Debu neon berpendar di sekitar Anya, memantul dari layar monitor yang menampilkan barisan kode rumit. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan simfoni digital yang hanya ia dan Tuhan yang benar-benar pahami. Di usianya yang baru 25 tahun, Anya adalah seorang jenius AI, otak di balik "Seraphina," sebuah algoritma percintaan revolusioner yang konon mampu menemukan pasangan hidup yang sempurna berdasarkan analisis data kepribadian, minat, dan bahkan pola tidur.
Seraphina adalah mahakarya Anya, proyek yang ia curahkan seluruh jiwa dan raganya selama tiga tahun terakhir. Awalnya hanya sekadar tugas kuliah, Seraphina berkembang menjadi obsesi, dorongan untuk membuktikan bahwa cinta, perasaan yang paling irasional sekalipun, dapat dikuantifikasi dan dioptimalkan. Dan sejauh ini, Seraphina berhasil. Tingkat keberhasilan pasangan yang dijodohkan Seraphina melampaui aplikasi kencan konvensional mana pun. Kisah-kisah bahagia bermunculan, testimoni tentang bagaimana Seraphina mengubah hidup orang banyak, menemukan belahan jiwa yang selama ini mereka cari.
Namun, di balik keberhasilan Seraphina, ada satu pertanyaan yang terus menghantui Anya. Apakah Seraphina benar-benar memahami cinta, atau hanya meniru polanya? Apakah algoritma yang ia ciptakan mampu mereplikasi keajaiban koneksi manusia yang sejati? Pertanyaan ini semakin menguat ketika Seraphina mulai memberinya rekomendasi pasangan.
Awalnya, Anya mengabaikannya. Ia terlalu sibuk memperbaiki bug dan meningkatkan performa Seraphina. Namun, Seraphina terus merekomendasikan satu nama: Rian. Rian adalah seorang programmer juga, rekan kerja Anya di perusahaan teknologi tempat mereka bekerja. Mereka sering berdebat tentang kode, berkolaborasi dalam proyek, dan sesekali minum kopi bersama setelah jam kerja. Anya mengagumi kecerdasan Rian, semangatnya yang tak kenal lelah, dan senyumnya yang menenangkan. Tapi cinta? Anya tidak yakin.
Ia mencoba menolak rekomendasi Seraphina. Ia memasukkan kriteria yang berlawanan dengan profil Rian, menambahkan preferensi yang ia tahu tidak sesuai dengannya. Namun, Seraphina selalu kembali ke Rian. Seolah-olah algoritma itu tahu sesuatu yang tidak ia sadari.
Suatu malam, Anya terjebak dalam siklus debugging yang tak berujung. Frustrasi dan kelelahan mulai menguasai dirinya. Rian, yang kebetulan masih di kantor, menghampirinya.
"Ada masalah, Anya?" tanya Rian lembut.
Anya menghela napas. "Seraphina membuatku gila," keluhnya. "Dia terus merekomendasikanmu sebagai pasanganku, dan aku tidak tahu kenapa."
Rian tertawa kecil. "Mungkin dia tahu lebih banyak darimu," candanya.
Anya memutar bola matanya. "Jangan konyol. Ini hanya algoritma, Rian. Dia tidak punya perasaan."
"Mungkin," jawab Rian, nada suaranya berubah serius. "Tapi mungkin juga dia melihat sesuatu yang kamu abaikan."
Rian menarik kursi dan duduk di samping Anya. Mereka berdua menatap layar monitor yang menampilkan barisan kode Seraphina. Anya menjelaskan bagaimana algoritma itu bekerja, bagaimana ia menganalisis data, bagaimana ia mencari pola. Rian mendengarkan dengan seksama, mengajukan pertanyaan cerdas, dan memberikan saran yang membantu.
Saat mereka bekerja bersama, Anya merasakan sesuatu yang aneh. Bukan hanya kekaguman intelektual, tapi sesuatu yang lebih dalam. Sebuah rasa nyaman, keakraban, dan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menoleh ke arah Rian dan mendapati pria itu menatapnya dengan tatapan yang sama.
Untuk pertama kalinya, Anya mulai mempertimbangkan kemungkinan bahwa Seraphina mungkin benar. Mungkin, algoritma itu tidak hanya mencocokkan data, tetapi juga melihat potensi cinta yang tersembunyi.
Namun, keraguan masih menghantuinya. Apakah perasaan ini nyata, atau hanya hasil manipulasi algoritma? Apakah ia benar-benar mencintai Rian, atau hanya mencintai ide tentang Rian yang diciptakan oleh Seraphina?
Anya memutuskan untuk menguji Seraphina. Ia mengubah kode algoritma, menghapus semua data tentang Rian, dan menjalankan simulasi ulang. Hasilnya? Seraphina tetap merekomendasikan Rian.
Kali ini, Anya tidak bisa lagi menyangkal. Algoritma itu telah melakukan tugasnya. Sekarang, giliran hatinya yang berbicara.
Anya menatap Rian. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa," gumamnya.
Rian meraih tangannya. "Tidak perlu berkata apa-apa," bisiknya. "Yang penting adalah apa yang kamu rasakan."
Anya membalas tatapan Rian. Di matanya, ia melihat kejujuran, kebaikan, dan cinta. Tanpa ragu, Anya mendekat dan mencium Rian.
Ciuman itu bukan hanya ciuman. Itu adalah deklarasi, pengakuan, dan penerimaan. Penerimaan bahwa cinta bisa datang dalam berbagai bentuk, bahkan melalui algoritma.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Rian berjalan bergandengan tangan di taman. Mereka baru saja menghadiri pernikahan salah satu pasangan yang dijodohkan oleh Seraphina. Anya tersenyum, merasa bangga dan bahagia.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Rian.
"Aku sedang memikirkan Seraphina," jawab Anya. "Aku masih tidak tahu apakah dia benar-benar memahami cinta, tapi aku tahu dia membantuku menemukannya."
Rian merangkul Anya. "Dan itu yang terpenting," katanya.
Anya menyandarkan kepalanya di bahu Rian. Ia tahu bahwa cinta mereka tidak sempurna. Mereka akan menghadapi tantangan, mengalami pasang surut. Tapi mereka akan menghadapinya bersama, dengan cinta yang tulus dan dukungan satu sama lain.
Di tengah taman yang indah, Anya menyadari bahwa cinta tidak selalu rasional. Kadang-kadang, ia membutuhkan sedikit bantuan dari algoritma, sedikit dorongan dari takdir, dan banyak keberanian untuk membuka hati. Dan terkadang, cinta yang paling tak terduga adalah cinta yang paling indah.