Aplikasi kencan itu bernama "SoulMate AI". Klaimnya revolusioner: menemukan pasangan yang cocok bukan berdasarkan preferensi dangkal seperti hobi atau penampilan, melainkan pada resonansi jiwa yang dianalisis melalui data neurologis dan pola komunikasi. Awalnya, aku skeptis. Aplikasi kencan hanyalah algoritma yang bermain-main dengan kesepian, bukan begitu? Namun, rasa penasaran, dan mungkin juga putus asa setelah tiga tahun menjomblo, mendorongku untuk mengunduh dan mencoba.
Proses pendaftarannya rumit. Aku harus menjalani serangkaian tes kepribadian mendalam, menghubungkan gelang bio-sensor untuk merekam gelombang otakku saat memandang berbagai gambar dan mendengarkan musik, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang makna hidup dan kematian. Setelah seminggu, SoulMate AI akhirnya memberiku hasilnya: "Kecocokan Optimal: Elara. Tingkat Resonansi Jiwa: 97.8%."
Foto Elara yang muncul di layar menampilkan seorang wanita dengan rambut cokelat bergelombang, mata hazel yang hangat, dan senyum yang tampak tulus. Profilnya menyebutkan bahwa dia seorang arsitek lanskap yang mencintai alam dan musik klasik. Kami memiliki beberapa kesamaan dangkal, tapi skor resonansi jiwanya yang nyaris sempurna membuatku terkejut.
Aku mengirimkan pesan, berharap mendapatkan respons yang berbeda dari sapaan klise yang biasa. "Hai Elara, SoulMate AI bilang kita ditakdirkan untuk bersama. Apakah kamu percaya pada takdir?"
Balasannya datang dalam hitungan menit. "Hai [Namaku], aku skeptis tentang 'takdir,' tapi aku penasaran tentang algoritma yang membawamu padaku. Kopi minggu depan?"
Pertemuan pertama kami di sebuah kafe tepi sungai berjalan lancar di luar dugaan. Elara ternyata lebih menawan dari fotonya. Percakapan kami mengalir dengan mudah, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama. Kami berbicara tentang mimpi, ketakutan, dan ambisi kami. Ada sesuatu yang menenangkan dan memvalidasi tentangnya, seolah dia melihat langsung ke dalam jiwaku dan menerimanya apa adanya.
Setelah beberapa minggu berkencan, aku mulai percaya pada SoulMate AI. Mungkin ada logika di balik semua data dan algoritma. Mungkin cinta sejati bisa ditemukan, atau setidaknya difasilitasi, oleh teknologi. Aku jatuh cinta pada Elara, dan dari caranya menatapku, aku tahu dia merasakan hal yang sama.
Kami menghabiskan waktu bersama di taman-taman yang dia rancang, mendengarkan konser musik klasik di bawah bintang-bintang, dan berdiskusi panjang tentang masa depan. Kami berbicara tentang pernikahan, tentang memiliki anak, tentang membangun rumah impian kami di pedesaan. Masa depan terasa cerah dan penuh harapan.
Kemudian, masalah mulai muncul.
Awalnya, hanya berupa keraguan kecil yang menggantung di benakku. Aku menyadari bahwa meskipun kami memiliki banyak kesamaan, ada juga perbedaan mendasar yang sulit diatasi. Elara adalah seorang idealis romantis yang percaya pada kebaikan manusia, sementara aku seorang pragmatis sinis yang selalu mengharapkan yang terburuk.
Perbedaan ini mulai memicu pertengkaran. Kami berdebat tentang politik, tentang agama, tentang cara mengelola keuangan. Pertengkaran itu kecil pada awalnya, tetapi lama kelamaan semakin sering dan semakin sengit. Aku mulai merasa seperti sedang berjalan di atas kulit telur di sekelilingnya, takut mengatakan atau melakukan sesuatu yang akan memicu amarahnya.
Aku mencoba membicarakan masalah ini dengannya, tetapi dia selalu menghindar. Dia bilang aku terlalu negatif, terlalu kritis. Dia bilang aku tidak menghargai betapa beruntungnya kami telah menemukan satu sama lain. Dia bilang aku seharusnya percaya pada SoulMate AI.
Semakin aku meragukan hubungan kami, semakin dia bersikeras bahwa kami ditakdirkan untuk bersama. Dia mulai menyebut-nyebut "resonansi jiwa" kami setiap kali kami bertengkar, seolah itu adalah alasan yang cukup untuk mengabaikan semua masalah kami.
Suatu malam, setelah pertengkaran yang sangat buruk, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan. Aku masuk ke akun SoulMate AI Elara. Aku tahu itu pelanggaran privasi, tetapi aku merasa harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Apa yang kutemukan membuatku terkejut.
Di bagian "Analisis Ketidakcocokan Potensial" di profil Elara, ada daftar panjang masalah yang tidak teratasi dalam hubungan kami. Aplikasi tersebut memperingatkan tentang perbedaan mendasar dalam nilai-nilai kami, tentang kecenderunganku untuk menutup diri secara emosional, dan tentang ketidakmampuan Elara untuk menghadapi konflik secara konstruktif.
Yang lebih mengejutkan, SoulMate AI telah menyarankan agar Elara mempertimbangkan untuk mencari pasangan yang lebih cocok. Aplikasi tersebut telah menemukan beberapa profil dengan tingkat "resonansi jiwa" yang lebih rendah, tetapi dengan kecocokan kepribadian yang lebih baik.
Aku tercengang. Jadi, selama ini, aplikasi yang seharusnya menyatukan kami justru menyarankan agar kami berpisah? Apakah semua cinta yang kami rasakan hanya sebuah ilusi yang diciptakan oleh algoritma?
Aku menghadapi Elara dengan informasi yang kutemukan. Awalnya, dia membantah, mengatakan bahwa aku salah menafsirkan data. Tetapi kemudian, dia mengakui bahwa dia telah melihat peringatan tersebut. Dia bilang dia memilih untuk mengabaikannya karena dia percaya pada cinta kami.
"Tapi cinta itu tidak cukup, Elara," kataku. "Kita tidak bisa mengabaikan masalah kita hanya karena sebuah aplikasi bilang kita ditakdirkan untuk bersama."
Dia menatapku dengan air mata berlinang. "Aku hanya ingin percaya bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang kita," katanya. "Aku hanya ingin percaya bahwa kita bisa mengalahkan semua rintangan."
Aku memeluknya, tetapi pelukan itu terasa hampa. Aku tahu bahwa ini adalah akhir.
Kami berpisah beberapa minggu kemudian. Itu menyakitkan, tentu saja, tetapi juga melegakan. Aku menyadari bahwa aku telah terlalu fokus pada "resonansi jiwa" kami dan terlalu sedikit pada kenyataan hubungan kami. Aku telah membiarkan algoritma menentukan siapa yang harus kucintai, dan itu adalah kesalahan yang tidak akan pernah kuulangi.
Setelah putus, aku menghapus aplikasi SoulMate AI. Aku memutuskan untuk kembali ke cara lama dalam mencari cinta: bertemu orang secara organik, membangun hubungan secara bertahap, dan mempercayai instingku sendiri. Mungkin tidak ada rumus cinta generatif yang bisa menjamin kebahagiaan, tetapi setidaknya aku bisa memastikan bahwa aku membuat pilihan sendiri, dan bertanggung jawab atas konsekuensinya. Luka itu mungkin tak terhindarkan, tetapi setidaknya itu adalah lukaku sendiri, bukan luka yang dipicu oleh algoritma.