Debug Jantung: Mencintai Kode, Melupakan Sentuhan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:23:40 wib
Dibaca: 159 kali
Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni kode yang rumit. Cahaya monitor memantulkan gurat-gurat lelah di wajahnya. Anya, seorang programmer handal, terlarut dalam proyek barunya: sebuah algoritma kecerdasan buatan yang mampu memprediksi preferensi musik seseorang dengan akurasi luar biasa. Ia menamakannya "Melodi Jiwa."

Dunia Anya adalah barisan kode, logika, dan algoritma. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan mesin daripada manusia. Baginya, manusia terlalu kompleks, terlalu irasional, penuh dengan emosi yang sulit dipahami. Kode, sebaliknya, adalah bahasa yang jujur dan terukur.

Dulu, ada seseorang yang berusaha menembus benteng digitalnya. Seorang fotografer bernama Rio. Ia selalu datang ke kedai kopi tempat Anya sering bekerja, pura-pura membaca buku sambil sesekali mencuri pandang. Rio berusaha mengajak Anya berbicara, menceritakan tentang keindahan matahari terbenam, tentang ekspresi wajah orang-orang di jalanan, tentang hal-hal yang menurut Anya tidak relevan.

Anya selalu menghindar. Sentuhan Rio terasa asing dan mengganggu. Kata-katanya terasa seperti bug dalam sistem logikanya. Ia lebih memilih kembali ke dunia digitalnya, tempat ia merasa aman dan terkendali. Rio akhirnya menyerah. Meninggalkan Anya bersama layar monitornya yang setia.

Kini, setelah dua tahun berlalu, "Melodi Jiwa" hampir selesai. Algoritmanya sempurna. Ia bisa memprediksi musik yang akan membuat seseorang merasa bahagia, sedih, atau bahkan jatuh cinta. Anya merasa bangga. Ia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa.

Suatu malam, Anya memutuskan untuk menguji "Melodi Jiwa" pada dirinya sendiri. Ia memasukkan data-data pribadinya: riwayat musik, preferensi film, bahkan kebiasaan belanjanya. Algoritma bekerja dengan cepat, menganalisis setiap detail, dan akhirnya memberikan rekomendasi: sebuah lagu jazz lawas berjudul "Autumn Leaves."

Anya mengerutkan kening. Ia tidak pernah menyukai jazz. Tapi ia memutuskan untuk mencoba. Ia menyalakan lagu itu dan menutup matanya. Melodi itu membawanya kembali ke masa lalu, ke kedai kopi tempat Rio selalu menunggunya. Ia ingat senyum Rio, aroma kopi yang hangat, dan kehangatan matahari sore yang menyinari wajahnya.

Untuk pertama kalinya, Anya merasakan sesuatu selain kepuasan intelektual. Ia merasakan penyesalan. Ia menyesal telah menolak Rio, telah mengabaikan sentuhan manusia demi kode yang dingin. Ia menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh algoritma secanggih apapun.

Ia membuka laptopnya dan mulai menulis kode baru. Kali ini, bukan untuk memprediksi preferensi musik, tapi untuk mencari Rio. Ia membuat program yang mampu mencari jejak digital Rio, mulai dari akun media sosial hingga portofolio fotonya.

Setelah beberapa jam, ia menemukan Rio. Ia tinggal di kota lain, bekerja sebagai fotografer lepas. Anya mengirimkan pesan singkat: "Rio, ini Anya. Apa kabarmu?"

Ia menunggu balasan dengan jantung berdebar-debar. Rasanya seperti sedang debug kode yang paling rumit. Setiap detik terasa seperti jam. Akhirnya, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Rio: "Anya? Aku baik. Lama tidak mendengar kabarmu."

Anya membalas: "Aku ingin bertemu."

Rio setuju. Mereka berjanji bertemu di sebuah galeri seni di kota tempat Rio tinggal. Anya merasa gugup. Ia takut Rio tidak akan menerimanya setelah semua yang terjadi. Ia takut ia telah kehilangan kesempatan untuk merasakan kehangatan sentuhan manusia.

Saat Anya tiba di galeri, ia melihat Rio berdiri di depan sebuah lukisan abstrak. Rio terlihat lebih dewasa, tapi senyumnya masih sama. Anya mendekat dan menyapanya.

"Anya," kata Rio, suaranya lembut. "Senang bertemu denganmu lagi."

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbicara. Anya menceritakan tentang "Melodi Jiwa" dan tentang penyesalannya. Rio mendengarkan dengan sabar.

"Dulu, aku tidak mengerti kamu," kata Anya. "Aku terlalu fokus pada kode dan logika. Aku lupa bahwa ada hal-hal yang lebih penting dalam hidup, seperti sentuhan, emosi, dan hubungan dengan orang lain."

Rio tersenyum. "Aku mengerti. Kamu adalah seorang programmer. Kamu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Tapi itu tidak berarti kamu tidak bisa belajar untuk merasakan."

Rio meraih tangan Anya. Sentuhannya terasa hangat dan familiar. Anya tidak menghindar. Ia membiarkan dirinya merasakan kehangatan itu, merasakan emosi yang telah lama ia kubur.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki kesalahan masa lalu," kata Anya. "Tapi aku ingin mencoba."

"Aku juga," jawab Rio.

Mereka berjalan bersama, menyusuri jalanan kota. Anya merasa ringan dan bahagia. Ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada algoritma secanggih apapun: kesempatan untuk mencintai, untuk merasakan, untuk hidup sepenuhnya.

Anya masih seorang programmer. Ia masih mencintai kode dan logika. Tapi ia tidak lagi melupakan sentuhan. Ia telah belajar bahwa hidup tidak hanya tentang barisan kode, tapi juga tentang hubungan manusia, tentang emosi, dan tentang kehangatan sentuhan. Ia telah berhasil debug jantungnya, dan menemukan kebahagiaan yang sejati. Malam itu, di bawah cahaya bulan, Anya menyadari bahwa kode memang penting, tetapi cinta adalah bahasa pemrograman yang paling indah.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI