Bunyi notifikasi aplikasi kencan Cinta40 berdering nyaring di tengah rapat tim. Maya, seorang lead programmer di perusahaan startup teknologi, tersipu malu. Semua mata tertuju padanya. Dengan kikuk, ia mematikan suara ponselnya.
“Maaf, teman-teman. Lanjut saja,” ucapnya seraya berusaha menutupi pipinya yang memerah. Fokusnya buyar sudah. Pikirannya melayang ke aplikasi kencan yang baru seminggu diunduhnya atas desakan sahabatnya, Rina.
Maya, di usianya yang menginjak kepala empat, merasa terlalu sibuk dengan pekerjaan. Cinta, baginya, hanyalah deretan kode yang rumit dan belum berhasil ia pecahkan. Algoritma kencan daring? Mungkin itu satu-satunya cara.
Setelah rapat usai, Maya membuka aplikasi itu dengan rasa penasaran bercampur was-was. Beberapa profil muncul, lengkap dengan foto, deskripsi diri, dan hobi. Ia menggeser satu per satu. Ada yang terlalu muda, ada yang terlalu serius, ada pula yang terlalu… narsis.
Hingga akhirnya, matanya terpaku pada satu profil. Foto seorang pria dengan senyum teduh, rambut sedikit beruban, dan mata yang memancarkan kehangatan. Namanya, Arya. Deskripsinya sederhana: “Penyuka kopi, penikmat senja, dan percaya pada kekuatan koneksi yang tulus.”
Maya ragu. Ia bukan tipe orang yang mudah terpikat. Tapi ada sesuatu dalam profil Arya yang menariknya. Mungkin karena kesederhanaannya. Mungkin karena ia juga penyuka kopi dan penikmat senja. Mungkin juga karena ia diam-diam merindukan koneksi yang tulus.
Dengan jantung berdebar, Maya menekan tombol “Suka”. Notifikasi “It’s a Match!” langsung muncul di layar. Arya juga menyukainya.
Percakapan mereka dimulai dengan basa-basi ringan. Tentang kopi, tentang senja, tentang pekerjaan. Maya terkejut menemukan betapa mudahnya ia berbicara dengan Arya. Ia menceritakan tentang pekerjaannya sebagai programmer, tentang algoritma yang setiap hari ia susun, tentang mimpinya menciptakan aplikasi yang bermanfaat bagi banyak orang.
Arya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak menghakimi, tidak pula menggurui. Ia justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Maya berpikir lebih dalam.
“Menurutmu, apa persamaan antara kode program dan hubungan manusia?” tanya Arya suatu malam.
Maya terdiam. Ia belum pernah memikirkannya dari sudut pandang itu. “Mungkin… keduanya butuh struktur yang jelas? Keduanya butuh komunikasi yang baik? Dan keduanya butuh debugging untuk memperbaiki kesalahan?” jawabnya ragu.
Arya tertawa kecil. “Tepat sekali. Tapi ada satu hal lagi yang menurutku penting: empati. Kode program yang baik adalah kode yang responsif terhadap kebutuhan penggunanya. Begitu pula dalam hubungan, kita harus responsif terhadap kebutuhan pasangan kita.”
Percakapan itu membuat Maya terkesan. Ia merasa Arya bukan hanya sekadar pria yang menarik, tapi juga pria yang cerdas dan bijaksana.
Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu. Maya merasa gugup luar biasa. Ia mengenakan gaun kesayangannya, yang sudah lama tersimpan di lemari. Ia ingin tampil sempurna di depan Arya.
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman. Arya sudah menunggu di sana, dengan senyum yang sama seperti di fotonya. Maya merasa jantungnya berdebar kencang.
Pertemuan itu berjalan lancar. Mereka berbicara tentang banyak hal. Tentang masa lalu, tentang masa kini, tentang harapan untuk masa depan. Maya merasa seperti mengenal Arya seumur hidupnya.
Namun, di tengah obrolan mereka, Arya tiba-tiba mengeluarkan sebuah pengakuan. “Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu,” ujarnya dengan nada serius. “Aku… aku yang merancang algoritma untuk aplikasi Cinta40.”
Maya terkejut. “Kamu? Tapi… kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal?”
Arya menghela napas. “Aku ingin tahu, apakah kamu menyukaiku karena aku adalah aku, atau karena algoritma yang aku ciptakan? Aku ingin tahu, apakah koneksi kita ini tulus atau hanya hasil dari perhitungan matematika?”
Maya terdiam. Ia merasa bingung dan kecewa. Apakah perasaannya selama ini palsu? Apakah ia hanya korban dari algoritma cinta?
Ia menatap mata Arya. Di sana, ia melihat kejujuran dan ketulusan. Ia melihat seorang pria yang mencari cinta sejati, sama seperti dirinya.
Maya tersenyum. “Arya,” ujarnya lembut. “Aku menyukaimu bukan karena algoritma yang kamu ciptakan. Aku menyukaimu karena kamu adalah kamu. Karena senyummu, karena kecerdasanmu, karena kebaikan hatimu.”
Arya tersenyum lega. Ia meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat. “Aku juga menyukaimu, Maya. Bukan karena algoritma yang membawamu padaku. Tapi karena kamu adalah wanita yang luar biasa.”
Malam itu, Maya menyadari bahwa cinta memang rumit. Seperti kode program yang penuh dengan baris-baris tak terduga. Tapi di balik kerumitan itu, ada keindahan yang tersembunyi. Ada koneksi yang tulus. Ada algoritma yang tak bisa dijelaskan dengan logika semata.
Dan malam itu, di kedai kopi kecil yang nyaman, Maya menemukan cinta. Cinta 40: Algoritma di balik debar jantungnya, akhirnya menemukan bug yang paling indah. Sebuah bug bernama kebahagiaan.