Layar laptop Clara memancarkan cahaya biru redup di kamarnya yang temaram. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Bukan kode untuk pekerjaan, melainkan kode cinta. Lebih tepatnya, kode untuk "CintaFinder AI", algoritma jodoh buatannya sendiri. Ironis memang, seorang programmer yang sehari-harinya berkutat dengan logika dan algoritma, justru berharap pada algoritma untuk menemukan cinta sejati.
Clara sudah lelah dengan kencan buta yang diatur teman-temannya. Lelah dengan aplikasi kencan daring yang dipenuhi profil palsu dan obrolan basa-basi. Ia yakin, cinta sejati bisa ditemukan melalui data, melalui pola, melalui algoritma yang tepat.
CintaFinder AI bekerja dengan cara mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang seseorang: riwayat pendidikan, minat, hobi, buku favorit, film yang disukai, bahkan playlist musik di Spotify. Data-data ini kemudian diolah dengan algoritma kompleks yang ia rancang sendiri, mencari kecocokan dengan database pengguna lainnya. Semakin tinggi skor kecocokan, semakin besar potensi untuk menjadi pasangan ideal.
Clara sudah menguji CintaFinder AI pada dirinya sendiri. Ia memasukkan seluruh datanya, membiarkan algoritma itu bekerja, dan hasilnya... nihil. Nol besar. Tak ada satupun yang cocok. Ia merasa seperti alien di planet ini, manusia aneh yang tak mungkin menemukan belahan jiwanya.
"Mungkin aku kurang spesifik," gumamnya, lalu mulai memodifikasi kode CintaFinder AI. Ia menambahkan parameter baru: preferensi terhadap kopi hitam tanpa gula, ketertarikan pada film-film klasik Hitchcock, dan kebencian terhadap orang yang suka mengunyah makanan dengan suara keras.
Setelah berjam-jam berkutat dengan kode, akhirnya CintaFinder AI menemukan satu nama: Adam. Skor kecocokannya sangat tinggi, mencapai 98%. Clara terkejut sekaligus tak percaya. Adam? Adam yang mana?
Adam adalah rekan kerjanya di perusahaan teknologi tempat ia bekerja. Ia adalah seorang desainer UI/UX yang selalu mengenakan kemeja flannel dan memiliki selera humor yang aneh. Clara selama ini tidak pernah menganggap Adam sebagai potensi pasangan. Mereka hanya rekan kerja biasa, sering bertukar ide dan berdebat tentang desain antarmuka.
Namun, CintaFinder AI tidak mungkin salah, bukan? Algoritma buatannya sendiri telah menemukan kecocokan yang sempurna. Rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Clara memutuskan untuk mencoba.
Ia mulai memperhatikan Adam lebih intens. Ia mengamati bagaimana Adam minum kopi hitam tanpa gula setiap pagi, bagaimana ia selalu memberikan komentar cerdas saat mereka menonton film klasik Hitchcock bersama tim, dan bagaimana ia selalu memasang ekspresi jijik saat mendengar suara orang mengunyah makanan dengan keras.
Semakin Clara memperhatikan Adam, semakin ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan dalam senyumnya, ada kecerdasan dalam tatapan matanya, dan ada kebaikan dalam setiap tindakannya. Ia mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini yang namanya cinta?
Clara memberanikan diri untuk mengajak Adam makan malam. Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang teknologi, tentang seni, tentang mimpi-mimpi mereka. Clara merasa nyaman dan bahagia berada di dekat Adam. Ia merasa seperti telah menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya.
Setelah beberapa kali kencan, Adam menyatakan perasaannya pada Clara. Clara tersenyum bahagia dan membalasnya. Mereka resmi berpacaran.
Awalnya, hubungan mereka berjalan lancar. Mereka saling mendukung, saling menginspirasi, dan saling mencintai. Clara merasa CintaFinder AI telah berhasil membantunya menemukan cinta sejatinya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Clara mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Adam seolah-olah terlalu sempurna. Ia selalu berusaha untuk memenuhi semua ekspektasi Clara, ia selalu setuju dengan pendapat Clara, dan ia selalu melakukan apa pun yang membuat Clara bahagia.
Clara merasa seperti sedang berkencan dengan sebuah replika, bukan dengan manusia yang sebenarnya. Ia merindukan spontanitas, ia merindukan perbedaan pendapat, ia merindukan tantangan. Ia merasa Adam telah kehilangan jati dirinya demi memenuhi algoritma CintaFinder AI.
Suatu malam, mereka bertengkar hebat. Clara menuduh Adam tidak menjadi dirinya sendiri, sedangkan Adam menuduh Clara terlalu terpaku pada algoritma.
"Aku hanya ingin membuatmu bahagia," kata Adam dengan nada putus asa. "Aku hanya ingin menjadi orang yang kamu inginkan."
"Tapi aku tidak menginginkan orang yang sempurna," balas Clara dengan air mata berlinang. "Aku menginginkan orang yang nyata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya."
Pertengkaran itu berakhir dengan perpisahan. Clara merasa hancur. Ia telah kehilangan cintanya, dan yang lebih menyakitkan, ia telah kehilangan kepercayaan pada algoritma jodoh buatannya sendiri.
Clara kembali ke kamarnya yang temaram. Ia menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. CintaFinder AI, algoritma yang seharusnya membantunya menemukan cinta, justru menjadi penyebab luka hatinya.
Ia membuka kembali kode CintaFinder AI. Ia melihat baris demi baris kode yang telah ia tulis dengan penuh harapan. Ia menyadari, algoritma hanyalah sebuah alat. Algoritma tidak bisa menggantikan perasaan manusia, tidak bisa meramalkan kompleksitas cinta, dan tidak bisa menjamin kebahagiaan.
Cinta bukan tentang data, bukan tentang pola, dan bukan tentang algoritma. Cinta adalah tentang koneksi manusia, tentang kejujuran, tentang penerimaan, dan tentang kesediaan untuk mencintai seseorang apa adanya.
Clara menghapus seluruh kode CintaFinder AI. Ia memutuskan untuk berhenti mencari cinta melalui algoritma. Ia akan membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru, untuk orang-orang yang nyata, dan untuk cinta yang tulus.
Ia tahu, menemukan cinta sejati mungkin membutuhkan waktu yang lama. Mungkin ia akan mengalami patah hati lagi. Tapi ia yakin, suatu saat nanti, ia akan menemukan seseorang yang mencintainya apa adanya, bukan karena algoritma, melainkan karena dirinya sendiri. Karena luka hati di ujung kode telah mengajarkannya bahwa cinta tidak bisa diukur, dianalisis, atau diprediksi. Cinta hanya bisa dirasakan.