Algoritma Asmara: Hati Manusia Kalah Cepat dari AI?

Dipublikasikan pada: 01 Dec 2025 - 00:40:12 wib
Dibaca: 109 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Riana. Di layar laptopnya, baris-baris kode Python bergulir, sebuah tarian rumit algoritma yang sedang ia ciptakan. Bukan untuk mencari keuntungan semata, melainkan untuk menjawab pertanyaan yang selama ini menghantuinya: bisakah cinta diukur dan diprediksi oleh kecerdasan buatan?

Riana, seorang data scientist muda yang brilian, selalu skeptis terhadap konsep cinta sejati. Baginya, emosi hanyalah reaksi kimiawi kompleks yang bisa diurai menjadi data. Maka terciptalah 'Amora AI', sebuah aplikasi kencan yang menjanjikan kompatibilitas sempurna berdasarkan analisis mendalam data kepribadian, preferensi, hingga gelombang otak.

Beta testing Amora AI berjalan lancar. Pasangan-pasangan yang dipertemukan oleh algoritma itu tampak bahagia, harmonis, dan memiliki minat yang sejalan. Riana merasa bangga. Ia berhasil membuktikan bahwa cinta, setidaknya cinta yang rasional dan berkelanjutan, bisa direkayasa.

Namun, di tengah euforia keberhasilan Amora AI, Riana merasa ada yang hilang. Ia terlalu sibuk mengutak-atik kode, menganalisis data, hingga melupakan sisi kemanusiaan dalam dirinya. Ironisnya, ia menciptakan platform untuk mencari cinta, tapi ia sendiri justru terisolasi dalam kesendiriannya.

Suatu sore, saat ia sedang memantau kinerja Amora AI, notifikasi email muncul. Pengirimnya adalah Ardi, seorang programmer yang juga ikut serta dalam pengembangan Amora AI. Ardi dikenal sebagai sosok yang pendiam dan kurang bergaul. Riana jarang berinteraksi dengannya, selain urusan teknis.

"Riana, bisakah kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin kusampaikan," tulis Ardi dalam emailnya.

Riana sedikit terkejut. Ia balas email itu dan menyetujui pertemuan singkat di sebuah kafe dekat kantor.

Saat bertemu, Ardi tampak gugup. Ia memainkan cangkir kopinya, menghindari tatapan Riana. "Aku... aku ingin jujur padamu, Riana," ucapnya akhirnya. "Aku... aku menyukaimu."

Riana membeku. Pengakuan Ardi membuatnya bingung. Selama ini, ia hanya menganggap Ardi sebagai rekan kerja biasa. Ia tidak pernah menganalisis Ardi melalui Amora AI. Ia tidak tahu apa pun tentang preferensi Ardi, gelombang otaknya, atau data kepribadiannya.

"Ardi, aku..." Riana berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku menghargaimu sebagai rekan kerja. Tapi aku tidak yakin..."

"Aku tahu," potong Ardi. "Kau pasti skeptis. Kau percaya pada algoritma, bukan pada perasaan spontan. Tapi, Riana, perasaanku padamu bukan hasil analisis data. Ini murni dari hatiku."

Ardi kemudian menjelaskan bagaimana ia mengagumi kecerdasan Riana, semangatnya dalam bekerja, dan ketulusannya dalam membantu orang lain. Ia melihat sisi kemanusiaan Riana yang tersembunyi di balik sosok data scientist yang dingin.

Riana terdiam. Kata-kata Ardi menyentuh hatinya. Ia mulai meragukan teorinya tentang cinta yang bisa diukur. Ia menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa direduksi menjadi data, seperti intuisi, emosi, dan koneksi yang tak terduga.

"Aku... aku perlu waktu untuk memikirkannya," jawab Riana akhirnya.

Ardi mengangguk. "Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku yang sebenarnya."

Setelah pertemuan itu, pikiran Riana kalut. Ia membuka Amora AI dan mencoba memasukkan data dirinya sendiri. Ia ingin melihat apakah algoritma itu akan mempertemukannya dengan Ardi. Hasilnya, Amora AI merekomendasikan orang lain, seorang pengusaha sukses yang memiliki minat dan hobi yang sama dengan Riana.

Riana menghela napas. Algoritma itu memang pintar, tapi tidak memiliki kepekaan terhadap nuansa emosi yang rumit. Algoritma itu tidak bisa merasakan getaran hati yang muncul saat ia berbicara dengan Ardi.

Beberapa hari kemudian, Riana memutuskan untuk bertemu dengan Ardi lagi. Ia ingin mengenalnya lebih dekat, tanpa bantuan algoritma. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari masa kecil, impian, hingga ketakutan mereka. Riana mulai melihat sisi lain dari Ardi, seorang pria yang hangat, perhatian, dan memiliki selera humor yang unik.

Riana menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta pada Ardi. Bukan karena algoritma, bukan karena data kepribadian yang cocok, tapi karena Ardi adalah dirinya sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Riana akhirnya memberikan jawaban pada Ardi. "Aku... aku juga menyukaimu, Ardi," ucapnya dengan senyum malu-malu.

Ardi tersenyum lebar. Ia meraih tangan Riana dan menggenggamnya erat. "Aku tahu kau akan merasakan hal yang sama," bisiknya.

Sejak saat itu, Riana dan Ardi menjalin hubungan yang serius. Riana masih terus mengembangkan Amora AI, tapi ia tidak lagi menganggap algoritma itu sebagai satu-satunya penentu kebahagiaan. Ia belajar bahwa cinta sejati tidak bisa direkayasa, melainkan tumbuh secara alami dari hati ke hati.

Riana menyadari bahwa algoritmanya mungkin bisa membantu orang menemukan pasangan yang cocok secara rasional, tapi algoritma itu tidak bisa menggantikan peran intuisi, emosi, dan keberanian untuk mengambil risiko dalam urusan hati. Hati manusia, ternyata, masih lebih cepat dalam memahami cinta daripada kecerdasan buatan. Amora AI tetap berjalan, membantu banyak orang, tapi Riana tahu, kisah cintanya dengan Ardi adalah bukti bahwa ada hal-hal yang tak bisa dikalkulasi oleh mesin, sebuah misteri yang bernama cinta.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI