Kilatan layar laptop memenuhi ruangan apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, kode-kode rumit bermunculan bagai sulaman digital. Anya adalah seorang ethical hacker, seorang peretas baik hati. Pekerjaannya menguji sistem keamanan perusahaan, mencari celah sebelum dieksploitasi pihak jahat. Namun, malam ini, pikirannya bukan pada sistem perusahaan. Pikirannya tertuju pada satu nama: Rian.
Rian, lead programmer di perusahaan yang sama. Otaknya brilian, jarinya lincah menciptakan baris-baris kode yang elegan dan efisien. Anya selalu terpukau dengan kemampuannya. Lebih dari itu, ia terpukau dengan senyumnya, dengan caranya memandang Anya saat mereka berdiskusi tentang algoritma dan keamanan siber. Anya jatuh cinta. Jatuh cinta pada kecerdasan, pada semangat, dan pada sedikit sentuhan canggung di bahunya saat Rian menjelaskan sesuatu.
Namun, cinta Anya terpendam dalam kode-kode logika. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya. Terlalu takut penolakan akan merusak persahabatan mereka, lingkungan kerja mereka. Ia lebih memilih menyembunyikan perasaannya di balik firewall profesionalisme.
Semuanya berubah ketika sebuah insiden terjadi. Perusahaan mereka diretas. Data-data sensitif bocor ke publik. Kepanikan melanda. Dewan direksi menunjuk tim investigasi internal, dan Rian didaulat sebagai ketua. Anya, dengan kemampuannya, otomatis menjadi anggota tim.
Selama investigasi, Anya melihat Rian berubah. Senyumnya hilang, digantikan kerutan dahi yang dalam. Matanya, yang biasanya berbinar dengan ide-ide cemerlang, kini sayu dan penuh keraguan. Tekanan dari dewan direksi begitu besar. Kecurigaan mulai diarahkan padanya. Ada bisik-bisik tentang insider job. Anya tahu Rian tidak bersalah, tapi bukti-bukti seolah menunjuk padanya.
Suatu malam, Anya memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tahu, untuk membuktikan Rian tidak bersalah, ia harus melakukan sesuatu yang berisiko. Ia meretas server perusahaan, bukan untuk mencuri data, melainkan untuk mencari jejak peretas sebenarnya.
"Apa yang kamu lakukan, Anya?" suara Rian mengejutkannya. Ia berdiri di ambang pintu apartemen Anya, wajahnya penuh kekhawatiran.
Anya terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Ia tidak bisa memberitahu Rian bahwa ia meretas sistem perusahaan demi membuktikan dia tidak bersalah. Itu melanggar semua kode etik yang ia pegang teguh.
"Aku… aku hanya mencoba membantu," jawab Anya gugup.
"Membantu dengan meretas sistem? Apakah kamu tahu konsekuensinya?" Rian mendekat, suaranya meninggi. "Anya, ini bisa membuatmu dipecat, bahkan dipenjara!"
Anya menunduk. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa diam saja melihatmu dituduh. Aku tahu kamu tidak bersalah, Rian. Aku tahu."
Rian terdiam. Ia menatap Anya lekat-lekat, seolah mencoba membaca pikirannya. Kemudian, ia menghela napas panjang. "Kenapa kamu melakukan ini?"
Anya mengangkat wajahnya, menatap mata Rian. Saat itulah, semua perasaan yang selama ini ia pendam akhirnya tumpah. "Karena… karena aku peduli padamu, Rian. Aku… aku menyukaimu."
Rian terkejut. Ia tidak menyangka Anya akan mengungkapkan perasaannya. Ia selalu menganggap Anya sebagai teman, rekan kerja yang brilian. Tapi sekarang, ia melihat ada sesuatu yang lebih dalam di mata Anya. Sesuatu yang tulus dan penuh kasih.
"Anya…" Rian mendekat, meraih tangan Anya. "Aku juga… aku juga merasa ada sesuatu yang istimewa antara kita. Tapi dengan semua yang terjadi…"
"Aku tahu," sela Anya. "Ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu menanggung semua ini sendirian."
Bersama-sama, mereka menganalisis data yang Anya temukan. Ternyata, peretasan dilakukan oleh mantan karyawan yang dendam karena dipecat. Ia menggunakan celah keamanan yang belum ditambal untuk menyusup ke sistem. Bukti-bukti yang Anya kumpulkan sangat kuat. Rian segera melaporkannya kepada dewan direksi.
Rian dinyatakan tidak bersalah. Nama baiknya dipulihkan. Perusahaan mengambil langkah-langkah untuk memperketat sistem keamanan. Anya selamat dari hukuman berat, namun ia tetap mendapat sanksi disiplin karena melanggar kode etik.
Beberapa minggu kemudian, Anya duduk di sebuah kafe, menyesap kopi pahitnya. Ia merasa lega karena Rian terbukti tidak bersalah, tapi ia juga merasa hancur karena cintanya mungkin tidak akan pernah terbalas.
Tiba-tiba, Rian muncul di hadapannya. Ia tersenyum, senyum yang lama tidak dilihat Anya.
"Boleh aku duduk?" tanya Rian.
Anya mengangguk.
"Terima kasih, Anya," kata Rian. "Terima kasih atas segalanya. Karena kamu, aku bisa membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Karena kamu, aku tahu ada seseorang yang percaya padaku."
"Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar," jawab Anya.
"Dan karena kamu…" Rian meraih tangan Anya, menggenggamnya erat. "Aku menyadari bahwa perasaan ini bukan hanya sepihak. Aku juga menyukaimu, Anya. Aku takut untuk mengakuinya karena situasi pekerjaan kita. Tapi sekarang…"
Anya menatap Rian, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.
"Anya," lanjut Rian. "Maukah kamu memberiku kesempatan? Kesempatan untuk membuktikan bahwa cinta kita bisa lebih kuat dari kode-kode yang kita tulis? Kesempatan untuk menginstal ulang hatiku yang retak?"
Anya tersenyum. "Ya, Rian. Aku mau."
Di ujung kode, hati yang retas akhirnya menemukan cara untuk diinstal ulang. Cinta, seperti program yang kompleks, membutuhkan keberanian, pengorbanan, dan kepercayaan untuk berjalan dengan lancar. Dan bagi Anya dan Rian, cinta mereka baru saja dimulai.