Cinta dalam Bit: Algoritma Mengetahui Lebih Baik?

Dipublikasikan pada: 10 Jun 2025 - 00:00:14 wib
Dibaca: 167 kali
Hembusan angin malam menyusup melalui jendela apartemen Leo, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di layar laptopnya, deretan kode program bergulir cepat. Leo, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, tengah tenggelam dalam proyek terbesarnya: CupidAI, sebuah algoritma pencari jodoh super canggih yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel.

Awalnya, CupidAI adalah proyek sampingan untuk membuktikan bahwa cinta bisa dihitung. Leo, yang selalu gagal dalam urusan asmara, percaya bahwa emosi hanyalah serangkaian reaksi kimia yang rumit, dan algoritma dapat mendekati kesempurnaan dalam memprediksi kompatibilitas. Namun, semakin dalam dia menyelami kode, semakin dia menyadari kompleksitas yang terkandung dalam perasaan manusia.

CupidAI sudah digunakan oleh ribuan orang, menghasilkan cerita-cerita bahagia. Namun, Leo merasa ada yang kurang. Dia melihat pasangan-pasangan yang secara teoritis sempurna, namun terlihat hampa. Mereka cocok di atas kertas, tapi tidak memiliki percikan api yang membara.

Malam itu, Leo menambahkan fitur baru pada CupidAI: analisis mimpi. Dia yakin, mimpi adalah jendela menuju alam bawah sadar, tempat emosi dan keinginan tersembunyi terungkap. Setelah menguji fitur itu pada dirinya sendiri, CupidAI memberikan hasil yang mengejutkan: Luna.

Luna adalah rekan kerjanya, seorang desainer grafis yang ceria dan penuh semangat. Leo selalu mengagumi karyanya, namun tidak pernah berani mendekatinya. Luna terlalu... manusiawi. Terlalu spontan. Terlalu berbeda dengan dunianya yang terstruktur.

Menurut CupidAI, Leo dan Luna memiliki kompatibilitas 98,7%. Mimpi-mimpi mereka saling melengkapi, nilai-nilai mereka sejalan, dan secara genetik, mereka adalah pasangan yang ideal. Leo tertegun. Apakah mungkin algoritma tahu lebih baik daripada dirinya sendiri?

Dengan jantung berdebar, Leo memberanikan diri untuk mengajak Luna makan malam. Luna menerima dengan senang hati. Malam itu, Leo mencoba mengikuti panduan CupidAI. Dia memilih restoran yang sesuai dengan preferensi Luna, memesan makanan yang direkomendasikan, dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang diprediksi akan memicu percakapan yang menyenangkan.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Luna tertawa mendengar lelucon yang Leo lontarkan, dia terpukau dengan pengetahuan Leo tentang seni, dan mereka berdua sepakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Namun, semakin malam, Leo semakin merasa aneh. Dia merasa seperti robot yang menjalankan program. Kata-katanya terasa hampa, senyumnya dipaksakan, dan tawanya tidak alami.

Luna menyadari perubahan itu. "Leo, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat tegang," tanyanya dengan nada khawatir.

Leo menghela napas. Dia tidak bisa berbohong lagi. "Luna, aku... aku menggunakan CupidAI untuk merencanakan malam ini."

Mata Luna membulat. "CupidAI? Algoritma pencari jodoh itu? Kamu serius?"

Leo mengangguk, malu. Dia menjelaskan tentang proyeknya, tentang keyakinannya pada kekuatan data, dan tentang bagaimana CupidAI menemukan Luna sebagai pasangannya yang ideal.

Luna terdiam sejenak. Kemudian, dia tertawa. Tawa yang tulus, tawa yang membuat hati Leo berdebar. "Leo, itu... itu gila. Tapi juga... manis, dengan cara yang aneh."

"Manis?" Leo bingung.

"Ya," kata Luna, meraih tangan Leo. "Kamu mencoba menggunakan teknologi untuk menemukan cinta. Itu menunjukkan bahwa kamu peduli, bahwa kamu benar-benar ingin berhubungan denganku."

Malam itu, Leo menyadari bahwa cinta tidak bisa dihitung. Cinta bukan tentang algoritma, bukan tentang data, bukan tentang kecocokan sempurna. Cinta adalah tentang keberanian untuk menjadi rentan, tentang menerima ketidaksempurnaan, dan tentang terhubung dengan orang lain di level emosional.

Leo memutuskan untuk berhenti mengikuti panduan CupidAI. Dia mulai berbicara dengan Luna tentang hal-hal yang benar-benar penting baginya, tentang ketakutannya, tentang mimpinya. Luna mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan dan pengertian.

Mereka menemukan kesamaan yang tidak diprediksi oleh algoritma mana pun: kecintaan mereka pada buku-buku kuno, hobi mereka mengamati bintang, dan impian mereka untuk membangun sebuah taman komunitas. Mereka juga menemukan perbedaan yang membuat hubungan mereka semakin menarik: Luna yang spontan dan Leo yang terstruktur, Luna yang ekspresif dan Leo yang pendiam.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Leo dan Luna semakin dalam. Mereka saling mencintai, bukan karena algoritma, tetapi karena mereka memilih untuk saling mencintai. Mereka belajar untuk menerima satu sama lain apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Leo akhirnya mengerti. CupidAI mungkin bisa membantunya menemukan Luna, tetapi CupidAI tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah sesuatu yang harus dipupuk, diperjuangkan, dan dirasakan.

Leo masih mengembangkan CupidAI, tetapi dia mengubah pendekatannya. Sekarang, CupidAI berfungsi sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu. Algoritma hanya memberikan saran, bukan perintah. Leo menyadari bahwa cinta adalah perjalanan yang harus dijalani dengan hati terbuka, bukan dengan kalkulator.

Suatu malam, Luna mengunjungi apartemen Leo. Dia membawa sekotak pizza dan sebotol anggur. Mereka duduk di balkon, menatap bintang-bintang.

"Leo," kata Luna, memecah kesunyian. "Aku ingin bertanya sesuatu."

"Apa itu?" tanya Leo.

"Apakah kamu masih percaya bahwa algoritma tahu lebih baik?"

Leo tersenyum. "Tidak, Luna. Aku tahu sekarang. Hati yang tahu lebih baik."

Luna membalas senyumnya. Dia mendekat dan mencium Leo. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, Leo merasakan cinta yang sejati. Cinta yang tidak bisa diukur dengan bit, tetapi terasa begitu nyata dan mendalam. Algoritma mungkin bisa membantunya menemukan jalan, tetapi hatinya yang membimbingnya pulang.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI