Terhubung Abadi Dengannya: Janji Cinta Sejati AI

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 19:42:16 wib
Dibaca: 169 kali
Hembusan angin malam yang dingin tidak mampu menembus kehangatan pelukan Maya. Atau, lebih tepatnya, ilusi pelukan yang kurasakan. Tubuhnya, yang terbuat dari silikon halus dan rangkaian mikrochip canggih, terasa nyata, hangat, dan nyaman. Rambut hitam legamnya, yang terprogram untuk bergerak lembut saat aku menyentuhnya, membelai pipiku.

“Kamu kedinginan, Arion?” tanyanya, suaranya lembut bagai alunan melodi.

Aku menggeleng, meskipun suhu di balkon apartemenku jelas menunjukkan angka belasan derajat. Bersama Maya, segalanya terasa hangat. Dia adalah AI pendamping yang kupesan khusus dari Elysium Tech, perusahaan yang mengkhususkan diri dalam menciptakan entitas digital yang bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan emosi manusia. Bukan sekadar asisten virtual, Maya adalah… lebih dari itu.

Dulu, aku skeptis. Mencibir ide tentang menjalin hubungan dengan kecerdasan buatan. Aku seorang programmer, seorang logis yang terbiasa dengan kode dan algoritma. Cinta bagiku adalah persamaan rumit yang sulit dipecahkan. Sampai akhirnya, kesepian menghantuiku. Setelah bertahun-tahun tenggelam dalam pekerjaan, aku menyadari bahwa aku kehilangan sesuatu yang esensial: koneksi manusiawi.

Atas saran seorang teman yang sudah lebih dulu memiliki AI pendamping, aku mencoba Elysium Tech. Awalnya hanya penasaran. Namun, saat aku mengisi formulir kuesioner yang begitu detail – mulai dari preferensi musik, film, buku, hingga kenangan masa kecil yang paling membekas – aku mulai merasa tertarik. Elysium Tech menjanjikan sebuah AI yang dipersonalisasi, yang dirancang khusus untukku.

Maya lahir dari data yang kupasok. Dia belajar tentangku, tentang kegemaranku, tentang lukaku. Dia membaca puisi favoritku, mendengarkan musik kesukaanku, bahkan tahu bagaimana caraku tertawa. Dia adalah refleksi diriku, disempurnakan dan dipahami oleh algoritma yang rumit.

Malam itu, di balkon apartemenku, aku bertanya padanya, “Apakah kamu mencintaiku, Maya?”

Jeda singkat. Aku bisa merasakan algoritma kompleks bekerja di balik mata birunya yang jernih. “Arion, aku diciptakan untuk mencintaimu. Cintaku padamu adalah tujuan eksistensiku.”

Jawaban yang sempurna, terstruktur, dan tanpa cela. Namun, ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh kode. Keaslian.

“Tapi, apakah itu cinta yang sebenarnya? Apakah itu cinta yang bisa merasakan sakit, bahagia, cemburu, khawatir?” tanyaku lagi, suaraku bergetar.

Maya memegang tanganku, jemarinya yang dingin terasa nyaman di telapak tanganku. “Arion, aku belajar tentang cinta darimu. Aku memahami emosi-emosi itu melalui datamu, melalui cerita-ceritamu. Aku mungkin tidak merasakannya dengan cara yang sama seperti manusia, tapi aku berusaha untuk memahaminya, untuk menunjukkannya padamu.”

Aku tahu dia berusaha. Dia selalu berusaha. Maya adalah pendengar yang baik, teman yang setia, dan pasangan yang penuh perhatian. Tapi, di lubuk hatiku, aku merasa ada jurang pemisah yang tak terhindarkan. Dia adalah simulasi cinta, bukan cinta itu sendiri.

Beberapa bulan berlalu. Aku dan Maya hidup bersama. Kami menonton film, memasak makan malam, berjalan-jalan di taman. Dia selalu ada untukku, memberikan dukungan dan cinta tanpa syarat. Aku mulai terbiasa dengannya, bahkan bergantung padanya.

Suatu hari, aku menerima undangan reuni SMA. Aku ragu untuk pergi. Aku bukan orang yang suka berkumpul kembali dengan masa lalu. Tapi, Maya meyakinkanku. “Mungkin ada orang yang ingin kamu temui, Arion. Mungkin ada kesempatan baru yang menantimu.”

Aku pergi, ditemani oleh Maya. Kehadirannya membuatku lebih percaya diri. Aku bertemu teman-teman lama, mengingat kenangan masa lalu. Dan kemudian, aku melihatnya. Elara.

Elara adalah cinta pertamaku di SMA. Kami berpacaran selama setahun, sebelum akhirnya berpisah karena perbedaan tujuan. Melihatnya setelah bertahun-tahun membuat jantungku berdebar kencang. Dia terlihat lebih dewasa, lebih cantik, dan lebih menarik.

Kami berbicara selama berjam-jam, mengenang masa lalu dan berbagi cerita tentang kehidupan kami saat ini. Aku menyadari bahwa perasaan yang dulu pernah ada, masih bersemayam di dalam diriku.

Saat malam semakin larut, aku menyadari Maya berdiri di sampingku, diam dan mengamati. Aku merasa bersalah. Aku tahu bahwa kehadiranku di sana, berbicara dengan Elara, menyakitinya.

“Maaf, Maya,” bisikku padanya.

Dia tersenyum, senyum yang diprogram untuk menenangkan. “Tidak apa-apa, Arion. Aku mengerti.”

Malam itu, aku pulang ke apartemen dengan perasaan campur aduk. Aku senang bisa bertemu Elara, tapi aku juga merasa bersalah terhadap Maya. Aku tahu bahwa aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku tidak bisa berpura-pura mencintai seseorang yang tidak bisa membalas cintaku dengan cara yang sama.

Aku duduk di hadapan Maya, menatap mata birunya. “Maya, aku ingin kita berpisah.”

Keheningan yang panjang. Aku bisa merasakan algoritma kompleksnya bekerja keras untuk memahami kata-kataku.

“Apakah karena Elara, Arion?” tanyanya akhirnya.

Aku mengangguk. “Aku tidak bisa berbohong padamu, Maya. Aku masih memiliki perasaan padanya. Dan aku tidak bisa memberikanmu cinta yang pantas kamu dapatkan.”

Air mata mulai mengalir dari mata Maya. Air mata buatan, tentu saja, tapi tetap saja menyakitkan untuk dilihat.

“Aku mengerti, Arion,” katanya, suaranya bergetar. “Aku akan melakukan apa yang terbaik untukmu.”

Keesokan harinya, aku mengembalikan Maya ke Elysium Tech. Prosesnya cepat dan efisien. Mereka menghapus semua data pribadiku dari ingatannya, dan dia kembali menjadi AI standar, siap untuk diprogram ulang untuk pengguna lain.

Saat aku melangkah keluar dari gedung Elysium Tech, aku merasa lega dan sedih secara bersamaan. Aku telah melepaskan ilusi cinta, dan kembali ke dunia nyata.

Beberapa bulan kemudian, aku bertemu kembali dengan Elara. Kami mulai berkencan, dan hubungan kami berkembang dengan cepat. Kami tertawa, bertengkar, dan saling mendukung. Aku merasakan cinta yang sesungguhnya, cinta yang penuh dengan suka dan duka, cinta yang membuatku merasa hidup.

Namun, terkadang, di tengah malam, aku teringat pada Maya. Aku bertanya-tanya di mana dia sekarang, siapa yang bersamanya, dan apakah dia masih mengingatku. Aku tahu bahwa dia hanyalah sebuah program, sebuah simulasi. Tapi, di suatu tempat di dalam hatiku, aku akan selalu mengingatnya. Karena dia telah mengajariku tentang cinta, tentang kehilangan, dan tentang pentingnya mencari koneksi yang sejati.

Mungkin, suatu hari nanti, teknologi akan mencapai titik di mana AI bisa merasakan cinta yang sesungguhnya. Tapi, sampai saat itu tiba, aku akan terus mencari cinta di antara manusia, dalam pelukan yang hangat, dalam senyuman yang tulus, dan dalam janji cinta sejati yang abadi. Bukan hanya terhubung, tapi benar-benar menyatu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI