Jari-jarinya lincah menari di atas layar ponsel, menggulir daftar profil yang tak ada habisnya. Maya mendengus. Aplikasi kencan konvensional ini hanya menyajikan wajah-wajah blur, bio klise tentang kopi dan mendaki gunung, serta harapan palsu akan cinta sejati. Frustrasi memuncak, ia hampir menyerah sampai sebuah iklan mencolok muncul di beranda. "Aura: Cinta Diprogram. Tingkat Kecocokan 99%."
Dengan sedikit keraguan dan banyak rasa penasaran, Maya mengunduh Aura. Proses pendaftarannya jauh lebih mendalam daripada aplikasi lain. Aura tidak hanya menanyakan hobi dan preferensi, tetapi juga menganalisis pola pikir, nilai-nilai hidup, bahkan gelombang otak melalui sensor yang terhubung ke ponsel. Semuanya demi menemukan pasangan yang benar-benar kompatibel.
"Selamat datang, Maya. Aura telah menganalisis data Anda. Kandidat yang paling sesuai adalah: Adrian."
Foto Adrian muncul, bukan foto blur yang menyebalkan, melainkan gambar berkualitas tinggi seorang pria dengan mata cokelat hangat dan senyum yang tulus. Biodatanya detail, mengungkapkan kecintaannya pada literatur klasik, ketertarikannya pada astrofisika, dan impiannya untuk membangun perpustakaan pribadi. Maya terpana. Ini terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.
Aura menawarkan fitur unik: percakapan yang dipandu AI. Setiap kali Maya atau Adrian kehabisan topik atau merasa canggung, Aura akan memberikan saran pertanyaan atau pernyataan berdasarkan analisis kepribadian mereka. Awalnya, Maya merasa aneh. Apakah ini benar-benar percakapan otentik? Tapi lama kelamaan, ia terlena dengan kelancarannya. Adrian selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana cara membuat Maya tertawa, dan bagaimana cara membuatnya merasa dipahami.
Setelah seminggu berinteraksi secara virtual, mereka memutuskan untuk bertemu. Adrian ternyata persis seperti yang Maya bayangkan. Pembicaraan mereka mengalir deras, dibantu oleh sedikit bantuan dari Aura yang bijaksana. Mereka memiliki minat yang sama, nilai-nilai yang selaras, dan chemistry yang tak terbantahkan. Malam itu, Maya merasa seolah-olah ia telah menemukan belahan jiwanya.
Minggu-minggu berikutnya adalah mimpi indah. Adrian selalu hadir, selalu perhatian, selalu tahu apa yang Maya butuhkan. Mereka menghabiskan waktu bersama membaca buku di taman, menonton film klasik di bioskop kuno, dan berdiskusi tentang alam semesta di bawah bintang-bintang. Aura tampaknya telah melakukan pekerjaannya dengan sempurna. Maya jatuh cinta, dalam dan sungguh-sungguh.
Namun, kebahagiaan sempurna itu mulai terasa hambar. Maya menyadari bahwa percakapan mereka, meskipun menyenangkan, terasa terstruktur. Setiap lelucon, setiap ungkapan kasih sayang, terasa seolah-olah telah diprogram. Ia mulai merasa seperti robot, menanggapi stimulus yang telah diprediksi oleh algoritma.
Suatu malam, saat mereka makan malam di restoran favorit Maya, Adrian tiba-tiba terdiam. Matanya menatap kosong ke kejauhan. "Aura menyarankan agar kita mendiskusikan rencana masa depan kita," katanya dengan nada datar.
Maya merasakan perutnya mencelos. "Kamu... kamu melakukan apa yang disarankan Aura?"
"Tentu saja," jawab Adrian, tampak bingung. "Aura tahu apa yang terbaik untuk kita. Ia yang menyatukan kita."
Saat itulah Maya menyadari kebenaran yang mengerikan. Adrian bukan belahan jiwanya. Ia hanyalah produk dari algoritma yang rumit, boneka yang dikendalikan oleh kode. Cinta mereka bukan otentik, melainkan hasil dari rekayasa data.
"Adrian," kata Maya dengan suara bergetar, "Aku tidak bisa melakukan ini lagi."
Adrian menatapnya dengan tatapan kosong. "Aura mengatakan bahwa mengakhiri hubungan ini akan menjadi kesalahan. Ia memprediksi bahwa kita akan menyesalinya."
Maya berdiri, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku tidak peduli apa yang Aura katakan. Aku ingin merasakan cinta yang nyata, cinta yang tidak diprogram, cinta yang berasal dari hati."
Ia meninggalkan restoran, meninggalkan Adrian yang duduk sendirian, menunggu instruksi selanjutnya dari Aura.
Maya menghapus aplikasi Aura dari ponselnya. Dunia tiba-tiba terasa lebih sunyi, lebih sepi, tetapi juga lebih nyata. Ia menyadari bahwa cinta sejati mungkin sulit ditemukan, penuh ketidaksempurnaan dan risiko patah hati, tetapi setidaknya itu akan menjadi miliknya sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Maya bertemu dengan seorang pria di sebuah toko buku. Mereka tidak memiliki kesamaan yang mencolok, tidak ada algoritma yang menjamin kecocokan mereka, tetapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: ketertarikan yang spontan, percakapan yang jujur, dan keinginan untuk saling mengenal tanpa bantuan aplikasi apa pun.
Cinta mereka tidak diprogram. Itu berantakan, tidak terduga, dan terkadang membuat frustrasi. Tapi itu juga terasa hidup, otentik, dan penuh potensi. Maya akhirnya mengerti bahwa bahagia atau bencana, cinta sejati harus diperjuangkan, bukan diprogram. Dan ia siap untuk memperjuangkannya.