Algoritma Ciuman: Sentuhan Pixels, Cinta yang Terhapus?

Dipublikasikan pada: 09 Jul 2025 - 00:00:20 wib
Dibaca: 162 kali
Jemarinya menari di atas layar holografis, kode-kode algoritma cinta berpendar kebiruan di matanya. Anya, seorang programmer jenius di usia dua puluhan, menciptakan "AmourAI," aplikasi kencan revolusioner yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data biologis, pola pikir, dan preferensi emosional. Ia yakin, cinta bisa diurai, dipetakan, dan dipertemukan oleh serangkaian algoritma yang kompleks. Ia muak dengan kencan buta yang canggung, harapan palsu, dan patah hati yang berlarut-larut.

AmourAI menjadi sensasi global. Jutaan orang bergantung pada aplikasi itu untuk menemukan pasangan ideal mereka. Anya merasakan kepuasan yang luar biasa. Ia berhasil memecahkan kode cinta, mempermudah hidup banyak orang. Namun, ironisnya, Anya sendiri masih lajang.

Ia terlalu sibuk menyempurnakan AmourAI hingga lupa mencari cinta untuk dirinya sendiri. Lagipula, menurutnya, ia tahu terlalu banyak tentang mekanisme cinta, yang membuatnya skeptis dan terlalu analitis. Ia melihat setiap potensi kencan sebagai serangkaian data yang harus dianalisis, bukan sebagai kesempatan untuk koneksi yang tulus.

Suatu malam, saat lembur di kantor yang sepi, sistem AmourAI mendeteksi kecocokan sempurna untuknya. Hasilnya, jelas dan tak terbantahkan, menunjukkan seorang pria bernama Kai. Seorang seniman digital yang tinggal di seberang kota.

Anya terkejut. Ia selalu berasumsi bahwa algoritmanya akan menemukan seseorang yang rasional, logis, dan berorientasi pada data seperti dirinya. Bukan seorang seniman yang hidup dalam dunia imajinasi dan emosi.

Ia menelusuri profil Kai. Foto-fotonya menunjukkan seorang pria dengan mata teduh, rambut ikal berantakan, dan senyum yang tulus. Karya seninya, berupa instalasi digital interaktif, penuh dengan warna, emosi, dan filosofi mendalam tentang makna keberadaan.

Anya ragu. Ia selama ini membangun AmourAI dengan keyakinan bahwa kecocokan berdasarkan data adalah segalanya. Tetapi, nalurinya berteriak bahwa Kai bukan tipenya. Ia selalu membayangkan pasangannya sebagai seorang ilmuwan, seorang insinyur, seseorang yang mengerti kompleksitas pikirannya.

Namun, keingintahuan mengalahkan keraguannya. Ia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia mengirimkan pesan kepada Kai melalui AmourAI.

"Halo, Kai. Algoritma mengatakan kita sangat cocok."

Balasan Kai datang hampir seketika. "Halo, Anya. Aku tahu. Aku sudah menunggumu."

Kencan pertama mereka di sebuah kafe digital yang futuristik berjalan anehnya lancar. Kai tidak berbicara tentang algoritma atau data. Ia berbicara tentang mimpi, tentang seni, tentang bagaimana ia melihat dunia melalui lensa yang berbeda. Anya, yang terbiasa menganalisis segala sesuatu, mendapati dirinya hanya mendengarkan, terpesona oleh kata-katanya.

Kai mengajaknya ke studionya. Sebuah ruang yang dipenuhi dengan layar-layar yang menampilkan karya-karyanya. Ia menjelaskan setiap instalasi, menyingkapkan lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di baliknya. Anya, yang terbiasa dengan dunia kode dan logika, terpesona oleh keindahan dan kompleksitas emosi yang diungkapkan Kai melalui seninya.

Hari-hari berlalu, Anya dan Kai semakin dekat. Anya mulai melihat dunia dengan cara yang baru. Ia belajar untuk menghargai keindahan di luar angka dan kode. Ia belajar untuk merasakan emosi tanpa harus menganalisisnya. Ia belajar untuk mencintai.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, keraguan mulai menghantuinya. Apakah cintanya pada Kai nyata? Atau hanya hasil dari algoritma yang sempurna? Apakah ia benar-benar mencintai Kai, atau hanya mencintai gagasan tentang cinta yang dipersembahkan oleh AmourAI?

Pertanyaan itu terus menghantuinya. Ia mulai menjauhi Kai, meragukan setiap sentuhan, setiap ciuman. Ia takut bahwa cintanya adalah palsu, diprogram, dan tidak tulus.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman kota yang diterangi lampu-lampu neon, Anya akhirnya mengungkapkan keraguannya.

"Kai," katanya dengan suara bergetar, "Apakah ini nyata? Atau hanya hasil dari algoritma?"

Kai berhenti. Ia menatap Anya dengan mata yang penuh dengan kesedihan. "Anya," katanya lembut, "Aku tidak peduli dengan algoritma. Aku mencintaimu karena dirimu sendiri. Karena caramu melihat dunia, karena kecerdasanmu, karena hatimu yang tersembunyi di balik dinding kode."

Ia mendekat, meraih wajah Anya dengan kedua tangannya. "Aku mencintaimu," bisiknya, "bukan karena algoritma, tapi karena aku memilih untuk mencintaimu."

Ia mencium Anya. Sebuah ciuman yang penuh dengan emosi, dengan ketulusan, dengan cinta yang murni. Anya memejamkan mata, merasakan kehangatan bibir Kai di bibirnya. Ia mencoba untuk merasakan, untuk membedakan, apakah ciuman itu adalah hasil dari algoritma atau dari hatinya sendiri.

Namun, ia tidak bisa. Ia tidak bisa membedakan antara data dan emosi, antara kode dan perasaan. Yang ia rasakan hanyalah cinta. Cinta yang nyata, yang tulus, yang membara di dalam hatinya.

Ia membuka mata, menatap Kai. Ia melihat refleksi dirinya di mata Kai, bukan sebagai seorang programmer, bukan sebagai pencipta AmourAI, tapi sebagai seorang wanita yang dicintai.

"Aku juga mencintaimu," bisiknya.

Malam itu, Anya menyadari bahwa algoritma hanya alat. Ia bisa membantu menemukan potensi, tetapi tidak bisa menciptakan cinta. Cinta adalah pilihan. Cinta adalah risiko. Cinta adalah tentang membuka hati dan membiarkan diri kita rentan.

Ia menyadari bahwa ia selama ini terlalu terpaku pada data dan logika, sehingga lupa untuk merasakan. Ia lupa untuk membiarkan hatinya membimbingnya.

Ia memeluk Kai erat-erat. Ia tidak peduli lagi dengan algoritma. Ia hanya peduli dengan cinta yang ia rasakan saat ini. Cinta yang nyata, yang tulus, yang tidak bisa dihapus oleh kode apa pun.

Keesokan harinya, Anya menghapus kode algoritma yang digunakan AmourAI untuk menentukan kecocokan. Ia menggantinya dengan sistem yang lebih sederhana, yang hanya memberikan informasi dasar tentang potensi pasangan. Ia ingin orang-orang menemukan cinta dengan cara mereka sendiri, dengan hati mereka, bukan dengan bantuan algoritma yang kompleks.

Ia belajar bahwa cinta tidak bisa diurai, dipetakan, atau dipertemukan oleh kode. Cinta adalah misteri. Cinta adalah anugerah. Cinta adalah sesuatu yang harus dicari, dirasakan, dan diperjuangkan dengan sepenuh hati. Dan kadang, cinta ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di pelukan seorang seniman yang hatinya penuh dengan warna dan emosi. Sentuhan pixels mungkin mempermudah pertemuan, tapi cinta yang tulus, tidak akan pernah terhapus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI