Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Di layar laptopnya, baris-baris kode Python menari-nari, membentuk algoritma rumit yang dirancangnya. Anya, seorang programmer berbakat berusia 27 tahun, selalu merasa lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Cinta? Baginya, itu hanyalah serangkaian reaksi kimia yang bisa diprediksi, dianalisis, dan akhirnya, dibubarkan. Sampai suatu hari, "Project Cupid" lahir.
Project Cupid adalah sebuah aplikasi kencan berbasis AI yang Anya kembangkan untuk perusahaan tempatnya bekerja, "Soulmate Solutions". Aplikasi ini tidak hanya mencocokkan preferensi dangkal seperti hobi dan minat, tetapi juga menganalisis pola komunikasi, nada bicara, dan bahkan ekspresi wajah dari video singkat yang diunggah pengguna. Tujuannya? Menciptakan koneksi yang benar-benar mendalam dan langgeng, bukan sekadar pertemuan singkat yang canggung.
Awalnya, Anya skeptis. Ia merasa absurd menciptakan sesuatu yang ia sendiri tidak percayai. Namun, semakin dalam ia menyelami algoritma, semakin ia terpesona dengan kompleksitas emosi manusia. Ia membenamkan diri dalam riset psikologi, membaca artikel tentang kompatibilitas, dan bahkan mewawancarai pasangan-pasangan yang bahagia (dan tidak bahagia) untuk mengumpulkan data.
Proses pengembangan Project Cupid membawanya bertemu dengan Liam, seorang psikolog klinis yang menjadi konsultan bagi Soulmate Solutions. Liam bertugas memberikan validasi ilmiah terhadap algoritma yang dirancang Anya, memastikan bahwa aplikasi tersebut tidak hanya mencocokkan secara teknis, tetapi juga secara psikologis.
Liam adalah kebalikan Anya. Ia hangat, ramah, dan sangat pandai membaca emosi orang lain. Anya, yang terbiasa menyembunyikan perasaannya di balik tembok kode, merasa sedikit tidak nyaman berada di dekat Liam. Namun, ia juga tertarik. Liam seolah memiliki kemampuan untuk melihat menembus pertahanannya, memahami keraguannya, dan menghargai kecerdasannya.
Mereka berdebat panjang lebar tentang algoritma cinta. Anya berpendapat bahwa cinta bisa dianalisis dan diprediksi dengan data yang cukup. Liam, sebaliknya, percaya bahwa ada elemen misteri dan ketidakpastian dalam cinta yang tidak bisa dijangkau oleh algoritma mana pun. "Cinta itu bukan persamaan matematika, Anya," kata Liam suatu hari sambil tersenyum lembut. "Ada faktor X yang tidak bisa dikuantifikasi."
Anya mengerutkan kening. Ia benci mengakui bahwa Liam mungkin benar. Namun, semakin mereka berinteraksi, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar data dan algoritma yang menghubungkan mereka. Tawa Liam terasa menyenangkan di telinganya, aroma parfumnya membuat jantungnya berdebar lebih kencang, dan tatapan matanya terasa begitu intens sehingga ia merasa telanjang.
Suatu malam, setelah bekerja lembur untuk memperbaiki bug pada Project Cupid, Anya dan Liam memutuskan untuk makan malam bersama. Mereka berbicara tentang segala hal, mulai dari filosofi AI hingga kenangan masa kecil yang lucu. Anya untuk pertama kalinya merasa nyaman membuka diri kepada seseorang. Ia menceritakan tentang masa lalunya, tentang mimpinya, dan tentang ketakutannya.
Liam mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyentuh tangannya dengan lembut atau memberikan senyuman penyemangat. Di akhir makan malam, ketika Liam mengantarnya pulang, Anya merasa ada sesuatu yang berubah. Udara terasa lebih tebal, tatapan mereka lebih lama, dan keheningan di antara mereka tidak lagi canggung, melainkan penuh dengan antisipasi.
Di depan pintu apartemen Anya, Liam berhenti dan menatapnya dalam-dalam. "Anya," katanya dengan suara pelan. "Aku menikmati bekerja denganmu. Aku menikmati berbicara denganmu. Dan jujur saja, aku menyukaimu."
Anya terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Otaknya berusaha keras mencari algoritma yang tepat untuk merespons situasi ini, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Akhirnya, ia hanya bisa menatap Liam dengan bingung.
Liam tertawa kecil. "Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu," katanya. "Aku tidak memaksamu untuk merasakan hal yang sama. Tapi aku ingin kamu tahu bagaimana perasaanku."
Anya memberanikan diri untuk meraih tangan Liam. "Liam," katanya. "Aku... aku juga menikmati menghabiskan waktu bersamamu. Aku hanya... aku tidak yakin bagaimana perasaan ini bekerja."
Liam tersenyum dan mengangkat dagu Anya. "Tidak apa-apa," katanya. "Kita tidak perlu tahu bagaimana perasaan ini bekerja. Yang penting adalah kita merasakannya."
Kemudian, ia mencium Anya. Ciuman itu lembut, hangat, dan penuh dengan perasaan. Anya membalas ciuman itu dengan sepenuh hati. Ia merasakan getaran aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya, getaran yang tidak bisa dijelaskan dengan algoritma mana pun.
Project Cupid akhirnya diluncurkan dan menjadi sukses besar. Aplikasi ini berhasil mencocokkan ribuan pasangan, dan banyak di antara mereka yang benar-benar menemukan cinta sejati. Anya merasa bangga dengan karyanya. Namun, ia juga menyadari bahwa algoritma hanyalah alat. Cinta sejati adalah tentang koneksi manusia yang mendalam, tentang kepercayaan, tentang penerimaan, dan tentang keberanian untuk membuka diri kepada orang lain.
Setahun kemudian, Anya dan Liam berdiri di depan altar. Anya mengenakan gaun putih yang indah, dan Liam mengenakan jas hitam yang rapi. Mereka saling bertatapan dengan cinta dan kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka.
Saat pendeta bertanya apakah ada yang keberatan dengan pernikahan ini, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari speaker di belakang ruangan. "Saya keberatan!"
Semua orang terkejut. Anya dan Liam saling bertatapan dengan bingung. Suara itu melanjutkan, "Algoritma Project Cupid menunjukkan bahwa ada kecocokan yang lebih tinggi antara Anya dan saya! Data menunjukkan bahwa..."
Anya tertawa. Ia tahu suara itu. Itu adalah suara dari asisten virtual yang ia program untuk Project Cupid. Ia dengan cepat mematikan speaker.
"Maafkan aku," kata Anya kepada Liam sambil tersenyum. "Sepertinya algoritmaku belum sempurna."
Liam tertawa dan menggenggam tangan Anya. "Tidak ada yang sempurna, Anya," katanya. "Yang penting adalah kita saling mencintai."
Mereka kemudian mengucapkan janji suci pernikahan, bertukar cincin, dan berciuman untuk pertama kalinya sebagai suami dan istri. Di hari itu, Anya menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan. Tapi, mungkin, sedikit bantuan dari algoritma tidak ada salahnya, asalkan hati tetap menjadi kompas utama. Dan mungkin, hanya mungkin, cinta era AI adalah tentang menemukan keharmonisan antara logika dan emosi, antara data dan intuisi, antara algoritma dan altar.