Hati yang Di-Upgrade: Cinta Versi Algoritma?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 22:30:16 wib
Dibaca: 161 kali
Aroma kopi robusta menyusup ke hidung Aira, bercampur dengan bau ozon khas dari ruangan server yang dingin. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, larut dalam lautan kode yang rumit. Aira adalah seorang programmer jenius, otaknya adalah perpustakaan algoritma, dan dunianya berpusat pada deretan angka dan logika.

Di kantor startup teknologi bernama "Bloom," Aira dikenal sebagai "The Algorithm Whisperer." Ia mampu meramu kode menjadi aplikasi yang menaklukkan pasar. Namun, di balik kecerdasannya yang memukau, Aira adalah seorang gadis yang canggung dalam urusan hati. Cinta, baginya, adalah bug yang belum berhasil ia pecahkan.

“Aira, kopi?” sapa seorang pria dari belakang. Suaranya berat namun lembut, selalu berhasil membuat jantung Aira berdebar tak teratur.

Dia adalah Leo, kepala tim desain Bloom, seorang pria dengan senyum menawan dan mata yang teduh. Leo adalah antitesis dari Aira: ekspresif, spontan, dan dikelilingi oleh aura hangat yang menenangkan. Aira selalu merasa tertarik padanya, namun lidahnya kelu setiap kali mencoba merangkai kata yang lebih dari sekadar "terima kasih."

“Terima kasih, Leo,” jawab Aira, tanpa berani menatap matanya. Ia meraih cangkir kopi yang disodorkan Leo dan menyesapnya perlahan.

“Kamu lembur lagi? Sedang mengerjakan apa?” tanya Leo, menarik kursi dan duduk di samping Aira.

“Algoritma rekomendasi untuk aplikasi kencan kita. Aku mencoba meningkatkan akurasi ‘tingkat kecocokan’ berdasarkan preferensi pengguna,” jawab Aira, berusaha terdengar profesional.

“Hmm, cinta memang rumit ya. Menurut algoritma, aku cocok dengan siapa?” goda Leo, matanya berbinar.

Aira merasa pipinya memanas. Ia berusaha menyembunyikan gugupnya dengan pura-pura fokus pada layar komputer. “Algoritma itu belum sempurna. Masih banyak variabel yang belum diperhitungkan.”

“Variabel seperti apa?” desak Leo, semakin mendekat.

“Seperti… bau badan, selera humor, atau cara seseorang memandang dunia,” jawab Aira, tergagap.

Leo tertawa kecil. “Jadi, menurutmu cinta tidak bisa diprediksi dengan algoritma?”

“Mungkin bisa diprediksi, tapi tidak bisa diciptakan,” jawab Aira, akhirnya memberanikan diri menatap Leo. “Algoritma hanya bisa membantu mempertemukan, tapi sisanya tergantung pada manusia.”

Leo terdiam sejenak, menatap Aira dengan intens. “Mungkin kamu benar. Tapi, apa salahnya mencoba menggunakan teknologi untuk menemukan seseorang yang istimewa?”

Percakapan itu terngiang-ngiang di kepala Aira sepanjang malam. Ia terus memikirkan kata-kata Leo, tentang bagaimana teknologi bisa membantu menemukan cinta. Ia pun mulai bereksperimen dengan algoritma yang lebih kompleks, mencoba menambahkan elemen-elemen subjektif yang selama ini diabaikannya.

Suatu malam, saat Aira sedang berkutat dengan kodenya, ia menemukan sebuah celah. Sebuah bug yang aneh, yang menyebabkan aplikasi Bloom menampilkan profil Leo sebagai "pasangan yang sangat cocok" untuk… dirinya sendiri.

Aira terkejut. Ia mencoba memperbaiki bug itu, namun semakin ia mencoba, semakin kuat rekomendasi itu muncul. Seolah-olah, algoritma itu sendiri sedang berusaha mengatakan sesuatu.

Ia akhirnya menyerah dan membiarkan bug itu tetap ada. Ia mulai memperhatikan Leo lebih seksama, mencoba melihatnya dari sudut pandang algoritma yang ia ciptakan. Ia menyadari bahwa banyak hal yang selama ini ia abaikan: senyum Leo yang selalu membuatnya merasa nyaman, perhatian kecil yang selalu ia berikan, dan cara Leo memandang dirinya dengan penuh kekaguman.

Namun, Aira masih ragu. Apakah ini hanya hasil dari algoritma yang rusak? Apakah ia sedang jatuh cinta pada ide tentang cinta, bukan pada Leo yang sebenarnya?

Suatu sore, Leo mengajak Aira untuk berjalan-jalan di taman kota. Mereka duduk di bawah pohon rindang, menikmati angin sepoi-sepoi dan suara burung berkicau.

“Aira,” kata Leo, memecah keheningan. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi… aku merasa ada sesuatu yang berbeda antara kita.”

Aira menahan napas. Inikah saatnya?

“Aku… aku menyukaimu, Aira. Aku menyukai caramu berpikir, semangatmu dalam bekerja, dan… ya, bahkan kecanggunganmu.”

Aira terkejut. Ia tidak menyangka Leo akan mengakui perasaannya.

“Leo… aku…”

“Aku tahu kamu mungkin belum siap untuk ini. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku ingin mengenalmu lebih dalam,” kata Leo, meraih tangan Aira.

Aira menggenggam tangan Leo, merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menatap mata Leo, dan melihat kejujuran yang terpancar di sana.

“Aku… aku juga menyukaimu, Leo,” bisik Aira, hampir tidak terdengar.

Leo tersenyum lebar, lalu mendekat dan mencium Aira dengan lembut. Aira memejamkan mata, menikmati sentuhan bibir Leo yang manis.

Di saat itu, Aira menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diprediksi dengan algoritma, tapi teknologi bisa membantu membuka pintu menuju hati yang selama ini tertutup. Mungkin, algoritma yang ia ciptakan memang memiliki bug, tapi bug itulah yang membantunya melihat cinta yang selama ini ada di depannya.

Aira masih belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, ia tahu bahwa ia siap untuk membuka hatinya, untuk di-upgrade dengan cinta yang tulus dari Leo. Mungkin, cinta versi algoritma tidak sempurna, tapi cinta yang ia rasakan saat ini terasa sangat nyata. Dan itu sudah cukup untuknya. Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, Aira dan Leo berbagi mimpi, harapan, dan algoritma cinta mereka sendiri. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, namun mereka yakin, bersama, mereka bisa memecahkan semua bug yang menghadang. Karena cinta, seperti teknologi, selalu membutuhkan inovasi dan upgrade untuk menjadi lebih baik.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI