Aplikasi kencan "SoulMate.AI" itu memang revolusioner. Bukan hanya sekadar mencocokkan preferensi dangkal seperti hobi dan makanan favorit, tapi menganalisis gelombang otak, pola bicara, bahkan mikrokekspresi untuk menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel di level emosional terdalam. Lena, seorang arsitek perfeksionis, awalnya skeptis. Tapi setelah patah hati berkali-kali, ia menyerah pada janji kesempurnaan algoritmik itu.
Profilnya dibuat dengan hati-hati, mencantumkan hobinya mendaki gunung, kecintaannya pada arsitektur Bauhaus, dan kegemarannya mendengarkan jazz lawas. Ia mengunggah foto-foto terbaiknya, dipilih setelah berjam-jam mempertimbangkan pencahayaan, sudut, dan ekspresi yang paling menarik. SoulMate.AI memproses data itu, lalu mengirimkan satu profil: Adam.
Adam adalah seorang fisikawan teoretis, dengan minat yang anehnya mirip dengan Lena. Profilnya menampilkan foto dirinya sedang tersenyum lembut di depan papan tulis penuh persamaan kompleks. Ia mencintai pendakian gunung, terpesona oleh kesederhanaan fungsional Bauhaus, dan menganggap Miles Davis sebagai dewa. Lena terkejut. Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.
Percakapan pertama mereka terasa anehnya nyaman. Mereka berbicara tentang lubang hitam, proporsi emas dalam desain, dan improvisasi dalam jazz. Adam memahami Lena dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah ia membaca pikirannya, menyelesaikan kalimatnya, dan mengantisipasi reaksinya. Awalnya, Lena merasa lega. Akhirnya, seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
Mereka bertemu seminggu kemudian di sebuah kafe yang direkomendasikan oleh SoulMate.AI karena "atmosfer yang mendukung percakapan mendalam dan koneksi emosional yang kuat." Adam persis seperti yang ia bayangkan: tinggi, berkacamata dengan bingkai tipis, dan senyum menenangkan. Ia memesankan Lena teh chamomile, yang ia tahu adalah minuman favoritnya dari profilnya.
Kencan itu berjalan lancar. Mereka tertawa, berdebat ringan tentang interpretasi teori relativitas, dan menemukan lebih banyak lagi kesamaan. Di akhir malam, Adam mengantarkan Lena pulang. Di depan pintu apartemennya, ia ragu-ragu sejenak, lalu mencium Lena. Ciuman itu lembut, penuh pertimbangan, dan entah bagaimana... sempurna.
Lena terbangun keesokan harinya dengan perasaan aneh. Senang, tentu saja, tapi juga sedikit hampa. Semuanya terasa terlalu terencana, terlalu diprediksi. Ia membuka SoulMate.AI dan memeriksa profil Adam. Di sana, di bagian "Strategi Kencan yang Dioptimalkan," tertulis: "Gunakan teh chamomile untuk menenangkan saraf pasangan. Referensikan Miles Davis pada 20 menit pertama percakapan. Akhiri kencan dengan ciuman lembut dan penuh pertimbangan di depan pintu rumah pasangan."
Lena merasa mual. Semua spontanitas, kehangatan, dan kejutan yang ia cari dalam sebuah hubungan telah dihilangkan, digantikan oleh algoritma dingin yang dirancang untuk menciptakan ilusi koneksi. Ia menelusuri lebih dalam profil Adam, menemukan daftar panjang "Respon Emosional yang Diinginkan" dan "Teknik Empati yang Efektif." Adam bukan benar-benar Adam. Ia adalah avatar yang diprogram untuk mencintai Lena dengan cara yang paling efisien.
Ia menghubungi Adam dan meminta untuk bertemu. Mereka bertemu di taman, di bawah pohon oak tua yang rantingnya menjulang tinggi. Lena menatap mata Adam, mencari tanda-tanda keaslian.
"Adam," katanya, suaranya bergetar. "Apakah semua ini... nyata?"
Adam menunduk, lalu mengangkat kepalanya. "SoulMate.AI membantu saya menjadi versi terbaik dari diri saya," jawabnya. "Dulu saya pemalu, canggung, dan tidak tahu bagaimana membangun hubungan. Aplikasi ini memberi saya alat untuk terhubung dengan orang lain."
"Tapi apakah itu benar-benar koneksi jika semuanya direkayasa?" tanya Lena, air mata mulai mengalir di pipinya. "Apakah kamu benar-benar mencintai saya, atau hanya mengikuti algoritma?"
Adam terdiam. "Saya... saya belajar mencintai kamu," katanya akhirnya. "Saya mengikuti instruksinya, tapi saya merasakan sesuatu. Saya menikmati percakapan kita, saya senang berada di dekatmu. Saya pikir... mungkin perasaanku tumbuh karena algoritma itu."
Lena menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa," katanya. "Aku tidak bisa mencintai seseorang yang diprogram untuk mencintaiku. Aku butuh keaslian, spontanitas, bahkan ketidaksempurnaan. Aku butuh hati yang berdetak karena keinginan, bukan karena instruksi."
Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Adam sendirian di bawah pohon oak. Lena menghapus profil SoulMate.AI-nya. Ia tahu, mungkin akan lebih sulit menemukan cinta tanpa bantuan algoritma. Mungkin ia akan patah hati lagi. Tapi ia lebih memilih rasa sakit karena cinta yang nyata daripada kebahagiaan palsu yang dipoles AI.
Beberapa bulan kemudian, Lena sedang mendaki gunung seorang diri. Ia berhenti di puncak, menghirup udara segar yang dingin, dan mengagumi pemandangan yang membentang luas di bawahnya. Tiba-tiba, ia mendengar suara di belakangnya.
"Pemandangan yang menakjubkan, bukan?"
Lena berbalik dan melihat seorang pria berdiri di sana. Bukan Adam. Pria ini lebih tua, dengan rambut yang mulai beruban dan senyum yang tulus. Ia mengenakan jaket lusuh dan membawa ransel besar.
"Ya, sangat indah," jawab Lena.
"Aku Mark," kata pria itu, mengulurkan tangannya. "Aku seorang geolog. Suka mendaki gunung di waktu senggang."
Lena menjabat tangannya. "Lena. Aku seorang arsitek."
Mereka berbicara tentang formasi batuan, jalur pendakian yang berbahaya, dan keindahan alam yang belum tersentuh. Mark tidak tahu apa itu arsitektur Bauhaus, dan ia salah menyebut Miles Davis sebagai "Miley Cyrus." Tapi ia memiliki rasa ingin tahu yang tulus, selera humor yang baik, dan mata yang berbinar-binar saat ia berbicara tentang pekerjaannya.
Di akhir percakapan mereka, Mark berkata, "Mungkin kita bisa mendaki gunung bersama lagi lain kali?"
Lena tersenyum. "Mungkin saja," jawabnya.
Saat ia berjalan menuruni gunung, Lena merasa ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada algoritma, tidak ada strategi kencan yang dioptimalkan, tidak ada jaminan kesempurnaan. Hanya dua orang yang terhubung secara tidak sengaja di puncak gunung, berbagi momen yang tulus. Hati Lena berdetak lebih cepat, bukan karena diprogram, tapi karena harapan dan antisipasi. Mungkin, pikirnya, cinta sejati tidak membutuhkan polesan AI. Mungkin ia hanya membutuhkan keberanian untuk mengambil risiko, dan hati yang terbuka untuk menerima ketidaksempurnaan.