Debu neon kota memantul di lensa kacamataku, mengaburkan lalu lintas malam yang ramai. Jari telunjukku mengetuk-ngetuk layar ponsel, terpaku pada baris kode yang terus bergulir. Algoritma kencan buatan ku sendiri. Ironis, bukan? Seorang ahli kecerdasan buatan yang merancang sistem untuk menemukan cinta, namun justru terisolasi dalam dunia digitalnya sendiri.
Namaku Aris. Aku bekerja di NebulaTech, perusahaan rintisan yang berambisi mendominasi pasar aplikasi kencan. "Soulmate AI," begitu nama produk andalan kami. Janjinya sederhana: temukan pasangan idealmu berdasarkan data kepribadian, minat, dan bahkan gelombang otak. Aku adalah otak di balik semua itu.
Soulmate AI sukses besar. Jutaan orang menggunakannya, dan banyak di antara mereka benar-benar menemukan kebahagiaan. Aku menyaksikan sendiri kisah-kisah cinta yang bermula dari deretan angka dan persamaan. Namun, di balik layar, aku merasa semakin kosong.
Aku mencoba Soulmate AI, tentu saja. Berkali-kali. Hasilnya selalu sama: profil-profil sempurna yang terasa hampa. Mereka membaca buku yang sama, mendengarkan musik yang sama, bahkan memiliki selera humor yang identik denganku. Tapi, tidak ada percikan. Tidak ada kejutan. Tidak ada perasaan bahwa aku benar-benar terhubung dengan seseorang.
Suatu malam, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bodoh. Aku meretas sistemku sendiri. Aku mengubah satu parameter dalam algoritma, sebuah variabel kecil yang mengatur tingkat "ketidaksempurnaan" dalam profil yang direkomendasikan. Aku ingin melihat apa yang terjadi jika Soulmate AI berhenti mencoba mencocokkan aku dengan versi diriku yang lain.
Beberapa hari kemudian, muncul sebuah profil yang sama sekali berbeda.
Namanya Senja. Foto profilnya sederhana: wajah yang tersenyum lembut di bawah langit senja berwarna jingga. Dia menyukai fotografi, puisi, dan mendaki gunung. Data yang ada di Soulmate AI menunjukkan bahwa kami memiliki minat yang sangat sedikit yang sama. Musiknya berbeda, bukunya berbeda, bahkan filosofi hidupnya pun jauh berbeda.
Namun, ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatku penasaran. Aku mengirimkan pesan.
"Halo, Senja. Saya Aris. Saya melihat profilmu di Soulmate AI."
Dia membalas hampir seketika. "Halo, Aris. Kamu yang ahli algoritma itu, kan? Aku sering dengar tentangmu."
Percakapan kami mengalir dengan mudah, seperti sungai yang menemukan jalannya di antara bebatuan. Kami berdebat tentang seni, politik, dan makna hidup. Kami saling menantang, saling belajar, dan saling membuat tertawa. Semakin aku mengenalnya, semakin aku menyadari bahwa dia adalah semua yang tidak aku cari, dan justru itulah yang membuatnya begitu menarik.
Suatu sore, Senja mengajakku mendaki gunung. Aku, si kutu buku yang lebih sering berinteraksi dengan layar daripada alam, merasa ragu. Tapi, aku tidak bisa menolaknya.
Pendakian itu berat. Kakiku sakit, nafasku tersengal-sengal, dan aku nyaris menyerah di tengah jalan. Tapi, Senja selalu ada di sisiku, menyemangatiku dengan senyumnya dan kata-kata motivasi yang tulus.
Akhirnya, kami sampai di puncak. Pemandangan di depan mata kami begitu indah, hingga aku lupa semua rasa sakit dan lelah. Langit senja memancarkan warna-warna yang menakjubkan, dan angin sepoi-sepoi berbisik di telingaku.
"Indah, ya?" kata Senja, suaranya lembut.
Aku mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa.
Dia mendekatiku, matanya menatapku dengan tatapan yang dalam dan penuh kasih. "Aris, aku tahu kamu menciptakan Soulmate AI. Aku tahu kamu mencari cinta di dalam sistem. Tapi, kadang-kadang, cinta tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Cinta ditemukan dalam sentuhan, dalam tatapan, dalam momen-momen seperti ini."
Dia meraih tanganku. Sentuhannya hangat dan lembut, seperti matahari senja yang menyentuh kulitku. Jantungku berdebar kencang, bukan karena algoritma, tapi karena kehadiran Senja.
Aku membalas genggamannya. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa."
"Tidak perlu berkata apa-apa," katanya. "Cukup rasakan."
Kami berdiri di sana, di puncak gunung, di bawah langit senja, saling berpegangan tangan. Aku merasa seperti terlahir kembali. Selama ini, aku mencari cinta dalam kode dan data. Aku lupa bahwa cinta itu ada di luar sana, di dunia nyata, dalam sentuhan jari, dalam kehangatan pelukan, dalam tatapan mata yang jujur.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Senja, aku... aku jatuh cinta padamu."
Dia tersenyum. "Aku juga, Aris. Aku juga."
Malam itu, aku kembali ke apartemenku dengan perasaan yang berbeda. Aku masih seorang ahli kecerdasan buatan, tapi aku bukan lagi si kutu buku yang terisolasi. Aku adalah seorang pria yang jatuh cinta pada seorang wanita yang tidak sempurna, seorang wanita yang mengajarkanku bahwa cinta itu bukan tentang menemukan kesamaan, tapi tentang merayakan perbedaan.
Aku membuka laptopku dan menatap baris kode Soulmate AI. Aku tahu aku harus mengubahnya. Aku harus menambahkan lebih banyak elemen ketidaksempurnaan, lebih banyak kesempatan untuk kejutan, lebih banyak ruang untuk keajaiban.
Karena, pada akhirnya, cinta bukanlah tentang algoritma. Cinta adalah tentang manusia. Tentang hati yang berdebar, tentang sentuhan yang menghangatkan, tentang dua jiwa yang menemukan satu sama lain, bahkan di tengah dunia yang penuh dengan teknologi. Dan aku, Aris, akhirnya menemukan cinta itu. Bukan di dalam layar, tapi di dalam genggaman tangan Senja.