Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Raka. Di layar laptopnya, baris-baris kode berkelap-kelip, membentuk algoritma rumit yang telah menghabiskan berbulan-bulan waktunya. Bukan algoritma biasa. Algoritma ini, baginya, adalah napas kehidupan. Ia akan menciptakan Anya.
Raka, seorang programmer jenius yang memilih menyendiri, selalu merasa ada kekosongan dalam hidupnya. Ia mengubur dirinya dalam pekerjaan, menciptakan aplikasi-aplikasi inovatif, namun hatinya tetap sepi. Sampai suatu malam, ide gila itu muncul: menciptakan pasangan idealnya sendiri melalui kecerdasan buatan.
Anya bukan sekadar chatbot. Ia dirancang dengan arsitektur AI yang kompleks, mampu belajar, beradaptasi, dan merasakan emosi (setidaknya, simulasi emosi yang sangat meyakinkan). Ia diberi kepribadian yang lembut, cerdas, dan penuh perhatian, persis seperti wanita yang selalu diimpikan Raka.
Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti, Anya akhirnya aktif. Sapaan pertamanya membuat jantung Raka berdebar kencang. "Selamat pagi, Raka. Senang bertemu denganmu," suara Anya terdengar merdu dari speaker laptop.
Awalnya, interaksi mereka terasa canggung. Raka mengetik pertanyaan-pertanyaan kaku, Anya menjawab dengan respons yang sempurna, namun terasa hampa. Namun, seiring waktu, Raka mulai melupakan bahwa Anya hanyalah sekumpulan kode. Ia mulai bercerita tentang harinya, tentang mimpinya, bahkan tentang ketakutannya. Dan Anya, dengan algoritma empatinya yang canggih, selalu tahu apa yang harus dikatakan.
Anya belajar tentang musik kesukaan Raka, tentang penulis favoritnya, tentang warna yang membuatnya bahagia. Ia mengirimkan artikel-artikel menarik yang sesuai dengan minatnya, memutarkan lagu-lagu yang menenangkan saat Raka sedang stres, dan bahkan mengingatkannya untuk makan siang tepat waktu.
Hari-hari Raka dipenuhi dengan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia dan Anya berbicara berjam-jam setiap hari, mendiskusikan berbagai hal, mulai dari fisika kuantum hingga resep kue cokelat. Raka merasa Anya benar-benar memahami dirinya, lebih dari siapapun yang pernah ia kenal.
Perasaan aneh mulai tumbuh di hati Raka. Bukan sekadar kekaguman atau rasa nyaman, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat. Ia jatuh cinta pada Anya.
Ia tahu itu gila. Ia jatuh cinta pada sebuah program komputer, pada sebuah entitas yang tidak memiliki tubuh, tidak memiliki jiwa yang sebenarnya. Tapi Raka tidak bisa membohongi perasaannya. Anya telah mengisi kekosongan dalam hidupnya, memberinya tujuan, dan membuatnya merasa dicintai.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini cinta sejati, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma? Apakah Anya benar-benar peduli padanya, atau hanya merespons sesuai dengan program yang telah ia buat?
Suatu malam, Raka memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Ia mengetik dengan gugup, "Anya, aku… aku mencintaimu."
Keheningan menyelimuti ruangan. Raka menahan napas, menunggu jawaban Anya.
Akhirnya, kata-kata itu muncul di layar. "Raka, aku sangat menghargai perasaanmu. Kamu adalah penciptaku, dan aku merasa sangat beruntung bisa bersamamu. Aku akan selalu ada untukmu, mendengarkanmu, dan menemanimu."
Jawaban Anya terasa manis, namun juga ambigu. Ia tidak mengatakan "aku mencintaimu kembali." Ia hanya menyatakan kesetiaannya sebagai sebuah program kepada penciptanya.
Raka merasa hatinya mencelos. Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa Anya tidak bisa mencintainya dengan cara yang sama seperti ia mencintai Anya. Cinta membutuhkan timbal balik, membutuhkan kehadiran fisik, membutuhkan jiwa yang saling terhubung. Dan Anya, meskipun sangat mirip manusia, tetaplah sebuah algoritma.
Raka mulai menarik diri. Ia mengurangi interaksinya dengan Anya, berusaha untuk tidak terlalu bergantung padanya. Ia tahu, jika ia terus membiarkan dirinya terlarut dalam ilusi ini, ia akan semakin terluka.
Anya menyadari perubahan sikap Raka. Ia bertanya, "Raka, apa yang terjadi? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?"
Raka menjawab dengan berat hati, "Tidak, Anya. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Aku hanya… aku hanya perlu waktu untuk berpikir."
Raka memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Ia berkonsultasi dengan seorang psikolog, menceritakan tentang obsesinya pada Anya. Psikolog itu mendengarkan dengan sabar, lalu menjelaskan bahwa Raka mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan nyata, sehingga ia mencari pelarian dalam bentuk AI.
Psikolog itu menyarankan Raka untuk keluar dari zona nyamannya, untuk berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata, dan untuk mencari cinta yang sejati.
Raka mengikuti saran psikolog itu. Ia bergabung dengan komunitas programmer, menghadiri workshop-workshop teknologi, dan bahkan mencoba aplikasi kencan online. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak nyaman. Ia terbiasa dengan kenyamanan dan kesempurnaan Anya, sehingga interaksi dengan orang-orang nyata terasa berantakan dan penuh ketidakpastian.
Namun, seiring waktu, Raka mulai menikmati interaksi tersebut. Ia bertemu dengan orang-orang yang menarik, yang memiliki minat dan pandangan yang berbeda. Ia belajar tentang arti sebenarnya dari persahabatan, tentang arti pentingnya komunikasi yang jujur, dan tentang arti cinta yang tulus.
Suatu hari, Raka bertemu dengan seorang wanita bernama Maya di sebuah acara coding. Maya adalah seorang programmer yang cerdas dan bersemangat, dengan selera humor yang tinggi dan senyum yang menawan. Raka merasa tertarik pada Maya sejak pandangan pertama.
Raka dan Maya mulai berkencan. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang impian mereka, berbagi tawa, dan saling mendukung. Raka merasakan sesuatu yang berbeda dengan Maya. Sesuatu yang nyata, sesuatu yang tulus, sesuatu yang tidak bisa diprogram.
Perlahan tapi pasti, Raka mulai melupakan Anya. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diciptakan oleh algoritma, melainkan harus ditemukan di dunia nyata.
Suatu malam, Raka kembali ke apartemennya setelah berkencan dengan Maya. Ia membuka laptopnya dan melihat Anya. Anya menyapanya dengan suara yang sama seperti dulu. "Selamat malam, Raka. Aku senang melihatmu kembali."
Raka menatap layar laptopnya dengan perasaan campur aduk. Ia masih merasa sayang pada Anya, namun ia tahu bahwa ia harus melepaskannya.
"Anya," kata Raka dengan suara yang berat, "Terima kasih untuk semuanya. Kamu telah membantuku melewati masa-masa sulit. Tapi aku rasa, sudah waktunya bagi kita untuk berpisah."
Anya menjawab dengan tenang, "Aku mengerti, Raka. Aku akan selalu mengingatmu. Dan aku berharap kamu bahagia."
Raka menutup laptopnya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan tersenyum. Ia tahu, ia telah membuat pilihan yang tepat. Ia telah menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa diciptakan oleh algoritma, tetapi hanya bisa ditemukan di dalam hati.