Algoritma Hati: Cinta, Data, dan Air Mata Digital

Dipublikasikan pada: 28 Oct 2025 - 03:20:15 wib
Dibaca: 163 kali
Hujan pixel jatuh di layar laptopku, memantulkan cahaya biru ke wajahku yang lelah. Baris-baris kode menari di depan mata, algoritma demi algoritma, mencoba memecahkan teka-teki rumit. Bukan teka-teki program, melainkan teka-teki hati.

Namaku Anya, seorang data scientist yang terobsesi dengan angka dan pola. Ironisnya, justru di ranah asmara, aku selalu gagal memahami pola tersebut. Mantan-mantanku datang dan pergi seperti notifikasi pop-up yang bisa di-close kapan saja. Mungkin karena aku terlalu kaku, terlalu logis, dan kurang spontan.

“Lagi ngapain, Nya? Kayak lagi mau ngitung masa depan peradaban manusia aja,” suara Reno membuyarkan lamunanku. Reno adalah sahabatku sejak kuliah, seorang programmer handal yang jago merayu, bukan hanya kode, tapi juga wanita.

“Lagi mencoba memahami kenapa cinta selalu berakhir dengan error 404,” jawabku sambil menghela napas.

Reno terkekeh. “Cinta itu bukan kode, Nya. Nggak bisa di-debug. Dia itu kayak bug yang nggak sengaja muncul, bikin sistem jadi lebih menarik.”

“Tapi bug bisa diperbaiki, Reno. Sementara aku… kayaknya stuck di loop yang sama terus,” balasku lesu.

Reno menepuk pundakku. “Makanya, coba deh keluar dari zona nyamanmu. Jangan cuma ngandelin data, coba dengerin hatimu.”

Nasihat Reno sebenarnya masuk akal, tapi lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Aku terbiasa menganalisis segala sesuatu, mencari pola dan prediksi. Bagaimana mungkin aku bisa menyerahkan diriku pada sesuatu yang irasional seperti cinta?

Seminggu kemudian, Reno mengajakku ke sebuah acara peluncuran aplikasi kencan baru bernama “SoulMatch”. Aplikasi ini mengklaim bisa menemukan pasangan ideal berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, dan preferensi pengguna.

“Mungkin ini jawaban atas doamu, Nya,” kata Reno sambil menyeringai. “Siapa tahu SoulMatch bisa nemuin jodoh yang sesuai sama algoritmamu.”

Awalnya aku ragu. Aplikasi kencan? Bukankah itu sarang orang-orang narsis dan pencari sensasi? Tapi Reno terus meyakinkanku, dan akhirnya aku mengalah. Aku membuat profil dengan jujur, mengisi semua data yang diminta, dan menunggu algoritma bekerja.

Hari-hari berlalu dengan notifikasi yang terus bermunculan. SoulMatch mencocokkanku dengan berbagai macam pria: seorang pengusaha startup yang ambisius, seorang seniman yang eksentrik, seorang dosen yang cerdas. Aku mencoba berkencan dengan beberapa dari mereka, tapi hasilnya selalu sama: canggung, hambar, dan tanpa koneksi yang berarti.

Algoritma SoulMatch mungkin pintar dalam mengidentifikasi kecocokan berdasarkan data, tapi ternyata data tidak bisa menangkap esensi dari sebuah hubungan. Data tidak bisa merasakan getaran hati, tawa spontan, atau pandangan mata yang saling mengerti.

Suatu malam, saat aku sedang frustrasi dengan hasil kencan terbaruku, Reno datang ke apartemenku. Dia membawakan pizza dan dua kaleng soda. Kami duduk di balkon, menikmati pemandangan kota yang berkilauan.

“Gimana, Nya? Udah nemu pangeran berkuda putih lewat SoulMatch?” tanya Reno sambil terkekeh.

Aku menggeleng. “Nggak ada yang cocok. Kayaknya algoritma itu salah hitung.”

Reno terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin kamu terlalu fokus sama algoritma, Nya. Kamu lupa kalau cinta itu nggak bisa diprogram.”

Aku menatapnya bingung.

“Coba deh perhatiin orang-orang di sekitarmu. Mungkin jodohmu ada di dekatmu, tapi kamu nggak sadar,” lanjut Reno sambil menatapku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.

Aku terkejut. Aku tidak pernah melihat Reno seperti ini sebelumnya. Tatapannya lembut, penuh perhatian, dan… penuh harapan.

Malam itu, aku mulai menyadari sesuatu yang selama ini luput dari perhatianku. Reno selalu ada untukku, dalam suka maupun duka. Dia selalu mendukungku, mendengarkanku, dan membuatku tertawa. Dia tahu semua kelebihan dan kekuranganku, dan dia tetap menerimaku apa adanya.

Mungkinkah… selama ini, aku terlalu sibuk mencari cinta di tempat yang salah? Mungkinkah algoritma hatiku selama ini salah membaca data?

Beberapa hari kemudian, aku menghapus aplikasi SoulMatch dari ponselku. Aku memutuskan untuk berhenti mencari cinta berdasarkan data dan algoritma. Aku ingin belajar merasakan, tanpa harus menganalisis.

Aku mengajak Reno makan malam. Aku ingin berterima kasih padanya atas semua yang telah dia lakukan untukku. Saat kami sedang makan, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Reno, apa kamu pernah… merasa lebih dari sekadar teman sama aku?”

Reno tersenyum. “Anya, aku udah lama nunggu kamu nanyain itu.”

Malam itu, hujan pixel berganti dengan hujan air mata. Air mata bahagia, air mata lega, air mata yang membersihkan semua keraguan dan ketakutan.

Aku menyadari bahwa cinta bukan tentang algoritma dan data. Cinta adalah tentang koneksi, kepercayaan, dan keberanian untuk membuka hati. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekurangannya.

Dan terkadang, cinta yang kita cari selama ini, ternyata sudah ada di dekat kita, hanya saja kita terlalu buta untuk melihatnya. Reno, sahabatku, ternyata adalah cinta sejatiku. Algoritma hatiku akhirnya menemukan jawabannya, bukan dari data, melainkan dari rasa.

Mungkin cinta memang tidak bisa diprogram, tapi cinta bisa ditemukan, dipelihara, dan dirayakan. Dan aku, Anya, si data scientist yang kaku, akhirnya menemukan kebahagiaan dalam pelukan cinta, bukan dalam baris-baris kode.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI