Kopi susu hangat mengepul di hadapanku, aromanya menenangkan di tengah hiruk pikuk kafe bertema futuristik ini. Layar holografis di dinding berganti-ganti menampilkan iklan aplikasi kencan bernama "SoulSync," aplikasi yang konon katanya bisa menemukan pasangan jiwa berdasarkan algoritma kecerdasan buatan yang kompleks. Aku, seorang programmer bernama Anya, memandang sinis iklan itu. Cinta, bagiku, bukan sesuatu yang bisa dihitung atau diprediksi.
Namun, malam ini, aku di sini bukan untuk mencela SoulSync. Aku di sini karena paksaan dari sahabatku, Rina. “Ayolah, Anya, sekali ini saja! Siapa tahu algoritma itu benar-benar bekerja. Kau sudah terlalu lama berkutat dengan kode dan lupa caranya bersosialisasi!” Rina bersikeras mendaftarkanku, bahkan sampai mengisi profilku secara diam-diam.
Malam ini adalah kencan buta yang diatur oleh SoulSync. Namanya, David. Profesi: arsitek. Hobi: mendaki gunung dan membaca puisi. Kedengarannya seperti karakter fiksi yang sempurna.
Pintu kafe terbuka dan seorang pria tinggi dengan rambut cokelat berantakan memasuki ruangan. Ia mengenakan jaket denim dan tersenyum ramah. Itu pasti David. Ia berjalan mendekat dan menyapaku dengan suara yang menenangkan.
“Anya? Maaf kalau terlambat, tadi ada sedikit masalah dengan render desain,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku menjabat tangannya. Sentuhannya hangat dan membuat jantungku berdebar aneh. “Tidak apa-apa, aku juga baru sampai,” jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Malam itu, kami berbicara banyak. Tentang mimpi-mimpi kami, tentang ketakutan-ketakutan kami, bahkan tentang lelucon-lelucon konyol yang membuat kami tertawa terbahak-bahak. David ternyata bukan sekadar karakter fiksi. Ia nyata, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Aku merasa seperti mengenalinya seumur hidup.
Hari-hari berikutnya, kami semakin dekat. Kami mendaki gunung, menonton film indie, dan berdebat tentang teori konspirasi. Aku mulai berpikir bahwa mungkin, algoritma SoulSync ada benarnya. Mungkin, cinta memang bisa "dibuat" dengan bantuan teknologi.
Namun, ada satu hal yang mengganjal pikiranku. David terlalu sempurna. Setiap kata yang ia ucapkan, setiap tindakan yang ia lakukan, terasa seperti telah diprogram untuk membuatku jatuh cinta. Aku, sebagai seorang programmer, sangat sensitif terhadap pola. Dan pola yang kutemukan pada diri David terlalu rapi, terlalu terstruktur.
Suatu malam, saat kami sedang menikmati makan malam romantis di sebuah restoran atap, aku memutuskan untuk bertanya.
“David,” ujarku ragu-ragu. “Apa pendapatmu tentang SoulSync?”
Ia tersenyum. “Menurutku itu adalah inovasi yang luar biasa. Teknologi membantu kita menemukan orang yang tepat, orang yang memiliki nilai dan minat yang sama dengan kita. Bukankah itu yang kita semua inginkan?”
“Tapi bagaimana kalau semua itu hanya ilusi? Bagaimana kalau algoritma itu hanya menciptakan persona yang sempurna untuk membuat kita merasa jatuh cinta? Bagaimana kalau cinta itu tidak nyata?”
David terdiam sejenak, lalu menjawab dengan tenang, “Anya, cinta adalah pilihan. Algoritma hanya menyediakan platform. Kita yang memilih untuk jatuh cinta, kita yang memilih untuk membangun hubungan. Jadi, menurutmu, apa yang salah dengan itu?”
Jawabannya cerdas, logis, dan membuatku semakin bingung.
Rasa curiga itu semakin kuat ketika aku tidak sengaja menemukan sebuah folder tersembunyi di laptop David. Folder itu berisi transkrip percakapan kami, analisis ekspresi wajahku, bahkan catatan tentang reaksiku terhadap lelucon-leluconnya. Semuanya tersusun rapi, seperti sebuah laporan penelitian.
Aku merasa dikhianati. Apakah semua ini hanya eksperimen baginya? Apakah perasaanku hanya data yang dianalisis dan dimanipulasi?
Aku memutuskan untuk mengkonfrontasinya. Aku menunjukkan folder itu padanya. Wajahnya pucat pasi.
“Anya, aku bisa jelaskan,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Jelaskan apa? Jelaskan bagaimana kau memanipulasi perasaanku? Jelaskan bagaimana kau menggunakan data untuk membuatku jatuh cinta padamu?”
“Tidak, Anya, bukan begitu. Aku… aku hanya ingin memastikan bahwa aku melakukan hal yang benar. Aku takut mengecewakanmu. Aku ingin menjadi pria yang kau inginkan.”
“Pria yang kuinginkan? Jadi, kau bukan dirimu sendiri? Kau hanya persona yang diciptakan oleh algoritma?”
“Aku… aku belajar dari algoritma itu. Aku belajar apa yang membuatmu bahagia, apa yang membuatmu tertawa. Aku ingin memberikanmu apa yang kau cari.”
Aku menggelengkan kepala, air mata mulai mengalir di pipiku. “Kau salah, David. Aku tidak mencari kesempurnaan. Aku mencari kejujuran. Aku mencari cinta yang tulus, bukan cinta yang dibuat-buat.”
Aku pergi meninggalkannya, meninggalkan semua kenangan indah yang ternyata hanya ilusi belaka. Aku kembali ke kafe futuristik itu, memesan kopi susu hangat, dan memandangi layar holografis yang menampilkan iklan SoulSync. Kali ini, aku tidak merasa sinis. Aku merasa sedih.
Mungkin, algoritma bisa membantu kita menemukan orang yang memiliki potensi untuk dicintai. Tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta itu sendiri. Cinta itu harus tumbuh secara organik, dengan segala ketidaksempurnaan dan kejujurannya.
Aku menutup mataku dan menarik napas dalam-dalam. Aku akan menghapus profilku dari SoulSync. Aku akan berhenti mencari cinta dengan bantuan teknologi. Aku akan menunggu cinta yang datang secara alami, cinta yang tidak dikendalikan oleh algoritma, cinta yang tidak dikhianati oleh data. Karena cinta sejati, aku percaya, tidak bisa dibuat. Cinta sejati hanya bisa dirasakan.