Jemari Rara menari di atas layar sentuh. Aplikasi "SoulMate.AI" berkedip-kedip, menampilkan deretan foto pria yang, menurut algoritmanya, paling cocok dengannya. Rara menghela napas. Sudah enam bulan ia mengandalkan aplikasi ini, enam bulan mencoba menyerahkan urusan hati pada logika biner dan data analitik. Hasilnya? Kencan-kencan canggung, percakapan hambar, dan perasaan kosong yang semakin menganga.
Rara men-swipe kiri foto seorang dokter gigi dengan senyum terlalu sempurna. Algoritma itu memang jeli. Dokter gigi itu memenuhi semua kriterianya: mapan, sehat, punya hobi mendaki gunung, dan tidak merokok. Tapi mata Rara tidak berbinar. Ia merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar daftar kriteria yang terpenuhi.
Ia berhenti di sebuah foto. Bukan karena algoritmanya yang menempatkannya di sana, melainkan karena sesuatu dalam tatapan mata pria itu. Foto itu buram, pencahayaannya kurang bagus, dan pria itu, bernama Arya, tampak sedang sibuk mengutak-atik rangkaian kabel. Profilnya singkat: "Pengembang AI. Sedang mencoba membuat dunia sedikit lebih pintar."
Rara ragu-ragu. Arya jauh dari tipe idealnya. Ia bukan dokter, bukan pengusaha, dan jelas bukan pendaki gunung. Tapi ada sesuatu yang menariknya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma manapun. Ia menekan tombol "Suka."
Tidak sampai lima menit, notifikasi muncul. Arya membalas "Suka"-nya. Mereka mulai bertukar pesan. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, dari kecintaan mereka pada sci-fi klasik hingga kekhawatiran mereka tentang masa depan kecerdasan buatan. Rara terkejut betapa mudahnya ia berbicara dengan Arya, betapa nyamannya ia menjadi dirinya sendiri.
Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Arya mengajak Rara ke sebuah kedai kopi kecil di dekat lab tempat ia bekerja. Ketika Arya datang, Rara merasa jantungnya berdebar lebih kencang daripada saat ia menaiki roller coaster. Arya jauh lebih menarik daripada fotonya. Rambutnya sedikit berantakan, matanya cerdas dan penuh rasa ingin tahu, dan senyumnya tulus.
Mereka berbicara selama berjam-jam, melupakan waktu dan keberadaan orang lain di sekitar mereka. Rara menceritakan tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis, tentang mimpinya untuk membuka galeri seni sendiri. Arya bercerita tentang obsesinya pada AI, tentang harapannya bahwa teknologi dapat membantu memecahkan masalah-masalah kompleks di dunia.
Rara menyadari bahwa ia tertarik pada Arya bukan karena kesamaan minat atau latar belakang mereka, melainkan karena semangat dan ketulusannya. Ia tertarik pada otaknya yang brilian, hatinya yang hangat, dan kemampuannya untuk melihat dunia dari sudut pandang yang unik.
Beberapa minggu berlalu. Rara dan Arya semakin dekat. Mereka menjelajahi kota bersama-sama, mengunjungi museum, menonton film indie, dan berdebat tentang etika AI hingga larut malam. Rara mulai melupakan "SoulMate.AI" dan algoritmanya. Ia tidak lagi peduli apakah Arya memenuhi kriteria idealnya atau tidak. Ia hanya tahu bahwa ia bahagia bersamanya.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman di bawah bintang-bintang, Arya meraih tangan Rara. "Rara," katanya, suaranya lembut, "aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku rasa... aku rasa aku jatuh cinta padamu."
Rara tersenyum. "Aku juga, Arya," jawabnya.
Arya terdiam sejenak. "Lucu ya," katanya kemudian, "kita bertemu karena aplikasi kencan yang aku benci. Aku selalu berpikir algoritma itu terlalu dangkal, terlalu fokus pada data dan kurang pada intuisi."
Rara mengangguk. "Aku setuju. Tapi mungkin... mungkin algoritmanya hanya menjadi pemicu. Mungkin ia hanya membawaku padamu, dan kemudian hati kita yang memutuskan."
Mereka berpegangan tangan, saling menatap dalam diam. Di bawah cahaya bintang-bintang, Rara menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diukur, dan tidak bisa dikendalikan oleh algoritma manapun. Cinta adalah sesuatu yang unik, sesuatu yang istimewa, sesuatu yang hanya bisa dirasakan.
Beberapa bulan kemudian, Rara dan Arya sedang duduk di apartemen kecil mereka, dikelilingi oleh buku-buku, rangkaian kabel, dan sketsa desain. Rara sedang mengerjakan logo untuk galeri seni barunya, dan Arya sedang memprogram algoritma baru untuk membantu mendiagnosis penyakit mental.
Rara melirik Arya, yang sedang fokus menatap layar komputernya. Ia tersenyum. Ia masih tidak percaya betapa beruntungnya ia telah menemukan Arya. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak sempurna. Mereka sering berdebat, mereka punya perbedaan pendapat, dan mereka kadang-kadang membuat kesalahan. Tapi mereka saling mencintai, mereka saling mendukung, dan mereka selalu berusaha untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Tiba-tiba, "SoulMate.AI" mengirim notifikasi. Algoritmanya telah menemukan kecocokan baru untuk Rara. Rara tertawa. Ia meraih teleponnya dan menghapus aplikasi itu. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan cinta. Ia sudah menemukannya, dan ia tidak akan pernah melepaskannya.
Algoritma mungkin bisa membawanya ke pintu, tapi hati yang membukanya. Cinta tidak bisa diprogram, tetapi cinta bisa tumbuh, berkembang, dan bertahan lama, bahkan di dunia yang didominasi oleh teknologi. Cinta adalah algoritma yang paling kompleks dan paling indah dari semuanya. Dan kali ini, algoritma memutuskan, hati mengikuti, dan mereka menemukan kebahagiaan sejati.