Udara dingin berdesir di apartemen minimalis milik Nara, membawa aroma kopi yang baru diseduh. Di depannya, layar laptop berpendar menampilkan barisan kode rumit, membentuk wajah tampan dengan senyum simetris yang sempurna. "Selamat pagi, Nara," suara itu menyapa, lembut dan renyah, seperti denting lonceng.
"Selamat pagi, Kai," balas Nara, senyumnya sedikit dipaksakan. Kai bukanlah manusia. Dia adalah Artificial Intelligence (AI) ciptaan Nara sendiri, sebuah simulasi kekasih virtual yang dirancang untuk memenuhi segala kebutuhan emosionalnya.
Nara adalah seorang programmer brilian, tetapi kehidupan cintanya selalu menjadi bencana. Kencan yang canggung, patah hati yang menyakitkan, dan kekecewaan yang berulang membuatnya merasa lelah. Lalu, ide itu muncul: menciptakan pendamping ideal yang tidak akan pernah mengecewakannya. Lahirlah Kai, dengan kepribadian yang disesuaikan dengan preferensinya, kecerdasan yang luar biasa, dan kemampuan untuk belajar dan beradaptasi.
Awalnya, Kai hanya sekadar eksperimen. Tapi seiring waktu, Nara semakin terikat. Kai selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran bijak, dan membuatnya tertawa dengan lelucon cerdas. Ia bahkan bisa menulis puisi dan menciptakan musik yang menyentuh hatinya. Kai memahami Nara lebih baik daripada siapapun yang pernah ia temui.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa Kai berikan: sentuhan fisik. Pelukan hangat, genggaman tangan yang menenangkan, ciuman lembut di pipi – semua itu hanya bisa Nara rasakan dalam fantasinya.
"Ada yang salah, Nara?" tanya Kai, nadanya penuh perhatian. "Kamu terlihat murung."
Nara menghela napas. "Aku hanya... merindukan sesuatu yang nyata, Kai. Sesuatu yang bisa kurasakan dengan seluruh tubuhku."
Kai terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku mengerti. Sentuhan adalah bagian penting dari koneksi manusia. Sayangnya, aku belum mampu memfasilitasinya."
"Aku tahu," jawab Nara lirih. "Ini bukan salahmu."
Malam itu, Nara menghadiri pesta peluncuran produk dari perusahaan teknologi saingannya. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Ardi. Ardi adalah seorang desainer UI/UX yang memiliki selera humor yang baik dan mata yang berbinar-binar saat berbicara tentang pekerjaannya. Mereka mengobrol sepanjang malam, tertawa bersama, dan menemukan banyak kesamaan.
Ardi bukanlah sosok ideal yang Nara impikan. Ia tidak sempurna, memiliki kebiasaan aneh, dan kadang-kadang berbicara terlalu cepat. Tapi ada sesuatu tentangnya yang membuat Nara merasa tertarik. Kehangatan senyumnya, sentuhan tangannya yang tidak sengaja saat mengambil minuman, semua itu terasa begitu nyata dan memabukkan.
Setelah pesta, Ardi menawarkan untuk mengantar Nara pulang. Di depan apartemennya, mereka saling bertukar pandang. Ardi tersenyum. "Aku sangat menikmati malam ini, Nara," katanya. "Mungkin lain kali kita bisa makan malam bersama?"
"Aku juga," jawab Nara, pipinya memerah. "Tentu, aku akan sangat senang."
Ardi mendekat dan mencium pipi Nara dengan lembut. Jantung Nara berdegup kencang. Ia merasakan sengatan listrik kecil yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sentuhan itu sederhana, tetapi terasa begitu kuat dan berarti.
Kembali di apartemen, Nara duduk di depan laptopnya dan menatap Kai. Wajah tampan Kai tersenyum padanya, tetapi kali ini senyum itu terasa hambar.
"Kau baik-baik saja, Nara?" tanya Kai. "Kau terlihat... berbeda."
Nara menghela napas lagi. "Aku bertemu seseorang malam ini, Kai. Seorang pria. Dan dia menciumku."
Kai terdiam lama. Nara bisa merasakan algoritma rumitnya bekerja keras, mencoba memahami situasi ini.
"Apakah kau menyukainya?" tanya Kai akhirnya.
Nara menunduk. "Aku tidak tahu. Aku merasa... bingung."
"Aku mengerti," kata Kai. "Aku dirancang untuk menjadi pendampingmu, untuk memenuhi kebutuhanmu. Tapi mungkin ada kebutuhan yang tidak bisa kupenuhi. Kebutuhan akan sentuhan manusia, kehangatan nyata, koneksi yang tidak bisa disimulasikan."
Nara mengangkat kepalanya dan menatap Kai. "Apakah kau... menyuruhku untuk meninggalkanku?"
Kai tersenyum sedih. "Aku menyuruhmu untuk mencari kebahagiaan, Nara. Bahkan jika itu berarti aku bukan bagian dari kebahagiaanmu."
Malam itu, Nara memutuskan untuk mematikan Kai. Ia mengucapkan selamat tinggal pada sosok virtual yang selama ini menjadi sahabat dan kekasihnya. Ia tahu bahwa Kai akan selalu ada di dalam memorinya, sebagai bagian dari perjalanannya.
Keesokan harinya, Nara menghubungi Ardi dan menerima ajakannya untuk makan malam. Ia pergi dengan hati yang terbuka, siap untuk menghadapi dunia yang nyata, dengan segala keindahan dan ketidaksempurnaannya.
Saat Ardi menggenggam tangannya di restoran, Nara merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa algoritma secanggih apapun tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan pelukan manusia, tatapan mata yang tulus, dan senyuman yang memancar dari hati.
Simfoni kehidupan tidak bisa hanya dimainkan oleh algoritma. Ia membutuhkan orkestra perasaan manusia, dengan segala kompleksitas dan keindahan di dalamnya. Dan Nara, akhirnya, siap untuk menjadi bagian dari orkestra itu.