Aroma kopi robusta memenuhi apartemen Elara, kontras dengan dinginnya cahaya layar yang memantul di wajahnya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, kode-kode rumit mengalir bagai sungai di hadapannya. Ia sedang menyelesaikan desain arena kencan virtual terbaru untuk "Aetheria," metaverse paling populer saat ini. Elara, seorang developer muda berbakat, dikenal dengan kemampuannya menciptakan pengalaman imersif yang nyaris tak terbedakan dari dunia nyata. Ironisnya, di dunia nyata, ia sendiri merasa kesepian.
Aetheria adalah dunianya. Di sana, ia adalah "Lyra," avatar cantik dengan rambut lavender dan mata yang selalu berbinar. Lyra memiliki segudang teman, pengagum, dan petualangan seru. Namun, setelah melepas headset VR, Elara kembali menjadi dirinya yang pemalu, bersembunyi di balik kacamata tebal dan tumpukan buku.
Suatu malam, saat menguji arena kencannya, Lyra bertemu dengan seorang avatar bernama "Orion." Orion, diperankan oleh seorang pria bernama Aryan, adalah seorang seniman digital yang karyanya selalu membuat Lyra terpukau. Orion menampilkan avatar pria tinggi dengan rambut hitam legam dan tatapan mata yang hangat, meskipun hanya piksel yang membentuknya.
Mereka bertemu di taman virtual dengan air terjun digital yang menenangkan. Percakapan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbagi mimpi, ketakutan, dan bahkan lelucon konyol. Elara, melalui Lyra, merasa lebih terbuka dan jujur daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya. Aryan, melalui Orion, tampaknya melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penampilan.
“Karyamu selalu membuatku terinspirasi, Lyra,” kata Orion, suaranya yang direplikasi terdengar begitu dekat. “Ada sentuhan unik di setiap detailnya, seolah kamu menuangkan jiwamu ke dalamnya.”
Lyra tersipu, pipinya terasa panas meski hanya avatar. "Terima kasih, Orion. Aku… aku hanya berusaha membuat orang merasa bahagia."
Malam-malam berikutnya, mereka menghabiskan waktu bersama di Aetheria. Mereka menjelajahi galeri seni virtual, menari di klub malam holografis, dan bahkan mendaki gunung imajiner di tengah badai salju digital. Setiap interaksi terasa begitu nyata, begitu intens, hingga Elara mulai mempertanyakan batasan antara dunia virtual dan dunia nyata.
Namun, ia tetap berhati-hati. Ia tahu bahwa di balik avatar Orion, ada Aryan, seorang pria yang mungkin berbeda jauh dari yang ia bayangkan. Ia takut, jika ia bertemu Aryan di dunia nyata, keajaiban yang mereka rasakan di Aetheria akan hilang.
Suatu hari, Aryan mengirimkan pesan pribadi kepada Elara melalui platform developer Aetheria. “Aku tahu ini mungkin aneh, tapi aku ingin bertemu denganmu. Bukan Lyra, tapi Elara.”
Jantung Elara berdegup kencang. Ia menatap layar, ragu dan takut. Bagaimana jika Aryan kecewa melihatnya? Bagaimana jika semua ini hanya ilusi?
“Aku… aku tidak yakin,” balas Elara. “Aku tidak secantik Lyra.”
“Aku tidak tertarik dengan penampilan,” jawab Aryan. “Aku tertarik dengan pikiranmu, dengan jiwamu. Aku ingin mengenalmu, Elara, bukan avatar yang kamu ciptakan.”
Elara terdiam. Kata-kata Aryan menyentuh hatinya. Ia memutuskan untuk mengambil risiko.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantor Elara. Saat Elara tiba, ia melihat seorang pria duduk di sudut, memegang buku sketsa. Pria itu mendongak, matanya berbinar, dan senyumnya membuat Elara merasa tenang. Itu Aryan.
Aryan tidak setampan Orion, tapi ada sesuatu yang menarik darinya. Matanya yang cokelat teduh memancarkan kebaikan dan kecerdasan. Ia mengenakan kemeja flanel yang sederhana dan celana jeans. Ia tampak jauh lebih nyata, lebih manusiawi daripada avatar yang ia perankan.
“Elara?” tanya Aryan, suaranya terdengar lebih dalam dan lebih hangat daripada yang ia dengar di Aetheria.
Elara mengangguk, masih gugup. “Aryan?”
Mereka duduk dan mulai berbicara. Awalnya, percakapan terasa kaku dan canggung. Mereka berdua malu-malu, takut untuk mengatakan hal yang salah. Namun, perlahan tapi pasti, kecanggungan itu mencair. Mereka mulai tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan di antara mereka.
Elara terkejut menemukan bahwa Aryan tidak hanya seorang seniman digital yang berbakat, tetapi juga seorang pria yang penuh perhatian dan empati. Ia mendengarkan dengan sabar saat Elara berbicara tentang pekerjaannya, tentang mimpinya, dan tentang ketakutannya. Ia tidak menghakiminya, ia hanya mendengarkan dan memberikan dukungan.
Aryan, di sisi lain, kagum dengan kecerdasan dan kreativitas Elara. Ia terpesona dengan kemampuannya menciptakan dunia virtual yang begitu hidup dan begitu memikat. Ia menyukai kejujuran dan kerentanannya.
Semakin lama mereka berbicara, semakin Elara merasa nyaman dan rileks. Ia menyadari bahwa Aryan melihat dirinya apa adanya, bukan hanya avatar yang ia ciptakan. Ia merasa dihargai, dicintai, dan diterima.
Saat sore mulai menjelang, Aryan meraih tangan Elara. Sentuhan tangannya terasa hangat dan nyata. Elara merasakan aliran listrik mengalir di seluruh tubuhnya.
“Aku senang kita bertemu, Elara,” kata Aryan, matanya menatap Elara dengan lembut. “Kamu jauh lebih menakjubkan daripada yang aku bayangkan.”
Elara tersenyum. “Aku juga senang bertemu denganmu, Aryan. Kamu… kamu membuatku merasa aman.”
Mereka berpegangan tangan dan berjalan keluar dari kedai kopi. Langit senja berwarna oranye dan ungu, mewarnai kota dengan cahaya yang indah. Elara merasa seperti berada di dunia yang baru, dunia yang lebih nyata dan lebih mempesona daripada Aetheria.
Di malam itu, Elara menyadari bahwa cinta tidak mengenal batas. Ia bisa tumbuh di dunia virtual, tapi ia harus berakar di dunia nyata. Sentuhan digital memang bisa memicu debaran, tapi debaran nyata membutuhkan keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan membuka hati untuk kemungkinan baru.
Romansa mereka, yang dimulai di metaverse, kini bersemi di dunia nyata. Sentuhan digital telah membukakan jalan, dan kini, mereka siap menulis babak baru dalam kisah cinta mereka, sebuah kisah yang ditulis dengan hati, bukan hanya dengan kode. Mereka berjanji, dunia virtual akan menjadi pelengkap, bukan pengganti, bagi cinta yang mereka rajut di dunia yang nyata.