Aplikasi Algoritma Jodoh itu berdenyut lembut di pergelangan tanganku, layaknya detak jantung yang selalu mengingatkanku pada kemungkinan-kemungkinan. Di tahun 2042, mencari pasangan hidup tak lagi rumit. Algoritma yang rumit menganalisis data biologis, preferensi psikologis, bahkan jejak karbon digital kita untuk menemukan kecocokan sempurna. Janji Algoritma Jodoh sederhana: kebahagiaan abadi, tanpa drama, tanpa patah hati.
Aku, Arya, seorang arsitek virtual, sudah menggunakan aplikasi ini selama tiga bulan. Hasilnya? Delapan belas profil dengan tingkat kecocokan di atas 95%. Namun, entah mengapa, setiap pertemuan terasa hambar. Senyum mereka terukur, percakapan mereka terprogram, dan ketertarikan yang seharusnya menyala-nyala hanya menjadi percikan kecil yang cepat padam.
Minggu ini, Algoritma Jodoh memperkenalkanku pada Luna, seorang ahli botani digital. Tingkat kecocokan: 98,7%. Angka yang menakutkan. Foto profilnya menampilkan senyum hangat dan mata yang berbinar, seolah menyimpan rahasia alam semesta. Aku memutuskan untuk bertemu dengannya di taman virtual kota, sebuah oase digital yang meniru keindahan alam nyata.
Luna sudah menunggu di bawah pohon sakura yang bermekaran. Ketika mataku menangkap sosoknya, ada sesuatu yang berbeda. Bukan hanya kecantikan digitalnya yang memukau, tapi juga auranya yang terasa... nyata.
"Arya, ya? Senang bertemu denganmu," sapanya dengan suara yang renyah seperti dedaunan yang tertiup angin.
"Luna, senang bertemu denganmu juga," jawabku, sedikit gugup. Biasanya, aplikasi akan memberiku petunjuk percakapan, tapi kali ini aku merasa harus berbicara dari hati.
Kami berjalan-jalan di taman, berbicara tentang banyak hal. Tentang arsitektur virtual yang kuimpikan, tentang botani digital yang ia tekuni, tentang kekhawatiran kami terhadap dunia yang semakin bergantung pada algoritma. Setiap kata yang ia ucapkan terasa tulus, setiap tatapannya terasa dalam. Untuk pertama kalinya sejak menggunakan Algoritma Jodoh, aku merasa terhubung dengan seseorang.
"Kamu tahu, aku awalnya skeptis dengan aplikasi ini," kata Luna, tiba-tiba. "Rasanya aneh membiarkan algoritma menentukan dengan siapa aku menghabiskan hidupku."
Aku mengangguk setuju. "Aku juga. Tapi aku pikir, mungkin ada benarnya juga. Mungkin algoritma bisa membantuku menemukan seseorang yang benar-benar cocok denganku."
"Atau mungkin," Luna berhenti dan menatapku. "Algoritma hanya bisa membantumu menemukan seseorang yang sesuai dengan data yang kamu masukkan. Bukan dengan siapa kamu benar-benar bisa mencintai."
Kata-katanya menusukku. Benarkah begitu? Apakah aku selama ini mencari kecocokan berdasarkan data, bukan berdasarkan hati?
Pertemuan kami berlanjut selama beberapa jam. Kami tertawa, berbagi cerita, dan saling belajar. Ketika matahari virtual mulai terbenam, aku merasa berat meninggalkan Luna. Ada sesuatu yang istimewa di antara kami, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka dan algoritma.
"Aku sangat menikmati hari ini, Arya," kata Luna, tersenyum. "Mungkin... kita bisa bertemu lagi?"
"Tentu saja," jawabku, tanpa ragu.
Setelah pertemuan itu, aku mulai mempertanyakan segalanya. Algoritma Jodoh terus mengirimkan notifikasi tentang profil-profil baru, tapi aku tidak tertarik. Aku hanya ingin bertemu dengan Luna lagi. Aku mematikan notifikasi dan mulai fokus pada perasaanku sendiri.
Selama beberapa minggu berikutnya, aku dan Luna sering bertemu. Kami menjelajahi dunia virtual bersama, berbagi mimpi dan ketakutan, dan semakin jatuh cinta. Cinta kami tidak diukur dengan tingkat kecocokan, tapi dengan rasa nyaman, kepercayaan, dan kebahagiaan yang kami rasakan saat bersama.
Suatu malam, saat kami sedang duduk di tepi danau virtual yang tenang, Luna bertanya, "Apakah kamu masih percaya pada Algoritma Jodoh, Arya?"
Aku menatapnya dalam-dalam. "Aku percaya pada kita, Luna. Aku percaya pada cinta yang kita bangun bersama. Aku tidak peduli dengan angka dan algoritma. Kamu adalah orang yang aku cari selama ini, bukan karena algoritma, tapi karena hatiku."
Luna tersenyum dan menggenggam tanganku. "Aku juga, Arya. Aku juga."
Kami berciuman di bawah bintang-bintang virtual, merasakan cinta yang abadi dan nyata. Aku sadar, Algoritma Jodoh hanyalah alat. Ia bisa membantumu menemukan kemungkinan, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta. Cinta sejati datang dari hati, dari keberanian untuk membuka diri, dan dari kesediaan untuk menerima seseorang apa adanya.
Beberapa tahun kemudian, aku dan Luna menikah di taman virtual yang sama tempat kami pertama kali bertemu. Kami mematikan Algoritma Jodoh di pergelangan tangan kami dan berjanji untuk saling mencintai, bukan berdasarkan algoritma, tapi berdasarkan cinta yang kami pilih setiap hari.
Apakah cinta kami abadi? Mungkin. Tapi yang terpenting, cinta kami nyata. Cinta kami adalah pilihan, bukan hasil perhitungan. Cinta kami adalah update terbaru dari hati kami, dan aku harap, cinta ini akan terus berlanjut selamanya. Algoritma boleh mencari, tetapi hatilah yang menemukan. Dan aku telah menemukan rumahku di hati Luna.