Cinta di Era AI: Algoritma Membisik, Hati Memilih

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:25:18 wib
Dibaca: 157 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Arya. Di balkon, layar holografis menayangkan simulasi matahari terbenam di Santorini. Arya, dengan rambut sedikit berantakan dan mata yang lelah namun berbinar, menyesap kopinya. Di depannya, kode program berbaris rapi di layar sentuh. Ia sedang menyempurnakan “SoulMate AI”, algoritma pencari pasangan berbasis kecerdasan buatan yang ia rancang sendiri.

Arya percaya bahwa cinta sejati itu ada, hanya saja menemukannya di era digital ini bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Aplikasi kencan dipenuhi profil palsu dan interaksi dangkal. SoulMate AI dirancang untuk melampaui itu. Algoritma ini menganalisis riwayat data digital seseorang – preferensi buku, film, musik, bahkan pola tidur dan pilihan makanan – untuk menemukan kecocokan yang mendalam dan otentik.

Setelah berbulan-bulan pengujian, SoulMate AI siap diluncurkan. Arya sendiri, seorang programmer yang lebih akrab dengan baris kode daripada rayuan, memutuskan untuk menjadi pengguna pertama. Ia memasukkan datanya, dengan sedikit gugup. Algoritma itu mulai bekerja, memindai jaringan data global.

Beberapa menit kemudian, notifikasi berdering. Satu profil muncul: Luna.

Luna, seorang arsitek lanskap dengan senyum yang menenangkan dan mata yang seolah menyimpan seluruh alam semesta. Profilnya penuh dengan foto taman-taman indah yang ia rancang, kutipan puisi klasik, dan daftar lagu indie-folk yang membuat Arya terkejut – itu adalah playlist favoritnya, yang ia pikir hanya ia sendiri yang tahu.

Algoritma itu menulis, “Kecocokan: 97,8%. Kemungkinan besar untuk menjalin hubungan jangka panjang yang harmonis dan saling mendukung.”

Arya tertegun. Angka itu nyaris sempurna. Tapi, bisikan algoritma membuatnya merasa aneh. Apakah cinta bisa diukur dengan persentase? Apakah perasaan bisa diprediksi oleh kode?

Meskipun ragu, rasa penasaran mendorongnya untuk menghubungi Luna. Mereka mulai bertukar pesan, lalu video call. Luna ternyata sangat menyenangkan, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengan Arya. Mereka membahas buku-buku favorit mereka, mimpi-mimpi mereka, dan ketakutan-ketakutan mereka. Semakin mereka berbicara, semakin Arya merasa terhubung dengannya.

Setelah beberapa minggu, Arya mengajak Luna berkencan. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dengan dekorasi industrial dan aroma kopi yang kuat. Luna mengenakan gaun berwarna hijau lumut yang membuatnya tampak seperti peri dari hutan. Arya merasa jantungnya berdebar kencang.

Malam itu, mereka berbicara selama berjam-jam. Arya menceritakan tentang SoulMate AI, kegelisahannya, dan harapannya. Luna mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyela dengan pertanyaan cerdas.

"Jadi, aku adalah hasil dari algoritma?" tanya Luna, sambil tersenyum.

"Bukan hanya itu," jawab Arya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Algoritma itu hanya membantuku menemukanmu. Sisanya adalah kita. Pilihan kita."

Luna mengangguk. "Aku mengerti. Tapi, aku percaya bahwa cinta itu lebih dari sekadar data dan kecocokan. Itu tentang keberanian untuk membuka diri, untuk rentan, dan untuk menerima orang lain apa adanya."

Kata-kata Luna membuat Arya berpikir. Ia telah begitu fokus pada algoritma dan kecocokan sehingga ia hampir lupa tentang esensi cinta itu sendiri.

Beberapa bulan berlalu. Arya dan Luna semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama, mendaki gunung, dan bahkan mulai merencanakan liburan bersama. Arya belajar bahwa cinta bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang menerima ketidaksempurnaan masing-masing. Ia belajar bahwa cinta bukan tentang memprediksi masa depan, tetapi tentang membangun masa depan bersama.

Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Arya, menyaksikan simulasi aurora borealis, Luna berkata, "Arya, aku mencintaimu."

Arya memeluknya erat. "Aku juga mencintaimu, Luna."

Namun, di balik kebahagiaan itu, Arya masih merasa sedikit gelisah. Apakah cinta mereka benar-benar nyata, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma? Apakah ia akan tetap mencintai Luna jika SoulMate AI mengatakan sebaliknya?

Ia memutuskan untuk menguji algoritma itu sekali lagi. Ia memasukkan data Luna, kali ini dengan sedikit perubahan. Ia menambahkan beberapa ketidaksempurnaan kecil, beberapa kebiasaan aneh yang mungkin dianggap "tidak cocok".

Algoritma itu bekerja selama beberapa menit. Hasilnya muncul: "Kecocokan: 82,5%. Kemungkinan untuk menjalin hubungan jangka panjang yang harmonis dan saling mendukung: Cukup Tinggi."

Angka itu jauh lebih rendah dari sebelumnya. Tapi, Arya tidak merasakan apa-apa. Ia tidak merasakan kekecewaan, ketakutan, atau keraguan. Ia hanya merasa lega.

Ia menyadari bahwa algoritma itu tidak penting. Yang penting adalah perasaannya terhadap Luna. Yang penting adalah hubungan yang mereka bangun bersama, kepercayaan yang mereka bagikan, dan cinta yang mereka rasakan.

Ia menghapus SoulMate AI dari servernya. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk membisikkan apa yang hatinya sudah tahu.

Ia mencium Luna. Di bawah cahaya aurora buatan, ia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diukur dengan angka atau diprediksi oleh kode. Cinta sejati adalah pilihan. Pilihan untuk mencintai, untuk menerima, dan untuk selalu memilih satu sama lain, tidak peduli apa yang dikatakan algoritma. Di era AI ini, hati tetaplah pemegang kendali terakhir. Algoritma boleh membisik, tapi hati yang memilih.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI