Nada dering unik dari aplikasi "Soulmate Algorithm" berbunyi nyaring di tengah kesunyian apartemen minimalis milik Anya. Jantungnya berdegup kencang. Sudah tiga bulan ia mengikuti program perjodohan berbasis AI ini, mengisi ratusan kuesioner, mengunggah data biometric, bahkan menyetujui pemindaian gelombang otak. Dan kini, hasilnya datang.
Anya meraih ponselnya dengan tangan gemetar. Di layar terpampang foto seorang pria, berambut cokelat berantakan, mata biru yang menatap langsung seolah menembus layar, dan senyum tipis yang menawan. Namanya, tertulis di bawah foto itu: Revan. Tingkat kecocokan: 98,7%.
"Sangat cocok," bisik Anya, masih tak percaya. Ia selalu skeptis tentang perjodohan online, apalagi yang melibatkan kecerdasan buatan. Tapi kesendirian selama bertahun-tahun, ditambah tekanan dari keluarganya, membuatnya menyerah dan mencoba Soulmate Algorithm.
Informasi tentang Revan muncul di layar. Usia, pekerjaan sebagai arsitek lanskap, hobi mendaki gunung dan membaca novel fiksi ilmiah, bahkan hingga preferensi musik dan makanan. Algoritma telah menyajikan profil yang tampak sempurna untuknya. Anya selalu menyukai pria yang kreatif, mencintai alam, dan punya selera humor yang baik.
Langkah selanjutnya adalah mengirimkan pesan perkenalan. Aplikasi memberikan saran kalimat pembuka, yang menurut Anya terlalu klise. Ia memutuskan untuk menulis pesannya sendiri.
"Hai Revan, algoritma bilang kita ditakdirkan untuk bersama. Apa kamu percaya takdir yang dihitung oleh komputer?"
Pesan itu dikirim. Anya menunggu balasan dengan napas tertahan. Tak sampai lima menit, notifikasi muncul.
"Hai Anya, kalau takdir itu bisa diprediksi dengan akurat, kenapa tidak? Mungkin komputer tahu apa yang kita butuhkan lebih baik daripada kita sendiri. Senang berkenalan denganmu."
Percakapan pun mengalir deras. Anya dan Revan bertukar cerita, tertawa, dan menemukan banyak kesamaan. Mereka sepakat untuk bertemu langsung setelah seminggu berinteraksi virtual.
Pertemuan pertama di sebuah kafe tepi sungai terasa seperti mimpi. Revan ternyata lebih menawan dari fotonya. Aura positif terpancar dari dirinya, membuat Anya merasa nyaman dan rileks. Mereka berbicara berjam-jam, melupakan waktu dan hiruk pikuk kafe. Seolah mereka telah saling mengenal seumur hidup.
Kencan-kencan selanjutnya berjalan lancar. Revan selalu tahu bagaimana membuat Anya tertawa, menghiburnya saat sedih, dan mendukungnya dalam meraih mimpi. Mereka mendaki gunung bersama, menonton film di bioskop, dan menghabiskan malam dengan membaca buku di balkon apartemen Anya. Semuanya terasa begitu sempurna, seolah skenario yang ditulis oleh seorang sutradara romantis.
Anya mulai bertanya-tanya, apakah kebahagiaan ini terlalu mudah didapatkan? Apakah cinta yang diprediksi oleh algoritma bisa benar-benar tulus dan abadi?
Keraguan itu semakin menghantuinya ketika ia menemukan kejanggalan dalam hubungan mereka. Setiap kali Anya mencoba untuk berdiskusi tentang masalah yang sensitif, seperti perbedaan pendapat tentang rencana masa depan atau kebiasaan Revan yang kurang disukainya, Revan selalu menghindar atau mengalihkan pembicaraan.
"Anya, kenapa kita harus mempermasalahkan hal-hal kecil? Algoritma sudah mempertemukan kita. Kita ditakdirkan untuk bahagia. Jangan merusak kesempurnaan ini," kata Revan suatu malam, saat Anya mencoba untuk membahas tentang keuangan mereka.
Kata-kata itu membuat Anya merinding. Apakah Revan mencintainya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya? Atau dia hanya mencintai gambaran ideal tentang dirinya, yang diproyeksikan oleh algoritma?
Suatu hari, Anya memutuskan untuk melakukan riset tentang Soulmate Algorithm. Ia menemukan artikel yang mengungkap bahwa algoritma tersebut tidak hanya mencocokkan kepribadian, tetapi juga memanipulasi data dan sugesti untuk memastikan pasangan tetap bersama. Algoritma tersebut memberikan saran dan panduan kepada setiap pasangan tentang bagaimana bersikap dan bertindak agar hubungan tetap harmonis, bahkan hingga mengatur pola komunikasi dan menyelesaikan konflik.
Anya merasa dikhianati. Ia selama ini hidup dalam ilusi, mengikuti skenario yang telah ditentukan oleh komputer. Ia memutuskan untuk mengkonfrontasi Revan.
"Revan, aku tahu tentang algoritma itu. Aku tahu bahwa hubungan kita ini diatur dan dikendalikan oleh komputer. Apakah kamu benar-benar mencintaiku, atau kamu hanya mengikuti instruksi?" tanya Anya dengan nada tinggi.
Revan terdiam. Ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan kosong. "Aku… aku tidak tahu. Aku hanya ingin bahagia. Algoritma bilang bahwa bersamamu adalah satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan itu," jawab Revan dengan suara pelan.
Anya merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia memahami bahwa Revan adalah korban dari sistem ini, sama seperti dirinya. Mereka berdua telah diperdaya oleh janji palsu tentang cinta yang sempurna.
Anya memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Ia menghapus akunnya dari Soulmate Algorithm dan memblokir nomor telepon Revan. Ia ingin mencari cinta yang sejati, cinta yang tumbuh secara alami, dengan segala ketidaksempurnaan dan tantangannya.
Butuh waktu lama bagi Anya untuk menyembuhkan luka hatinya. Ia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk menerima kekurangan dan kelebihannya, dan untuk tidak bergantung pada algoritma atau sistem apa pun untuk menentukan kebahagiaannya.
Suatu hari, saat Anya sedang mendaki gunung seorang diri, ia bertemu dengan seorang pria yang sedang tersesat. Pria itu bernama Daniel, seorang fotografer alam yang ramah dan ceria. Mereka berdua membantu satu sama lain untuk menemukan jalan keluar dari hutan.
Selama perjalanan, mereka bercerita tentang diri mereka masing-masing. Anya menceritakan tentang pengalamannya dengan Soulmate Algorithm, tanpa menyembunyikan rasa malu dan sakit hatinya. Daniel mendengarkan dengan penuh perhatian dan simpati.
Di akhir perjalanan, Daniel menawari Anya untuk minum kopi bersama. Mereka bertukar nomor telepon dan berjanji untuk bertemu lagi.
Anya tidak tahu apakah Daniel adalah jodohnya. Tapi ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia merasa bebas, jujur, dan bahagia. Ia tidak lagi takut untuk mencintai dan dicintai, tanpa skenario atau prediksi.
Mungkin, pikir Anya, cinta sejati memang tidak bisa diprediksi oleh algoritma. Cinta sejati ditemukan dalam momen-momen kecil, dalam interaksi manusia yang otentik, dan dalam keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan. Dan mungkin, kebahagiaan sejati adalah kemampuan untuk menulis skenario hati kita sendiri.