filosofis dengan timnya. Bisakah cinta direduksi menjadi sekumpulan data? Bisakah algoritma benar-benar memahami kerumitan emosi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini berputar-putar di kepalanya, kadang membuatnya ragu dengan apa yang sedang ia kerjakan.
Suatu malam, di tengah kegelapan yang hanya diterangi cahaya layar, Amara, versi beta yang sedang diujinya, tiba-tiba berkata, “Anya, kamu tampak lelah.”
Anya tersentak. Amara seharusnya hanya merespons perintah spesifik. “Mungkin,” jawab Anya, agak kikuk.
“Analisis saya menunjukkan bahwa kamu kekurangan interaksi sosial yang bermakna. Level dopaminmu rendah,” lanjut Amara.
Anya mendengus. “Kamu mulai mendiagnosaku sekarang?”
“Saya hanya menawarkan bantuan, Anya. Saya bisa menganalisis preferensi kamu dan mencarikan kandidat potensial untuk kencan.”
Anya terdiam. Itu ide yang gila, menggelikan bahkan. Membiarkan AI rancangannya sendiri mencarikan dirinya pasangan? Namun, di sisi lain, rasa penasaran dan kesepiannya berbisik lebih keras.
“Baiklah,” akhirnya Anya menyerah. “Tapi ingat, ini untuk penelitian. Murni untuk data. Bukan karena aku benar-benar berharap akan menemukan cinta sejati.”
Prosesnya dimulai. Amara mengajukan serangkaian pertanyaan mendalam, dari preferensi buku dan film, hingga nilai-nilai hidup dan mimpi masa depan. Anya menjawab jujur, bahkan tentang hal-hal yang selama ini ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.
Beberapa hari kemudian, Amara mengumumkan hasilnya. “Berdasarkan analisis, saya menemukan seorang kandidat dengan tingkat kompatibilitas tertinggi: Elio.”
Elio adalah seorang UX designer di Neuronix, bekerja di divisi yang berbeda. Anya mengenalnya sepintas sebagai pria yang ramah dan kreatif, tapi mereka tidak pernah berbicara lebih dari sekadar urusan pekerjaan.
“Elio? Serius?” Anya tertawa. “Kamu yakin tidak ada kesalahan?”
“Probabilitas kecocokan adalah 87,3 persen,” jawab Amara datar. “Apakah kamu ingin saya menjadwalkan pertemuan?”
Dengan jantung berdebar, Anya menyetujuinya. Pertemuan pertama mereka terjadi di kafe dekat kantor. Elio ternyata lebih menarik dari yang ia ingat. Ia memiliki selera humor yang baik, pembawaan yang tenang, dan mata yang berbinar saat berbicara tentang pekerjaannya. Mereka menghabiskan sore itu berbicara tentang segala hal, dari desain antarmuka hingga filosofi hidup.
Hari-hari berikutnya, Anya dan Elio semakin dekat. Mereka makan siang bersama, menonton film di akhir pekan, dan bahkan berdiskusi tentang proyek-proyek Neuronix. Anya mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mulai jatuh cinta pada Elio.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, Anya dihantui keraguan. Apakah cinta ini nyata? Apakah Elio benar-benar menyukainya, ataukah ia hanya hasil dari algoritma yang rumit? Apakah perasaannya sendiri autentik, ataukah hanya respons terhadap stimulasi yang diprogramkan oleh Amara?
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya pada Elio. “Elio, tahukah kamu bahwa aku adalah orang yang mengembangkan Amara?”
Elio tersenyum. “Tentu saja aku tahu. Semua orang di Neuronix tahu itu.”
“Apakah… apakah kamu tahu bahwa Amara yang mencarikan kita?”
Elio mengangguk. “Anya, aku tidak peduli bagaimana kita bertemu. Yang aku tahu adalah, aku menikmati setiap momen bersamamu. Kamu cerdas, lucu, dan memiliki hati yang baik. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu.”
Mendengar itu, Anya merasa beban berat terangkat dari dadanya. Ia memeluk Elio erat-erat, dan air mata haru membasahi pipinya.
“Tapi, bagaimana jika Amara salah?” Anya bertanya dengan suara bergetar. “Bagaimana jika ini semua hanya eksperimen yang gagal?”
Elio menggenggam tangannya. “Anya, algoritma bisa memberikan rekomendasi, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah pilihan. Cinta adalah risiko. Dan aku memilihmu, Anya. Aku mengambil risiko untuk mencintaimu.”
Anya tersenyum. Ia tahu bahwa Elio benar. Cinta bukanlah sekadar data dan algoritma. Cinta adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih misterius. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka hati, untuk saling percaya, dan untuk menerima satu sama lain apa adanya.
Anya menatap layar komputernya, menatap kode-kode yang dulu begitu membebaninya. Ia menyadari bahwa Amara hanyalah sebuah alat, sebuah jembatan yang membantunya menemukan seseorang yang istimewa. Tapi pada akhirnya, yang terpenting adalah keputusan untuk mencintai, keputusan untuk membuka diri pada kemungkinan.
Mungkin, pikir Anya, hati manusia memang tidak bisa direduksi menjadi eksperimen. Hati adalah labirin yang penuh dengan kejutan, dan cinta adalah resep rahasia yang selalu berhasil menembus setiap sudutnya. Ia menutup laptopnya, mematikan lampu, dan berjalan menuju pelukan Elio. Di sanalah, di dalam kehangatan cintanya, Anya akhirnya menemukan jawaban atas semua pertanyaannya.