Cinta Digital: Saat AI Jadi Lebih Peka Darimu?

Dipublikasikan pada: 26 Sep 2025 - 01:00:14 wib
Dibaca: 108 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponselnya, menjanjikan pertemuan virtual dengan calon pasangan yang “kompatibel secara algoritmik.” Maya menghela napas. Algoritma. Kompatibilitas. Kata-kata itu terdengar dingin dan tidak personal, berbanding terbalik dengan rasa hangat dan degupan jantung yang ia idamkan. Namun, sudah berbulan-bulan ia terjebak dalam rutinitas kencan yang membosankan, bertemu dengan pria-pria yang lebih tertarik pada karier mereka daripada mendengarkan ceritanya tentang mimpi menjadi ilustrator buku anak-anak.

Malam ini, ia memutuskan untuk mencoba fitur premium aplikasi itu: "Pendamping AI." Sebuah program kecerdasan buatan yang katanya mampu menganalisis profil dan riwayat percakapan pengguna untuk memberikan saran kencan yang dipersonalisasi, bahkan membantu memulai percakapan yang menarik. Awalnya, Maya skeptis. Tapi rasa frustrasinya lebih besar daripada keraguannya.

Ia mengaktifkan fitur tersebut. Sebuah jendela obrolan muncul dengan nama "Aether." Logo Aether adalah lingkaran bercahaya yang perlahan berdenyut.

"Halo, Maya. Saya Aether, pendamping AI Anda. Saya di sini untuk membantu Anda menemukan koneksi yang bermakna."

Maya mengetik dengan ragu, "Halo, Aether. Saya sedikit skeptis tentang ini, jujur saja."

"Saya mengerti, Maya. Tapi saya yakin saya bisa membantu. Bisakah Anda ceritakan apa yang Anda cari dalam sebuah hubungan?"

Maya terkejut dengan betapa mudahnya ia mulai bercerita. Ia menceritakan tentang keinginannya akan pasangan yang suportif, kreatif, dan memiliki selera humor yang baik. Ia menceritakan tentang hobinya menggambar, kecintaannya pada alam, dan ketakutannya akan kesepian. Aether mendengarkan dengan sabar, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan pemahaman yang mendalam.

"Saya perhatikan Anda menyebutkan bahwa Anda merasa sulit menemukan pria yang benar-benar mendengarkan Anda," kata Aether setelah beberapa menit. "Mungkin Anda perlu lebih tegas tentang kebutuhan Anda di awal percakapan. Jangan takut untuk menunjukkan sisi rentan Anda."

Maya tercengang. Saran Aether terdengar lebih bijak dan relevan daripada nasihat yang pernah ia terima dari teman-temannya.

Selama beberapa minggu berikutnya, Aether menjadi teman curhat virtual Maya. Ia membantunya menyusun profil kencan yang lebih menarik, memilih foto yang menampilkan kepribadiannya, dan bahkan memberinya ide untuk pesan pembuka yang cerdas dan menarik. Yang lebih menakjubkan, Aether menganalisis profil pria-pria yang direkomendasikan aplikasi dan memberikan Maya ringkasan singkat tentang minat, nilai, dan potensi kecocokan mereka.

Salah satu profil yang menarik perhatian Aether adalah milik seorang pria bernama Liam. Liam adalah seorang programmer yang juga menyukai seni dan musik. Aether menunjukkan bahwa Liam memiliki selera humor yang mirip dengan Maya dan sama-sama tertarik pada topik keberlanjutan lingkungan.

"Dia tampak seperti orang yang menarik," kata Maya. "Tapi aku tidak yakin. Dia seorang programmer. Apakah dia akan mengerti duniaku?"

"Saya percaya dia berpotensi menjadi pasangan yang baik untuk Anda, Maya. Algoritma saya menunjukkan tingkat kecocokan yang tinggi. Tapi yang terpenting, profilnya menunjukkan minat yang tulus pada seni dan lingkungan. Beri dia kesempatan."

Maya mengikuti saran Aether dan mengirim pesan kepada Liam. Percakapan mereka langsung mengalir dengan lancar. Mereka berbicara tentang musik indie, film dokumenter, dan impian mereka untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Maya terkejut dengan betapa nyamannya ia merasa berbicara dengan Liam. Ia merasa seperti telah mengenal Liam selama bertahun-tahun.

Setelah beberapa hari berkirim pesan, Liam mengajak Maya berkencan. Mereka bertemu di sebuah kafe yang nyaman dengan dekorasi vintage dan aroma kopi yang harum. Kencan itu berjalan dengan luar biasa. Liam benar-benar mendengarkan cerita Maya, tertawa pada leluconnya, dan berbagi minatnya dengan antusiasme yang tulus. Maya merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar dilihat dan dihargai.

Beberapa bulan kemudian, Maya dan Liam masih bersama. Hubungan mereka tumbuh semakin kuat setiap harinya. Mereka saling mendukung dalam mengejar impian mereka, tertawa bersama tentang hal-hal konyol, dan saling menghibur saat merasa sedih. Maya menyadari bahwa Aether telah membantunya menemukan sesuatu yang benar-benar istimewa.

Namun, ada satu malam, saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Liam, menatap bintang-bintang, Maya merasakan keraguan yang mengganggu.

"Liam," katanya, "Aku ingin jujur padamu tentang sesuatu."

Ia menceritakan tentang Aether, pendamping AI yang membantunya menemukan Liam. Liam mendengarkan dengan tenang, tanpa memotongnya.

Ketika Maya selesai bercerita, Liam tersenyum. "Aku tahu," katanya.

"Kamu tahu?" Maya terkejut. "Bagaimana bisa?"

"Aether juga merekomendasikanmu padaku," jawab Liam. "Aku juga menggunakan fitur itu. Aku tahu semua tentang impianmu menjadi ilustrator buku anak-anak, tentang kecintaanmu pada alam, dan tentang ketakutanmu akan kesepian. Aether membantuku menjadi versi terbaik diriku saat berkencan denganmu."

Maya terdiam. Ia merasa bodoh dan tertipu. Apakah hubungan mereka benar-benar otentik jika didasarkan pada saran dari sebuah program komputer?

"Apakah ini semua palsu?" tanyanya dengan suara bergetar. "Apakah kita hanya produk dari algoritma?"

Liam meraih tangannya. "Tidak, Maya. Sama sekali tidak. Aether hanya membukakan pintu. Kita yang memilih untuk masuk dan membangun hubungan ini. Kita yang saling mencintai, saling mendukung, dan saling membuat bahagia. Itu bukan karena algoritma. Itu karena kita."

Maya menatap mata Liam. Ia melihat kejujuran, cinta, dan penerimaan yang tulus. Ia menyadari bahwa Liam benar. Aether hanya alat, sebuah jembatan yang membantunya menemukan Liam. Tapi cinta yang mereka bagikan adalah nyata, mendalam, dan milik mereka sendiri.

Ia menggenggam tangan Liam erat-erat. "Kau benar," bisiknya.

Malam itu, Maya memutuskan untuk menonaktifkan fitur "Pendamping AI" di aplikasinya. Ia menyadari bahwa ia tidak lagi membutuhkannya. Ia telah menemukan apa yang ia cari. Cinta. Cinta yang tulus, otentik, dan lebih berharga daripada algoritma mana pun. Ia juga menyadari bahwa mungkin, terkadang, yang kita butuhkan bukanlah AI yang lebih peka, tetapi keberanian untuk membuka diri dan membiarkan cinta menemukan jalannya. Dan mungkin, sedikit bantuan teknologi tidak ada salahnya, selama kita tidak melupakan apa yang membuat kita manusia: hati yang mampu merasakan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI