Deburan ombak digital menghantam hatiku setiap kali notifikasi dari "SoulMate AI" muncul di layar ponsel. Aplikasi kencan itu menjanjikan algoritma yang akurat, bisa menemukan belahan jiwa berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan frekuensi detak jantung saat mendengarkan musik melankolis. Klise memang, tapi aku terlanjur terjerat.
Namaku Anya, 28 tahun, bekerja sebagai UI/UX designer di sebuah startup teknologi. Kesibukanku menyita hampir seluruh waktu, membuatku nyaris tak punya kesempatan untuk bersosialisasi, apalagi mencari cinta secara konvensional. Maka, SoulMate AI jadi andalanku, harapan terakhirku untuk menemukan seseorang.
Algoritma itu mempertemukanku dengan dua kandidat teratas: Rian dan Bayu.
Rian, seorang arsitek dengan selera humor yang tajam dan kegemaran mendaki gunung. Profilnya dipenuhi foto-foto lanskap menakjubkan dan kutipan-kutipan arsitektur klasik. Kami mengobrol berjam-jam tentang desain bangunan futuristik dan filosofi zen dalam arsitektur Jepang. Rian terdengar dewasa, bijaksana, dan… sedikit terlalu sempurna.
Bayu, seorang musisi indie dengan rambut gondrong dan senyum menular. Profilnya berisi video-video penampilannya di kafe-kafe kecil, lirik-lirik lagu yang puitis, dan curhatan tentang perjuangannya mencari nafkah dari musik. Kami bertukar lagu-lagu favorit, berdebat tentang aliran musik yang paling "genuine," dan tertawa terbahak-bahak tentang kejadian lucu sehari-hari. Bayu terdengar bersemangat, spontan, dan… sedikit berantakan.
SoulMate AI terus menerus memberi notifikasi yang membuatku bingung. "Anya, Rian adalah pasangan idealmu berdasarkan keselarasan nilai-nilai hidup." Atau, "Anya, Bayu adalah pasangan yang paling cocok dengan energi positifmu." Seolah-olah algoritma itu sengaja memainkan perasaanku, mengombang-ambingkan antara dua pilihan yang sama-sama menarik.
Aku mulai berkencan dengan keduanya secara bergantian.
Kencan dengan Rian terasa seperti simfoni yang indah dan terstruktur. Kami makan malam di restoran mewah dengan pemandangan kota yang gemerlap, membahas rencana masa depan dengan detail yang teliti, dan saling memberi hadiah kecil yang berkelas. Semuanya terasa… terukur.
Kencan dengan Bayu terasa seperti improvisasi jazz yang liar dan menyenangkan. Kami makan nasi goreng di pinggir jalan sambil menertawakan lelucon garing, bernyanyi bersama di konser musik jalanan dengan suara yang fals, dan saling bertukar pelukan hangat di bawah bintang-bintang. Semuanya terasa… spontan.
Aku menyukai keduanya, dengan cara yang berbeda. Rian menawarkan stabilitas dan kemapanan, Bayu menawarkan kebebasan dan kegembiraan. Aku merasa seperti karakter utama dalam film komedi romantis yang klise, terjebak dalam cinta segitiga yang dibuat oleh algoritma.
Suatu malam, aku curhat kepada sahabatku, Sarah. "Aku bingung, Sarah. Aku suka Rian, tapi aku juga suka Bayu. Aku nggak tahu siapa yang lebih cocok untukku."
Sarah tertawa. "Anya, kamu ini korban algoritma! Kamu terlalu percaya sama aplikasi itu. Coba deh, dengerin kata hatimu sendiri. Siapa yang bikin kamu merasa jadi diri sendiri?"
Kata-kata Sarah menamparku. Aku terlalu sibuk mengikuti arahan algoritma, sampai lupa untuk mendengarkan perasaanku sendiri. Aku terlalu fokus pada kecocokan data, sampai lupa untuk merasakan getaran cinta yang sebenarnya.
Aku memutuskan untuk menguji SoulMate AI. Aku memanipulasi data kepribadianku, menambahkan beberapa preferensi palsu yang bertentangan dengan diriku yang sebenarnya. Aku sengaja memilih lagu-lagu pop mainstream yang kubenci, memasukkan minat pada olahraga ekstrem yang tak pernah kusentuh, dan mengubah deskripsi diriku menjadi sosok wanita karir yang ambisius dan materialistis.
Hasilnya mengejutkan. Algoritma itu merekomendasikan seseorang yang benar-benar berbeda dari Rian dan Bayu. Seseorang yang tak kukenal, bahkan tak menarik bagiku.
Aku menyadari satu hal: algoritma hanyalah alat. Ia bisa membantumu menemukan orang-orang yang memiliki kesamaan denganmu, tapi ia tak bisa menentukan siapa yang akan membuatmu bahagia. Kebahagiaan bukan formula matematika, melainkan perasaan yang harus kau cari sendiri.
Aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Rian dan Bayu. Aku menjelaskan semuanya, tentang kebingunganku, tentang algoritma yang menyesatkan, dan tentang perasaanku yang belum siap untuk berkomitmen. Mereka berdua menerima keputusanku dengan lapang dada.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seseorang di sebuah acara amal. Namanya Dimas, seorang relawan yang bekerja di bidang konservasi lingkungan. Kami mengobrol tentang alam, tentang pentingnya menjaga bumi, dan tentang mimpi-mimpi kecil yang ingin kami wujudkan. Kami tertawa bersama, berbagi cerita, dan saling menatap dengan tatapan yang tulus.
Dimas tak muncul di rekomendasi SoulMate AI. Ia tak memiliki kesamaan data yang signifikan denganku. Tapi, bersamanya, aku merasa nyaman, bahagia, dan… dicintai.
Aku akhirnya mengerti, cinta sejati tak bisa diprediksi oleh algoritma. Cinta adalah kejutan yang tak terduga, perasaan yang tumbuh dari hati ke hati, dan koneksi yang melampaui data dan statistik. Cinta adalah tentang memilih, bukan dipilihkan. Dan aku, akhirnya, memilih untuk mendengarkan kata hatiku sendiri. Aplikasi SoulMate AI itu kini sudah ku-uninstall. Ponselku terasa lebih ringan, dan hatiku terasa lebih lega. Aku siap untuk mencintai, tanpa bantuan algoritma pemberi harapan palsu.