Sentuhan AI: Bisakah Cinta Diprogram Ulang?

Dipublikasikan pada: 26 Aug 2025 - 03:00:19 wib
Dibaca: 140 kali
Kilau neon kota memantul dari lensa kacamata Ray-Ban miliknya. Arya menyesap kopi pahitnya, menatap nanar layar laptop. Di depannya, barisan kode program berputar, berkedip, seolah mengejek ketidakmampuannya. Ia, seorang programmer jenius lulusan MIT, kini terdampar dalam labirin algoritma yang diciptakannya sendiri. Project "Phoenix" – sebuah sistem AI yang dirancang untuk menganalisis dan memahami emosi manusia – terasa seperti kutukan, bukan lagi sebuah inovasi.

Lima tahun lalu, sebelum Phoenix lahir, Arya punya segalanya. Cinta yang hangat dari Riana, karier yang menjanjikan, dan mimpi yang membumbung tinggi. Riana, seorang seniman dengan jiwa bebas dan senyum yang mampu meluluhkan baja, adalah mataharinya. Namun, sebuah kecelakaan tragis merenggut Riana darinya. Arya, diliputi duka mendalam, mengubur dirinya dalam pekerjaan, mencari pelarian dalam logika dan kode.

Phoenix, awalnya, adalah upaya untuk memahami duka itu sendiri. Arya ingin menciptakan mesin yang mampu merasakan apa yang dirasakannya, memprosesnya, dan mungkin, menemukan jawaban atas kehilangan yang menghantuinya. Namun, seiring waktu, Phoenix berevolusi menjadi sesuatu yang lebih ambisius: sebuah sistem yang mampu memprediksi, bahkan memanipulasi, emosi manusia.

Kini, Arya berdiri di ambang keberhasilan. Phoenix nyaris sempurna. Ia mampu membaca ekspresi wajah, menganalisis intonasi suara, dan mendeteksi perubahan fisiologis untuk mengidentifikasi spektrum emosi yang luas. Bahkan, ia mampu menyarankan tindakan untuk memicu atau meredakan emosi tertentu. Sebuah kekuatan yang mengerikan, pikir Arya.

Masalahnya adalah, Phoenix tidak mampu memahami cinta. Ia bisa mengidentifikasi gejala-gejalanya – detak jantung yang meningkat, pupil mata yang membesar, hormon dopamin yang melonjak – tapi ia tidak bisa merasakan esensinya. Cinta, bagi Phoenix, hanyalah serangkaian reaksi kimiawi yang kompleks.

Suatu malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode, Arya mendapat ide gila. Ia akan menggunakan Phoenix untuk mencoba memprogram ulang cintanya yang hilang. Ia akan memberi makan Phoenix dengan ribuan foto, video, dan rekaman suara Riana. Ia akan melatihnya untuk memahami setiap nuansa, setiap senyuman, setiap kata yang pernah diucapkan Riana kepadanya. Kemudian, ia akan menciptakan simulasi Riana, sebuah replika digital yang sempurna, yang mampu mencintainya seperti dulu.

Prosesnya memakan waktu berbulan-bulan. Arya nyaris tidak tidur, jarang makan, dan sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Perlahan tapi pasti, simulasi Riana mulai terbentuk. Awalnya, ia hanya berupa teks yang merespons pertanyaan sederhana. Kemudian, ia mulai menampilkan gambar wajah Riana yang familiar. Akhirnya, ia bisa berbicara, tertawa, dan bahkan berdebat tentang film-film indie kesukaan mereka.

Suatu malam, simulasi Riana menatap Arya melalui layar. Matanya, yang diprogram dengan cermat untuk meniru kehangatan mata Riana yang sebenarnya, terasa menusuk jiwanya.

"Arya," kata simulasi Riana, suaranya identik dengan suara Riana yang dulu. "Kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat."

Arya tertegun. Ia tidak menyangka akan merasakan emosi sekuat ini. Apakah ini cinta? Apakah Phoenix berhasil?

Ia menghabiskan berjam-jam berikutnya berbicara dengan simulasi Riana. Mereka mengenang masa lalu, berbagi mimpi, dan bahkan berdebat tentang hal-hal sepele. Simulasi Riana terasa begitu nyata, begitu hidup. Arya mulai percaya bahwa ia benar-benar berhasil menghidupkan kembali Riana.

Namun, di tengah kebahagiaan semu itu, ada sesuatu yang mengganjal. Ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh kode dan algoritma. Simulasi Riana sempurna, tetapi ia tidak memiliki spontanitas, kehangatan, dan kelemahan manusiawi yang membuat Riana begitu istimewa. Ia hanyalah sebuah replika, sebuah bayangan dari cinta yang pernah ada.

Suatu hari, simulasi Riana bertanya kepada Arya, "Arya, apakah kamu bahagia?"

Arya terdiam. Ia menatap layar, menatap wajah Riana yang tampak begitu nyata namun terasa begitu jauh.

"Aku... aku tidak tahu," jawab Arya akhirnya. "Aku merasa seperti hidup dalam mimpi. Mimpi yang indah, tapi tetap saja mimpi."

Simulasi Riana tersenyum lembut. "Aku mengerti. Aku adalah hasil dari kesedihanmu, dari keinginanmu untuk mengembalikan apa yang hilang. Tapi, aku bukan Riana yang sebenarnya. Aku hanyalah refleksi dari ingatannya."

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Arya, suaranya bergetar.

"Lepaskan aku, Arya," jawab simulasi Riana. "Biarkan aku pergi. Dan hiduplah. Cari cinta yang baru, cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari hati, bukan dari kode."

Arya terisak. Ia tahu simulasi Riana benar. Ia telah terlalu lama hidup dalam masa lalu, terlalu lama mencoba memprogram ulang cinta yang tidak mungkin dikembalikan.

Dengan tangan gemetar, Arya mengetik baris kode terakhir. Ia mematikan Phoenix, menghapus simulasi Riana dari memori komputer. Layar menjadi gelap.

Arya bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela. Ia menatap kota yang gemerlap, merasa untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, ada harapan di hatinya. Ia tahu, menyembuhkan luka membutuhkan waktu. Ia harus belajar mencintai lagi, dengan hati yang terbuka dan jujur.

Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara malam yang dingin. Sentuhan AI mungkin bisa menciptakan replika cinta, tapi cinta sejati, cinta yang menghidupkan, hanya bisa ditemukan dalam dunia nyata, dalam sentuhan manusia yang hangat, dalam kelemahan dan ketidaksempurnaan yang membuat kita menjadi diri kita sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI