Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang hanya bisa dipahami oleh sebagian kecil manusia di dunia ini. Cahaya monitor memantul di kacamata berbingkai tebalnya, menerangi wajah yang tampak serius sekaligus lelah. Leo, seorang peretas etis berusia 27 tahun, lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada dengan manusia sungguhan. Baginya, manusia terlalu kompleks, terlalu penuh drama, dan terlalu sulit diprediksi. Kode, sebaliknya, selalu jujur.
Malam itu, Leo sedang menguji keamanan sistem sebuah perusahaan teknologi besar. Rutinitas yang ia nikmati, hingga sebuah pesan notifikasi muncul di sudut kanan bawah layar. Pesan itu bukan dari sistem, melainkan dari sebuah aplikasi kencan online yang jarang ia buka. Ia nyaris mengabaikannya, namun rasa penasaran mengalahkan rasa malas.
Nama pengirimnya: Iris. Profilnya sederhana, hanya ada beberapa foto dirinya yang sedang mendaki gunung dan membaca buku di kafe. Deskripsinya pun singkat: "Mencari teman bicara yang jujur dan suka kopi pahit."
Leo tertawa kecil. Jujur? Itu ironis. Pekerjaannya menuntutnya menyembunyikan identitas, membobol sistem, berpura-pura menjadi orang lain. Namun, entah mengapa, ada sesuatu dalam profil Iris yang membuatnya tertarik. Mungkin karena kesederhanaannya, atau mungkin karena ia sudah terlalu lama hidup dalam dunia digital yang penuh kepalsuan.
Dengan ragu, ia membalas pesan Iris. Obrolan mereka dimulai dengan canggung, membahas hal-hal ringan seperti cuaca dan jenis kopi favorit. Namun, seiring berjalannya waktu, obrolan itu menjadi lebih dalam. Mereka berbagi cerita tentang mimpi, ketakutan, dan pengalaman hidup. Leo, yang biasanya tertutup, mulai membuka diri pada Iris. Ia menceritakan tentang kecintaannya pada kode, tentang kegelisahannya terhadap keamanan digital, bahkan tentang kesepian yang sering ia rasakan di balik layar komputernya.
Iris adalah pendengar yang baik. Ia tidak menghakimi, tidak menyela, dan selalu memberikan tanggapan yang bijaksana dan penuh empati. Leo merasa dihargai, dipahami, dan yang paling penting, ia merasa dirinya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Leo gugup bukan main. Ia khawatir Iris akan kecewa melihatnya di dunia nyata. Ia khawatir ia tidak akan mampu bersikap se-menarik dan se-terbuka seperti saat mereka mengobrol online.
Saat ia melihat Iris di kafe yang telah mereka sepakati, semua kekhawatiran itu langsung menguap. Iris sama seperti yang ia bayangkan. Wajahnya cerah, matanya berbinar, dan senyumnya tulus. Mereka menghabiskan sore itu berbicara tanpa henti, seolah-olah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
Sejak saat itu, Leo dan Iris mulai berkencan secara rutin. Leo menemukan sisi lain dalam dirinya. Ia mulai menikmati kegiatan di luar ruangan, belajar memasak, dan bahkan mencoba menari salsa. Iris membawanya keluar dari zona nyamannya, membantunya melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Namun, hubungan mereka tidaklah tanpa tantangan. Pekerjaan Leo yang rahasia dan penuh risiko seringkali membuat Iris khawatir. Ia tidak bisa menceritakan detail pekerjaannya, sehingga Iris merasa tidak sepenuhnya mengenalnya. Kerahasiaan itu menjadi tembok yang membatasi hubungan mereka.
Suatu malam, setelah Leo pulang dari pekerjaan yang sangat berat, Iris menunggunya di apartemennya. Wajahnya tampak serius. "Leo," katanya, "aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, tidak tahu apa yang kamu lakukan, tidak tahu apakah kamu baik-baik saja."
Leo terdiam. Ia tahu Iris benar. Ia telah menyembunyikan terlalu banyak darinya. Ia telah membangun firewall di sekitar hatinya, melindunginya dari rasa sakit dan kerentanan. Tapi firewall itu juga telah menghalangi Iris untuk masuk sepenuhnya.
"Aku tahu," kata Leo akhirnya. "Aku minta maaf. Aku... aku takut. Aku takut kamu akan pergi jika kamu tahu siapa aku sebenarnya."
"Aku tidak akan pergi," kata Iris. "Aku hanya ingin jujur. Aku ingin kamu percaya padaku."
Leo menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia harus mengambil risiko. Ia harus meruntuhkan firewall itu, membuka dirinya pada Iris, dan mempercayainya dengan semua yang ia miliki.
Ia menceritakan semua tentang pekerjaannya, tentang bahaya yang ia hadapi, tentang alasan mengapa ia harus merahasiakannya. Ia menceritakan tentang masa lalunya yang kelam, tentang luka-luka yang masih ia bawa.
Iris mendengarkan dengan sabar dan penuh perhatian. Setelah Leo selesai bercerita, ia memeluknya erat-erat. "Aku tahu kamu tidak sempurna," katanya. "Tapi aku mencintaimu apa adanya. Aku mencintai keberanianmu, kecerdasanmu, dan hatimu yang tersembunyi."
Malam itu, Leo dan Iris meruntuhkan tembok yang memisahkan mereka. Mereka saling membuka diri, saling mempercayai, dan saling mencintai tanpa syarat.
Leo belajar bahwa cinta bukanlah tentang menyembunyikan diri, melainkan tentang menjadi diri sendiri sepenuhnya. Ia belajar bahwa kerentanan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Dan ia belajar bahwa firewall asmara bisa diatasi dengan kejujuran, kepercayaan, dan cinta yang tulus.
Leo masih seorang peretas, tapi ia bukan lagi seorang peretas hati yang tertutup. Ia telah menemukan cinta di balik firewall asmara, dan ia tahu bahwa ia akan melakukan apa pun untuk menjaganya. Karena cinta, baginya, kini adalah kode terpenting yang harus ia lindungi.